Lepas dari Jerat Homoseksual
Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha
Seni Merayakan Hidup yang Sulit
Ada satu kisah pergumulan dari sahabat kami Samurai.
Ia pernah menjadi seorang gay selama delapan tahun. Meninggalkan gaya hidup
homoseksual dan menikah dengan seorang wanita bukanlah hal yang mudah. Untuk
melakoninya benar-benar dibutuhkan perjuangan. Saat akan menikah, ia sempat
bertanya, “Menikah? Apa mungkin? Saya kan seorang gay?”
Bagi seorang gay, menikah berarti menambah masalah.
Menjadi gay saja sudah sangat berat, apalagi harus menikah dengan wanita yang
secara seksula dan emosi tidak menarik baginya (kecuali jika menikah hanya
untuk kamuflase).
Samurai menyadari, ia mempunyai kecenderungan
homoseksual sejak kelas 1 SMP. Saat memasuki masa pubertas, Samurai merasakan
suatu kenikmatan lain jika berdekatan dengan pria ganteng. Ia senang sekali
kalau mereka bisa bersahabat. “Saya menyadari, itu tidak normal. Lewat
pendidikan rohani dalam keluarga saya tahu hal itu menjijikkan bagi Tuhan.
Orang yang melakukannya pasti tidak dapat masuk surga. Saya juga ngerti
memikirkan kelanjutannya. Apakah saya harus menikah dengan wanita jika dewasa
kelak?” kata Samurai meningat masa lalunya. Terpikir olehnya, pernikahannya
kelak tidak bahagia karena itu hanya sekedar tuntutan sosial.
Pergumulan pun dimulai. Samurai mencoba mendekati
wanita, tetapi ia merasa tersiksa. Ia terus berdoa dan berjuang, memohon
kekuatan dari Tuhan. Jatuh dan bangun lagi. Akhirnya Tuhan menjawab doanya. Ia
bertemu Nindriy. Ia bisa mencintainya seperti layaknya seorang pria mencintai
wanita.
Mulanya Nindriy terkejut ketika tahu bahwa laki-laki
yang akan dinikahinya pernah menjadi seorang gay. Teteapi Nindriy menerima
keberadaan Samurai sebagaimana adanya; mencintai dan mendukung suaminya dalam
perjalan pernikahan mereka.
Kami bertemu mereka setelah keduanya menikah. Lantas
mereka berdua mengambil bagian dalam kegiatan LK3, melayani mereka yang
mengalami disorientasi seksual.
Untuk keluar dari pergumulan homoseksual dibutuhkan keberanian
terbuka kepada konselor. Tidak semua konselor bisa menjadi tempat curhat kaum
homoseks. Bagi Samurai, selain karena ia pernah menjalani kehidupan demikian,
ia juga punya wajah “tua”, wajah kebapakan. Beberapa klien dengan terbuka
mengatakan bahwa mereka lebih senang curhat pada konselor yang sudah berumur
karena dianggap lebih pengalaman.
Banyak orang mungkin melihat dosa homoseksual sebagai
kutukan. Namun, pengalaman Samurai dan Nindriy justru beda. “Lewat kelemahan
suami saya, kami lebih banyak mengalami berkat dan kekuatan dari Tuhan,” kata
Nindriy. “Kami lebih bersandar kepada Tuhan agar suami saya diberi kekuatan
untuk tetap menang.” Hidup sebagai gay memang dosa yang dibenci Tuhan, namun
Tuhan tidak membenci orangnya. Setelah dipulihkan lewat pelayanan K3, kini
Samurai bekerja dengan LK3 membentuk terapi kelompok untuk para gay dan lesbian
yang diberi nama Born Free Ministry.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home