Kesaksian Samuel Wattimena
Bertobat dari Kehidupan GAY
Kesaksian kisah hidup Samuel Wattimena, perancang
busana terkenal di Indonesia, yang bertobat meninggalkan kehidupan gay yang
selama 24 tahun dia jalani. Kisah ini dimuat di harian Kompas tanggal 18 Maret 2001.
BAGAIMANA kehidupan
pribadi Anda?
Sejak dua tahun lalu saya sudah membuat kesaksian di
gereja-gereja. Saya melakukannya tidak dengan mengatas-namakan kelompok gay,
tetapi berdasarkan pengalaman pribadi
saya. Selama 24 tahun saya melakukan kehidupan homoseks dengan wild, beyond your imagination. Tetapi,
dalam keliaran itu ternyata saya tetap merasa kesepian. Lima malam dalam
seminggu saya harus dapat seks. Setelah tahap itu kantidak bisa melakukan
secara reguler karena mati rasa, ya harus ditambah dengan obat, dengan alkohol,
dan saya beli (pemuasan hubungan seks). Ketika saya mulai beli, saya jadi jahat. Kalau saya tidak
bisa bayar, saya bayar dengan memberi kesempatan anak-anak muda itu untuk masuk
kelingkungan saya yang beyond their touch. Saya suka yang muda, kulitnya lebih
kencang. Tiap malam saya harus dengan orang yang
berbeda. Saya makin liar karena saya tidak melihat ada kesetiaan. Di dunia gay
rasa sakit ini menjadi dua kali, karena sudah tersisih masih dikhianati.
Saya bukan tidak ingin berhenti, tetapi berulang kali
kecebur lagi. Saya mulai berhubungan seksual pada usia 15 tahun, kelas 2 atau 3
SMP. Waktu mulai saya sudah ingin berhenti. Akan tetapi, ketika mau berhenti, saya
mendapat lingkungan yang membuat saya merasa aman, karena diterima. Saya pernah
mau berhenti karena saya berpikir apa yang saya lakukan adalah dosa, karena saya tiap minggu ke gereja.
Tetapi, saya kok bisa-bisanya berpikir, siapa sih yang tidak melakukan dosa.
Mereka yang heteroseksual juga berbuat dosa.
Tidak takut
AIDS?
Tahun 1980-an ketika Roy Hudson mati, saya mulai takut
AIDS. Tetapi, kok kepikiran lagi bahwa AIDS bukan masalah gay, tetapi masalah
seks yang aman. Pernah juga saya mau kawin dengan seorang perempuan. Ketika
pacaran dengan mereka saya berhenti pacaran dengan laki-laki. Tetapi, keluarga mengatakan
apa saya bisa menjadi suami yang baik, dan saya tidak menyalahkan mereka. Saya
juga pernah mau berhenti dengan alasan takut bisnis tidak jalan karena citra
gay. Tetapi, kok ternyata bisnis saya semua jalan bagus. Saya akhirnya capai,
dan sampai pada kesimpulan menerima diri saya adalah gay. Dan, saya mengartikan
ajaran agama bahwa manusia memikul salibnya sendiri dengan berpikir salib saya
adalah menjadi gay.
Sampai akhirnya saya menengok teman saya mendiang Didi
Mirhad yang sakit kurus dan diare di rumah sakit. Saya menengok dia di rumah
sakit dan saya melihat dia kena AIDS.
Saya mendapat informasi yang membenarkan dugaan saya dari dokter yang menangani
Didi.
Saya dan seorang teman membawa Didi ke Pendeta Daniel
Henubau untuk menyiapkan mental Didi. Kalau saya pikir sekarang, kejadian saat
itu aneh. Saya di ruang lain dan menonton teve, sementara Didi di ruang lain, tetapi
kok suara si pendeta kedengaran sampai ke kuping saya. Sepertinya ucapan si
pendeta ditujukan ke saya.
Yang dikatakan Pendeta Daniel, intinya firman Tuhan
yang semuanya mengenai kasih. Setelah itu saya jadi seperti haus, setiap kali mengantar Didi ingin juga mendengar. Tetapi,
saya tidak berminat mendengar sama-sama karena saya trauma. Setiap kali ketemu
pendeta (yang lain), setiap kali membuka Alkitab bagian yang begitu mengancam.
Sepertinya saya tidak pernah mencoba (untuk ke luar dari kehidupan gay). Sampai
saya berdebat, kok dia enak saja menjudge saya.
Akhirnya saya putuskan ikut gerejanya Pendeta Daniel.
Di sana ada altar call yaitu jemaat maju ke depan, si pendeta mendekatkan
tangannya ke dahi orang itu dan orang itu mental. Saya sudah sering melihat
yang seperti ini dan biasanya saya segera meninggalkan acara itu karena tidak menganggap
serius. Tetapi, kali itu saya kok mau maju ke depan. Begitu dia angkat tangan, belum
sampai ke dekat dahi, saya sudah mental. Dan begitu jatuh, kok seperti ada
slide muncul di kepala saya. Semua yang jelek: amarah, kenajisan, kebencian,
yang saya simpan di dalam batin, keluar seperti slide. Saya menangis dengan
keras, sadar saya menangis di depan orang tetapi saya tidak bisa menghentikan
tangis saya. Ketika mencoba bangun, sekali lagi saya mental. Akhirnya saya
percaya bahwa waktu Tuhan bukan waktu kita. Cara Tuhan bukan cara manusia. Saya
sudah coba dan saya gagal terus, sampai tiba- tiba saya mendapat kesempatan
untuk lurus. Kalau ada yang tanya bagaimana saya bisa seperti sekarang, saya
hanya bisa bilang dekatkan diri pada Tuhan, dengan cara kita masing-masing.
Anda marah
kepada Ayah?
Saya lima bersaudara, tiga lelaki, perempuan, lalu
saya. Mungkin ayah saya ingin punya anak perempuan lagi untuk menemani kakak
perempuan yang menjadi tomboy karena tiga kakaknya laki-laki. Saya benci sama ayah
karena selalu dibelikan boneka perempuan. Ketika SMP saya sering dikatakan banci.
Ketika kecil saya suka pakai lipstik dan sepatu ibu, menyanyi dan ditepuki.
Saya punya fotonya.
Walaupun kemudian saya tahu gay banyak penyebabnya,
tidak sesederhana seperti saya duga dengan apa yang ayah lakukan, tetapi saya
tetap merasa keadaan saya ada hubungannya dengan perlakuan terhadap saya ketika
kecil. Tiga bulan menjelang ayah meninggal tahun 1990, saya Cuma menengok dua
kali.
Dua tahun setelah ayah meninggal, tiba-tiba saya di
Den Haag menangis menyesal karena dendam, tetapi tetap menyalahkan dia. Tetapi,
setelah pertobatan dan kesaksian, semua dendam itu hilang.
Anda tidak pernah sampaikan keadaan Anda kepada
orangtua? Kami adalah keluarga yang tidak pernah berantem. Orangtua dan kakak saya,
tidak mau berkonfrontasi dengan saya dan juga dengan diri mereka sendiri. Mereka
mencoba tidak melihat hal itu. Mereka membiarkan saya berada pada zona
kenyamanan. Jadi berbuat baik supaya tidak mengganggu keharmonisan, kenyamanan,
belum tentu benar.
Ini yang saya sampaikan kepada orang-orang bahwa anak
yang gay tidak boleh dimusuhi, tetapi mereka diberikan apa kebenaran dalam
hidup. Karena saya dibiarkan dalam kenyamanan itu, saya tidak pernah diberikan pilihan
misalnya untuk main bola. Walaupun tidak semua anak yang dari kecil suka main
masak-masakan jadi gay.
Kalau saya ditanya, bohong bahwa itu pilihan karena
saya merasa kesepian setelah melakukan seks. Dan saya kemudian setelah
pertobatan merasa lebih sejahtera.
Apa reaksi setelah Anda membagi pengalaman kepada
orang banyak? Setelah kesaksian, banyak teman-teman gay yang marah karena
mereka melihat saya menyepelekan kehidupan gay yang sebenarnya kompleks.
Seolah-olah berhenti jadi gay itu seperti membalik telapak tangan. Saya bilang,
saya tidak pernah mengatakan kesaksian saya atas nama kelompok gay tetapi atas
pengalaman diri saya sendiri. Saya selalu mengatakan saya merasa sejahtera
dengan keadaan saya sekarang dan saya merasa harus membagi ini dengan orang
lain.
KEHIDUPAN seksual Anda setelah bertekad meninggalkan
kehidupan gay? Saya menangani hasrat dengan doa. Doing-nya sudah tidak, tetapi orientasinya
harus diubah perlahan-lahan. Saya menjalani kehidupan gay selama 24
tahun. Selama dua tahun pernah beberapa kali saja
melakukan. Tetapi sebelum melakukan, saya berdoa. Bisa terjadi, sudah di tempat
tidur, tiba- tiba ada saja yang terjadi sehingga hubungan tidak jadi. Pager
(calon pasangan saya) bunyi, sehingga dia harus pergi. Lain kali saya sudah buat
perjanjian lewat telepon, kok dia sampai sejam mencari alamat saya enggak ketemu-ketemu.
Jadi beberapa kali hampir kecebur, tetapi diselamatkan.
Sempat juga sekali-dua berhubungan lagi, tetapi ketika
itu saya tidak berdoa. Karena ketika itu saya mulai sombong, merasa bahwa saya
bisa karena diri sendiri.
Pernah
berhubungan seks dengan perempuan?
Pernah. Tidak ada cewek yang tidak merasa puas dengan
saya. Mungkin karena mereka merasa di-treat dengan berbeda. Saya melakukan
dengan banyak cewek, waktu SMA. Makin jarang setelah saya makin gila. Begitu selesai
pertobatan, saya melihat cewek kok seperti emosional. Tetapi, sekarang tidak
lagi. Surut untuk dua-duanya.
Tidak lagi
butuh seks?
Apa sih kebutuhan biologis? Apa seks seminggu dua
kali, sekali. Apa? Saya mencoba untuk
membiarkan apa yang terjadi, mimpi
basah, masturbasi. Tetapi, itu juga bukan jalan keluar untuk saya.
Saya berpikir untuk melakukan perkawinan dan melakukan
hidup berkeluarga. Sekarang saya yakin kalau saya menikah itu berarti hal yang
terbaik karena segala borok sudah saya buka di atas meja.
Anda
melakukan tes HIV?
Tes, dua kali. Untuk ambil putusan melakukan tes, lama
sekali. Saya ketika itu berpikir, buat apa tes, kalau tahu kan juga tidak bisa diobati.Tetapi
lalu saya berpikir, kalau tahu positif kan bisa hidup untuk tandar yang lebih baik. Tes pertama di MMC,
seminggu menunggu hasil tes itu seperti nightmare. Ini sebelum pertobatan. Tiga
tahun kemudian tes lagi, dan negatif.
Ke depan,
apa rencana Anda?
Ingin membina kehidupan keluarga. Karena saya
sebenarnya tipe keluarga, dan saya merasa bahwa saya tidak akan merasa
sejahtera dengan hidup bersama sesama jenis. Walaupun saya juga tidak
mengatakan orang yang hidup sebagai heteroseksual selalu sejahtera.
Kesejahteraan itu hanya datang dari Tuhan dan di dalam Tuhan.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home