Thursday, June 23, 2016

Kesaksian Pemulihan Peter Hollow : Mengubah Kelemahan Menjadi Kekuatan



Diterjemahkan oleh Ong Po Han. Tidak sepenuhnya diterjemahkan satu kata per satu kata dan sudah dibuat penyesuaian yang saya anggap perlu. Kalau ada kesalahan terjemah atau tidak dimengerti, mohon dimaafkan.

Saya tak bisa mengingat waktu yang telah saya lalui tanpa berurusan dengan masalah-masalah homoseks. Seorang anggota keluarga dekat (kakak laki-laki) mulai melakukan pelecehan seksual ketika saya berusia tujuh atau delapan tahun. Ia beberapa tahun lebih tua dari saya. Dia meminta saya melakukan seks oral dengan saya secara rutin. Hal ini berlangsung sekitar satu tahun, sampai ia meninggalkan kami.

Dia seorang anggota keluarga dekat, dan saya percaya padanya. Pada awalnya saya tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan apa yang kami lakukan. Rasanya menyenangkan dan saya menikmati perhatiannya, terutama karena saya tidak mendapatkan banyak perhatian positif dari ayah, yang menjaga jarak, bersikap memusuhi dan sering melakukan kekerasan. Namun saya bertanya-tanya tentang rahasia ini : Saya dimintanya untuk tidak memberitahu siapa pun atau dia akan menghukum saya. Jadi saya merasa diinginkan sekaligus diancam. Saya sangat, sangat bingung dengan cinta, terutama cinta "persaudaraan" antar pria.

Saya bingung dengan apa yang dimaksudkan dengan menjadi laki-laki.

Lebih-lebih lagi, saya bingung dengan apa dimaksudkan dengan menjadi laki-laki. Saya tidak bisa menghubungkan antara dunia anak laki-laki dengan dunia  pria dewasa. Saya punya masalah kemampuan motorik, jadi saya tidak pandai di bidang olahraga. Di sekolah, pada awalnya saya menghabiskan waktu bersama para siswa laki-laki. Namun kemudian ternyata lebih menyenangkan bersama murid-murid perempuan. Di hari-hari awal sekolah saya merasa lebih nyaman berada dengan para siswi. Di rumah, saya orangnya pendiman dan tunduk kepada ibu yang terpisah secara  emosional. Saya selalu berusaha untuk menjadi anak baik dan rajin membantu.

Landasan Iman

Selama masa kanak-kanak saya memiliki minat yang mendalam dalam hal kerohanian dan keagamaan dan merasa bahwa Allah sedang mengawasi saya dan jika bukan karena dasar iman, saya yakin tidak akan mampu berjuang mengatasi ketertarikan sesama jenis.

Ketika berusia 12 tahun, saya berteman dengan seorang anak laki-laki di sekolah yang ayahnya telah meninggal. Seperti saya, dia belum matang untuk usianya. Saya mulai mengikuti program pemuda di gerejanya. Dari hari pertama hadir saya tahu bahwa saya ingin menjadi anggota gerejanya. Saya sangat tertarik dengan hal-hal rohani khususnya dengan aspek rasional dari agama. Itulah ruang di mana saya bisa merasa santai dan nyaman - tidak seperti rumah saya dan sekolah. Saya merasa bahwa kebenaran rohani yang saya dengar terasa akrab dan saya ingin terlibat, sehingga saya pun segera dibaptis.

Tidak lama kemudian, saat bermalam di rumah teman, ia mengajak saya berhubungan seks dan saya menerimanya. Sejak saat itu kami aktif dalam kegiatan seks homo, termasuk onani bersama, sex oral dan sex anal. Tentu saja saya merasa senang dan lepas, tapi secara emosional saya tidak merasa apa-apa. Teman saya ingin mencium dan memeluk, tapi entah bagaimana saya tahu bahwa laki-laki tidak memperlakukan satu sama lain seperti kekasih sehingga saya menolaknya. Saya tidak mengaitkan rasa sayang dengan seks.

Kecanduan dan Terpikat, namun Salah.

Terlintas dalam pikiran saya bahwa apa yang kami lakukan mungkin salah, namun karena ada seorang anggota keluarga dekat telah melakukan hal serupa, saya ingin meneruskan pengalaman ini. Seiring waktu, saya mulai menyadari bahwa praktek-praktek seksual kami hanya mengikuti kata hati dan kosong. Saya bisa merasakan bahwa seks itu secara rohani melemahkan dan dangkal, dan mengakibatkan perasaan rendah diri dan perilaku merusak diri sendiri. Membuat kecanduan dan memikat, namun saya merasa bersalah.

Saya beranggapan bahwa kami lebih dari sekedar teman, namun sifat pemarahnya sulit diatasi. Hubungan dengannya berlanjut sampai sekitar delapan belas bulan dan berakhir karena saya merasa tidak sanggup lagi. Saya merasa lega sudah lepas darinya, namun kami masih tetap berhubungan. Setelah itu, saya merasakan kekosongan yang tidak bisa saya atasi. Saya bertemu dengannya lagi beberapa tahun kemudian dan waktu itu ia telah menikah dan kemudian bercerai. Dia memberi isyarat seksual , namun saya tidak menanggapinya. Lalu dia menikah lagi dan memiliki anak-anak dan lebih bahagia walaupun ia tidak lagi bergabung dengan gereja kami.

Takut kepada Pria

Mengingat keterlibatan seksual awal saya dengan seorang anggota keluarga dan kemudian dengan teman saya, keterasingan dari ayah dan saya terlalu bergantung pada ibu, tidak mengherankan saya menjadi agak kewanitaan. Saat SMA, para siswa pria menggoda dan mengejek saya gara-gara hal ini dan karena saya enggan olahraga. Seorang pria tinggi dan bertubuh tegap datang menolong dan membela saya. Lebih dari sekali dia melindungi saya dari pemukulan. Saya menghargainya karena dialah salah satu dari sedikit pria yang memperlakukan saya sebagai seorang pribadi yang utuh dan membela saya terhadap pengganggu (tukang bully). Tampaknya dia mengerti.

Secara emosional hal ini sulit bagi saya. Saya mencoba segala cara untuk menghindari kelas pendidikan jasmani, yang juga tidak bisa memperbaiki reputasi saya. Saya terus waspada dan berbeda dari khususnya para siswa lainnya  di sekolah. Saya sering menarik diri dan diam-diam mendengarkan mereka namun tidak bisa bergaul dalam bahasa mereka. Saya tidak pernah berhubungan atau merasa menjadi bagian dari mereka. Masalah seksual telah membuat saya lebih menjauhi mereka.

Di usia 16 tahun, saya putus sekolah dan menjalani magang selama empat tahun sebagai montir listrik, di mana saya menunjukkan keahlian. Tujuan saya  berhenti sekolah adalah untuk melarikan diri dari ancaman (bully) siswa SMA, namun sekarang saya malah terlempar ke kumpulan laki-laki bermulut busuk dan kasar. Selama masa pembangunan gedung, banyak beredar pornografi (yang merangsang saya), dan para pria selalu berbicara tentang hubungan seks dengan wanita dan perselingkuhan mereka. Saya benar-benar terasing dari mereka. Mereka meremehkan dan mengkritik saya. Suatu kali sekumpulan pria mengeroyok dan menanggalkan semua pakaian saya. Lalu saya ditinggalkan di sebuah ruangan kecil yang belum selesai dibangun di salah satu lantai atas dari gedung bertingkat yang sedang kami kerjakan. Jika bukan karena kebaikan hati  seorang pria yang mengambilkan pakaian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.

Ketika seorang mekanik mengajak saya berhubungan seksual, saya menerimanya walau dengan enggan. Diam-diam kami melakukan hubungan homoseks di tempat kerja. Inilah pengalaman seksual saya dengan pria sejak berakhirnya hubungan saya dengan teman di sekolah, dan berlangsung sampai ia dipindahkan ke bangunan lain. Ketika saya bertemu dengannya lagi kemudian, saya tidak lagi menanggapi ajakannya. Kali ini komitmen rohani saya memiliki dampak kuat untuk mengambil keputusan.

Saya mencoba menghindari pria sebisanya, walau saya menginginkan mereka.

Tugas saya berikutnya di toko listrik perusahaan. Saya merasa senang karena tidak ada banyak pria. Sehingga , saya bisa merasa kuat tanpa rasa takut dan berjaga-jaga. Saya akan menghindari para pria sebisanya, walaupun saya tertarik kepada mereka. Saya tidak pernah menghabiskan waktu dengan para pria walau nantinya saya menghabiskan waktu dengan pria heteroseksual di gereja saya.

Menemukan Pria Sejati.

Karena hubungan non-seksual saya dengan salah seorang pemuda membuat saya lebih aktif terlibat dengan gereja dan memiliki pencerahan kerohanian yang memberikan saya kekuatan internal awal yang lebih besar.

Untuk mengecilkan kecurigaan terhadap identitas seks dan karena saya suka berada bersama cewek dan merasa aman dengan mereka, maka saya mengencani beberapa gadis gereja selama masa remaja. Namun secara seksual, saya tertarik dengan laki-laki di gereja. Saya berusaha bermalam di rumah mereka, dan kemudian malam-malam saat mereka tidur, saya memainkan dan membangunkan alat kelamin mereka tanpa membuat mereka terjaga. Karena waspada, beberapa dari mereka melaporkan hal ini kepada para penatua jemaat (majelis). Saya sangat malu, namun para penatua dan jemaat dengan baik hati menanggapinya. Mereka membantu saya mengenali perilaku saya sebagai penyerang dan membantu saya mengatasinya. seorang pria tersebut kemudian terus menjadi teman sejati, memberi kepercayaan dan menjadi mentor saya.

Pada awal umur 20-an, saya pindah dari Australia ke Amerika Serikat selama satu setengah tahun untuk memisahkan hasrat homoseksual dengan perasaan rohani saya dan keinginan saya untuk berkeluarga. Sebagian dari diri saya ingin melayani Tuhan sebagai misionaris penuh-waktu. Sebagian dari diriku ingin menikahi seorang wanita dan punya anak. Sebagian lagi ingin mencari kekasih pria dan menikmati semua fantasi homoseks saya. Konflik dalam diri saya begitu mengerikan, dan seluruh masa depan saya tergantung seperti itu. Saya merasa terhilang namun mengikuti  arahan spiritual menjadi pilihan terbaik walaupun saya terus terbelah.

Berpaling kepada Allah

Sebuah kecelakaan sepeda motor mengerikan membawa hasrat terdalam hidup saya untuk benar-benar fokus. Kaki saya patah dalam kecelakaan itu, dan saya masuk rumah sakit selama sebulan penuh ditambah enam bulan terapi pemulihan. Karena khawatir tidak pernah bisa berjalan lagi, saya pun memohon Tuhan untuk menyelamatkan saya - secara fisik dan rohani. Saya berjanji kepada Tuhan bahwa jika Dia menyembuhkan kaki saya, saya akan mengubah hidup saya, berhenti mencari kepuasan seks dengan laki-laki, dan melayani misi penuh-waktu (jika Tuhan menghendaki saya sebagai seorang misionaris).

Setelah kembali ke Australia, saya memenuhi janji saya kepada Allah, dan Dia menolong saya untuk berjalan lagi. Saat saya membenamkan diri dalam Kitab Suci, saya menerima kesaksian rohani yang paling kuat dari kebenarannya, terutama saat saya dengan iman menyerahkan kelemahan saya kepada Tuhan agar anugerah Allah mengubah kelemahan saya menjadi kekuatan. (Di masa mendatang saya banyak belajar bahwa prinsip alkitabiah ini diterapkan pada Dua Belas Langkah Alcoholics Anonymous dan Sexaholics Anonymous (kelompok untuk mendukung orang yang kecanduan minuman keras dan masalah seks). Ini menghasilkan pencerahan rohani lain; entah bagaimana saya tahu bahwa Tuhan bisa membantu saya, dan dia akan memberi saya kekuatan untuk berkembang dalam pelayanan kepadaNya.

Pada tahun 1983 saat berusia 26 tahun, saya menerima telepon dari gereja saya untuk melayani sebagai misionaris penuh waktu selama dua tahun di negara asal saya Australia. Perasaan dan kenangan homosek tidak bisa hilang dengan cara apapun, tapi saya menemukan saat saya bertekun dalam pelayanan kepada Tuhan maka hal itu akan terpendam.

Ketika saya menyelesaikan misi dan pulang ke rumah, saya segera menemukan bahwa ketika saya tidak lagi melayani Tuhan penuh waktu, hasrat homoseksual itu muncul kembali. Tapi sejak tahun 1983 saya tidak pernah lagi menyerah pada godaan untuk melakukan hubungan seks dengan laki-laki. Saya terlambat masuk universitas, namun akhirnya memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu sosial dengan fokus pada pengembangan masyarakat. Saya mulai lagi berkencan dengan wanita, dan menikah pada usia 30.

Saya tidak pernah mengatakan kepada istri saya tentang sejarah masalah homoseksual saya sampai setelah sekitar lima tahun pernikahan kami. Ketika akhirnya saya katakan padanya, itu bukanlah kejutan besar baginya walau awalnya menciptakan keretakan serius dalam hubungan kami. Akhirnya dia mendukung, percaya bahwa perilaku, setidaknya perasaan itu adalah masa lalu saya.

Kecelakaan emosional ini membangunkan saya pada kenyataan bahwa hidup saya tidak berhasil.

Meskipun saya tidak aktif secara homoseksual, namun emosi homoseks menjauhkan rasa sayang saya kepada istri seperti yang seharusnya. Akhirnya, kami mulai saling menarik diri secara emosional. Setelah 10 tahun menikah dan memiliki tiga anak, saya dan istri berpisah. Seperti kecelakaan sepeda motor bertahun-tahun sebelumnya, kecelakaan emosional ini menyadarkan saya atas fakta bahwa saya tidak berhasil. Menjauhi perilaku homoseksual dan melayani Tuhan (sepenting pertumbuhan dan perkembangan manusia) hampir tidak cukup bagi saya untuk menjalani pernikahan heteroseksual yang benar-benar sehat jika saya masih diam-diam bernafsu mengejar pria.

Mengungkap dan Menyembuhkan Luka yang terkubur.

Dengan kerawanan  pernikahan dan keutuhan keluarga, saya pergi ke terapi, dan untuk pertama kalinya ditangani langsung terhadap pelecehan seksual dari kakak laki-laki saya. Terapi menyadarkan saya atas asal-usul sebenarnya dari identitas dan kebingungan seksual. Saya mengakui bahwa saya perlu mengubah cara saya melihat diri saya sendiri dan dunia tempat saya tinggal - terutama dunia laki-laki.

Saya mulai menjalani terapi buku yakni dengan membenamkan diri dalam buku-buku tentang bagaimana mengatasi homoseksualitas, untuk membantu saya memahami bagaimana pelecehan seksual menyebabkan prilaku homoseks. Joseph Nicolosi dalam bukunya "Terapi Penyembuhan untuk Homoseks" membuka pikiran dan hati saya untuk memahami seksualitas dan diri saya. Saya memperoleh pemahaman baru bahwa kalau masa lalu saya pulih, maka saya akan menyembuhkan masa kini. Saya tidak ditakdirkan untuk menjadi homoseks selamanya! Saya menghadapi anggota keluarga yang telah melecehkan saya dan mengetahui bahwa ia juga telah dilecehkan, meskipun oleh seseorang yang bukan keluarga.

Saya menghadapi ayah yang membuat saya merasa terasing begitu lama, dan ia membuka dirinya atas pergumulan hidupnya yang membuatnya menjadi pribadi yang tertutup. Saya baru memahami kekurangan kasihnya bukan karena saya tapi karena dirinya sendiri yang merasakan sakit secara emosional sejak kecil khususnya dengan kematian kedua orang tuanya. Ibunya meninggal seminggu setelah kelahirannya dan ayahnya yang dia tidak pernah bertemu meninggal saat dia berusia sembilan tahun. Selain itu ia memendam pengalaman perang traumatis yang membuatnya marah dan terluka.

Menghadapi luka masa lalu saya - dengan menghadapi anggota keluarga dan ayah dan kemudian memahami mereka - adalah awal dari pemulihan perasaan homoseksl dan awal saya bertumbuh sebagai seorang pria.

Dengan wawasan baru yang masuk ke dalam diri sendiri dan keinginan nyata untuk hidup saya, saya berdamai dengan istri setelah berpisah selama tiga bulan. Kami bertekad untuk menempatkan keluarga kami di atas segalanya, dan saya berjanji untuk mengatasi masalah-masalah mendasar yang menyebabkan berawalnya perasaan homoseks. Semakin banyak saya menyelami, semakin saya menemukan bahwa pikiran dan perasaan homoseksual saya menjadi kurang menarik dan lebih mudah untuk menghilangkannya. Mereka tidak lagi sama bagi saya.

Secara khusus, buku yang berjudul "Kemauan Saja Tidak Cukup" oleh Dean Byrd dan Mark Chamberlain menolong saya lebih lanjut untuk melepaskan fantasi homoseksual dan minat dalam pornografi internet dengan berfokus bukan pada pengendalian perilaku manusia akan tetapi dengan mengubah keinginan melalui penyerahan kepada Allah. Saya kembali menghadapi orang yang melecehkan saya karena saya merasa dia masih memperlakukan saya sebagai seorang anak kecil. Untuk pertama kalinya saya bertemu dengannya dalam kedudukan yang sederajat yang membantu saya menjadi pria yang lebih kuat dan dewasa.

Semakin kuat saya merasa sebagai pria, semakin berkurang hasrat seksual saya terhadap kedewasaan pria lainnya.

Saya telah belajar untuk mencintai dan bahkan menghormati ayah saya. Dia meninggal pada Mei 2003 dan saya menghabiskan waktu bersamanya di jam-jam terakhir hidupnya. Hal itu membantu saya mengenali persamaan di antara kami dalam banyak hal. Saya memberi pidato saat pemakamannya dan hal itu juga membantu penyembuhan diri saya. Semua hal ini telah mengajarkan bahwa makin saya merasa kuat sebagai pria, semakin berkurang hasrat seksual saya terhadap kedewasaan pria lainnya.

Pria yang Menolong Pria Lain dalam Menemukan Kedewasaan

Bersama perjalanan menuju kedewasaan yang terlambat, saya menemukan orang-orang yang membimbing saya secara informal seperti saat saya diperlukan waktu menghadapi luka ayah sebagai seorang pria, sifat rentan takut secara emosional seumur hidup dan banyak hal lain yang berkaitan dengan kebingungan saya menuju kedewasaan. Pembimbingan ini secara khusus telah banyak memberi efek penyembuhan. Saya dapat melihat sekarang bahwa hanya laki-laki lain dapat memberikan penegasan kejantanan dan pembinaan,  bahwa setiap anak laki-laki perlu menuntaskan perjalanannya menuju kedewasaan seorang pria. Inilah harapan saya bahwa saya bisa melakukan hal ini untuk kedua anak saya juga.

Dengan mendengarkan dan memberi dukungan, saya menemukan kepuasan besar untuk berada di sana bagi laki-laki lain. Para pria lainnya memiliki pergumulan, meskipun belum tentu serupa saya, namun secara mengejutkan sama dan penting untuk mendukung. Saya masih bisa berbicara secara dalam dengan pria lain, saling memberikan dukungan dengan cara yang berbeda (namun dalam beberapa hal serupa), upaya untuk mencapai potensi penuh kami. Setelah berlalunya tahun-tahun pelecehan seksual yang saya alami, saya menemukan sukacita besar dengan saling memberi, hubungan platonis (cinta tanpa harus memiliki) dengan laki-laki lain yang tidak mengingini apapun dari saya selain persahabatan sejati ​​dan penuh perhatian.

Pernikahan saya sekarang lebih baik dari sebelumnya. Saya sekarang berusia 47 dan seksualitas saya berubah karena saya mengenali gairah seks saya tidak sama seperti dulu. Saya dan istri saya telah meningkatkan komitmen dan pemahaman saat hubungan kami menjadi hubungan persahabatan yang lebih dalam. Saya menemukan sukacita sebagai pria yang lebih besar dalam peran saya sebagai suami dan ayah. Saya menikmati pergaulan dengan anak-anak saya dan menemani mereka.

Seorang teman telah mendorong saya untuk meningkatkan kemampuan saya. Sekarang saya menjalankan perusahaan saya sendiri yang telah membantu banyak orang untuk menggunakan komputer di rumah atau kantor mereka. Saya telah memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup saya bekerja dengan para pria secara profesional untuk menolong mereka menemukan potensi mereka seutuhnya - apa pun itu. Telah menjadi sebuah perjalanan panjang di ulang tahun ke-48 saya, untuk menyadari pentingnya seorang pria membantu pria lainnya untuk tumbuh sebagai laki-laki. Saya pernah merasakan sangat terasing dari laki-laki dan karena takut, melakukan segala upaya untuk menghindari mereka. Akibatnya, kebutuhan bawaan saya untuk berhubungan dengan laki-laki hanya bisa dipenuhi secara seksual. Setiap kali bisa, saya membantu para pria untuk menemukan penyembuhan rohani dan emosional dan cinta saya untuk laki-laki sebagai saudara kandung menghalangi hasrat seksual saya kepada mereka.

Saya terus berpartisipasi dalam gereja sebagai pemimpin sekelompok pria, laki-laki dewasa, dan seperti yang dijanjikan Allah kepada saya bertahun-tahun yang lalu, kelemahan saya dalam kenyataannya telah menjadi kekuatan saya.

--Peter Hollow, Updated November 2013

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home