Sunday, November 11, 2012

Lepas dari Jerat Homoseksual

Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha
Seni Merayakan Hidup yang Sulit

Ada satu kisah pergumulan dari sahabat kami Samurai. Ia pernah menjadi seorang gay selama delapan tahun. Meninggalkan gaya hidup homoseksual dan menikah dengan seorang wanita bukanlah hal yang mudah. Untuk melakoninya benar-benar dibutuhkan perjuangan. Saat akan menikah, ia sempat bertanya, “Menikah? Apa mungkin? Saya kan seorang gay?”

Bagi seorang gay, menikah berarti menambah masalah. Menjadi gay saja sudah sangat berat, apalagi harus menikah dengan wanita yang secara seksula dan emosi tidak menarik baginya (kecuali jika menikah hanya untuk kamuflase).
Samurai menyadari, ia mempunyai kecenderungan homoseksual sejak kelas 1 SMP. Saat memasuki masa pubertas, Samurai merasakan suatu kenikmatan lain jika berdekatan dengan pria ganteng. Ia senang sekali kalau mereka bisa bersahabat. “Saya menyadari, itu tidak normal. Lewat pendidikan rohani dalam keluarga saya tahu hal itu menjijikkan bagi Tuhan. Orang yang melakukannya pasti tidak dapat masuk surga. Saya juga ngerti memikirkan kelanjutannya. Apakah saya harus menikah dengan wanita jika dewasa kelak?” kata Samurai meningat masa lalunya. Terpikir olehnya, pernikahannya kelak tidak bahagia karena itu hanya sekedar tuntutan sosial.

Pergumulan pun dimulai. Samurai mencoba mendekati wanita, tetapi ia merasa tersiksa. Ia terus berdoa dan berjuang, memohon kekuatan dari Tuhan. Jatuh dan bangun lagi. Akhirnya Tuhan menjawab doanya. Ia bertemu Nindriy. Ia bisa mencintainya seperti layaknya seorang pria mencintai wanita.

Mulanya Nindriy terkejut ketika tahu bahwa laki-laki yang akan dinikahinya pernah menjadi seorang gay. Teteapi Nindriy menerima keberadaan Samurai sebagaimana adanya; mencintai dan mendukung suaminya dalam perjalan pernikahan mereka.

Kami bertemu mereka setelah keduanya menikah. Lantas mereka berdua mengambil bagian dalam kegiatan LK3, melayani mereka yang mengalami disorientasi seksual.

Untuk keluar dari pergumulan homoseksual dibutuhkan keberanian terbuka kepada konselor. Tidak semua konselor bisa menjadi tempat curhat kaum homoseks. Bagi Samurai, selain karena ia pernah menjalani kehidupan demikian, ia juga punya wajah “tua”, wajah kebapakan. Beberapa klien dengan terbuka mengatakan bahwa mereka lebih senang curhat pada konselor yang sudah berumur karena dianggap lebih pengalaman.

Banyak orang mungkin melihat dosa homoseksual sebagai kutukan. Namun, pengalaman Samurai dan Nindriy justru beda. “Lewat kelemahan suami saya, kami lebih banyak mengalami berkat dan kekuatan dari Tuhan,” kata Nindriy. “Kami lebih bersandar kepada Tuhan agar suami saya diberi kekuatan untuk tetap menang.” Hidup sebagai gay memang dosa yang dibenci Tuhan, namun Tuhan tidak membenci orangnya. Setelah dipulihkan lewat pelayanan K3, kini Samurai bekerja dengan LK3 membentuk terapi kelompok untuk para gay dan lesbian yang diberi nama Born Free Ministry.


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home