Kesaksian Pemulihan Peter Hollow : Mengubah Kelemahan Menjadi Kekuatan
Diterjemahkan oleh Ong Po
Han. Tidak sepenuhnya diterjemahkan satu kata per satu kata dan sudah dibuat
penyesuaian yang saya anggap perlu. Kalau ada kesalahan terjemah atau tidak
dimengerti, mohon dimaafkan.
Saya
tak bisa mengingat
waktu yang telah saya lalui tanpa
berurusan dengan masalah-masalah homoseks. Seorang anggota keluarga dekat (kakak
laki-laki) mulai melakukan pelecehan seksual ketika
saya berusia tujuh atau delapan tahun. Ia beberapa tahun lebih tua dari saya. Dia meminta saya melakukan seks oral dengan saya
secara rutin. Hal ini berlangsung sekitar satu tahun,
sampai ia meninggalkan kami.
Dia seorang anggota
keluarga dekat, dan saya percaya padanya. Pada awalnya saya tidak menyadari
bahwa ada sesuatu yang salah dengan apa yang kami lakukan. Rasanya menyenangkan
dan saya menikmati perhatiannya, terutama karena saya tidak mendapatkan banyak
perhatian positif dari ayah, yang menjaga jarak, bersikap memusuhi dan sering melakukan kekerasan. Namun saya bertanya-tanya tentang rahasia ini : Saya dimintanya untuk tidak
memberitahu siapa pun atau dia akan menghukum saya. Jadi saya merasa diinginkan sekaligus diancam. Saya sangat, sangat bingung dengan cinta, terutama cinta "persaudaraan"
antar pria.
Saya bingung dengan apa yang dimaksudkan dengan
menjadi laki-laki.
Lebih-lebih lagi, saya
bingung dengan apa dimaksudkan dengan
menjadi laki-laki. Saya tidak bisa menghubungkan antara dunia anak
laki-laki dengan dunia pria dewasa. Saya
punya masalah kemampuan motorik, jadi saya tidak pandai di bidang olahraga. Di sekolah, pada awalnya saya
menghabiskan waktu bersama
para siswa laki-laki. Namun kemudian ternyata lebih menyenangkan bersama
murid-murid perempuan. Di hari-hari awal sekolah saya merasa lebih
nyaman berada dengan para
siswi. Di rumah, saya orangnya pendiman dan
tunduk kepada ibu yang
terpisah secara emosional. Saya selalu berusaha untuk menjadi
anak baik dan rajin membantu.
Landasan Iman
Selama
masa kanak-kanak saya memiliki minat yang mendalam dalam hal kerohanian dan
keagamaan dan merasa bahwa Allah sedang mengawasi saya dan jika bukan karena dasar iman, saya yakin
tidak akan mampu berjuang mengatasi ketertarikan
sesama jenis.
Ketika
berusia 12 tahun, saya berteman dengan seorang anak laki-laki di sekolah yang
ayahnya telah meninggal. Seperti saya, dia belum matang untuk usianya. Saya
mulai mengikuti program pemuda di gerejanya. Dari hari pertama hadir saya tahu bahwa saya
ingin menjadi anggota gerejanya. Saya sangat tertarik dengan hal-hal rohani khususnya dengan aspek rasional
dari agama. Itulah ruang di mana saya bisa merasa santai dan nyaman -
tidak seperti rumah saya dan sekolah. Saya merasa bahwa kebenaran rohani yang saya dengar terasa akrab dan saya
ingin terlibat, sehingga saya pun segera dibaptis.
Tidak
lama kemudian, saat bermalam di rumah teman, ia mengajak saya berhubungan seks dan saya menerimanya.
Sejak saat itu kami aktif
dalam kegiatan seks homo, termasuk onani bersama, sex oral dan sex anal.
Tentu saja saya merasa senang dan lepas, tapi secara
emosional saya tidak merasa apa-apa. Teman saya ingin mencium dan memeluk, tapi entah
bagaimana saya tahu bahwa laki-laki tidak memperlakukan satu sama lain seperti
kekasih sehingga saya menolaknya. Saya tidak mengaitkan
rasa sayang dengan seks.
Kecanduan dan Terpikat,
namun Salah.
Terlintas dalam pikiran
saya bahwa apa yang kami lakukan mungkin salah, namun karena ada seorang anggota
keluarga dekat telah melakukan hal serupa, saya ingin meneruskan pengalaman ini. Seiring waktu,
saya mulai menyadari bahwa praktek-praktek seksual kami hanya mengikuti kata hati dan
kosong. Saya bisa merasakan bahwa seks itu secara rohani melemahkan
dan dangkal, dan mengakibatkan perasaan rendah diri dan perilaku merusak diri
sendiri. Membuat kecanduan dan memikat, namun
saya merasa bersalah.
Saya beranggapan bahwa kami lebih dari sekedar teman,
namun sifat pemarahnya sulit diatasi. Hubungan dengannya berlanjut sampai sekitar delapan belas bulan dan berakhir karena saya merasa tidak sanggup lagi. Saya merasa lega sudah
lepas darinya, namun kami masih tetap berhubungan. Setelah itu, saya merasakan
kekosongan yang tidak bisa saya atasi. Saya bertemu dengannya lagi beberapa tahun
kemudian dan waktu itu ia telah menikah dan kemudian bercerai. Dia memberi isyarat seksual , namun saya tidak
menanggapinya. Lalu dia menikah lagi dan memiliki anak-anak dan lebih bahagia walaupun ia tidak
lagi bergabung dengan gereja
kami.
Takut kepada Pria
Mengingat keterlibatan
seksual awal saya dengan seorang
anggota keluarga dan kemudian dengan teman saya,
keterasingan dari ayah dan saya terlalu bergantung pada ibu, tidak mengherankan
saya menjadi agak kewanitaan. Saat SMA, para siswa pria menggoda dan mengejek saya gara-gara hal ini dan karena saya enggan olahraga. Seorang pria tinggi dan bertubuh tegap
datang menolong dan membela saya. Lebih dari sekali dia
melindungi saya dari pemukulan. Saya menghargainya karena dialah salah satu dari sedikit pria yang memperlakukan
saya sebagai seorang pribadi yang utuh dan membela saya terhadap pengganggu (tukang bully). Tampaknya dia mengerti.
Secara emosional hal ini sulit bagi
saya. Saya mencoba
segala cara untuk menghindari kelas pendidikan jasmani, yang juga tidak bisa memperbaiki reputasi
saya. Saya terus waspada dan berbeda dari khususnya para siswa lainnya di sekolah. Saya sering menarik diri dan diam-diam
mendengarkan mereka namun tidak bisa bergaul
dalam bahasa mereka. Saya tidak pernah berhubungan atau merasa
menjadi bagian dari mereka. Masalah
seksual telah membuat saya lebih menjauhi mereka.
Di usia 16 tahun, saya putus
sekolah dan menjalani magang selama empat tahun sebagai montir listrik, di mana saya menunjukkan keahlian. Tujuan
saya berhenti sekolah adalah untuk
melarikan diri dari ancaman
(bully) siswa SMA, namun sekarang saya malah terlempar ke kumpulan laki-laki
bermulut busuk dan kasar. Selama masa pembangunan gedung, banyak beredar pornografi (yang merangsang
saya), dan para pria selalu berbicara tentang hubungan seks
dengan wanita dan
perselingkuhan mereka. Saya benar-benar terasing dari
mereka. Mereka meremehkan dan mengkritik saya. Suatu kali sekumpulan pria mengeroyok dan
menanggalkan semua pakaian saya. Lalu saya ditinggalkan di sebuah ruangan kecil yang belum
selesai dibangun di salah satu lantai atas dari gedung bertingkat yang sedang kami
kerjakan. Jika bukan karena
kebaikan hati seorang
pria yang mengambilkan pakaian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Ketika
seorang mekanik mengajak saya
berhubungan seksual, saya menerimanya walau dengan enggan. Diam-diam kami
melakukan hubungan homoseks di tempat kerja. Inilah pengalaman
seksual saya dengan pria sejak
berakhirnya hubungan saya dengan teman di sekolah, dan
berlangsung sampai ia dipindahkan ke bangunan lain. Ketika saya bertemu
dengannya lagi kemudian, saya tidak lagi menanggapi
ajakannya. Kali ini komitmen rohani saya memiliki
dampak kuat untuk mengambil keputusan.
Saya mencoba menghindari pria sebisanya, walau saya menginginkan mereka.
Tugas saya berikutnya di
toko listrik perusahaan. Saya merasa senang karena tidak ada banyak
pria. Sehingga , saya bisa merasa kuat tanpa rasa takut dan berjaga-jaga.
Saya akan menghindari para pria sebisanya, walaupun saya
tertarik kepada mereka. Saya tidak pernah menghabiskan waktu dengan para pria walau nantinya saya menghabiskan
waktu dengan pria heteroseksual di gereja saya.
Menemukan
Pria Sejati.
Karena hubungan
non-seksual saya dengan salah seorang pemuda membuat saya lebih aktif terlibat
dengan gereja dan memiliki pencerahan kerohanian yang memberikan saya kekuatan internal
awal yang
lebih besar.
Untuk mengecilkan kecurigaan
terhadap identitas seks dan karena saya suka berada bersama cewek dan merasa aman dengan mereka,
maka saya
mengencani beberapa gadis gereja selama masa remaja. Namun secara seksual, saya tertarik dengan laki-laki di gereja. Saya berusaha
bermalam di rumah mereka, dan kemudian malam-malam saat mereka tidur,
saya memainkan dan
membangunkan alat kelamin mereka tanpa membuat mereka terjaga. Karena waspada, beberapa dari mereka melaporkan hal ini kepada para penatua jemaat (majelis). Saya sangat malu, namun para penatua dan jemaat dengan baik hati menanggapinya. Mereka membantu saya mengenali perilaku saya sebagai penyerang dan
membantu saya mengatasinya. seorang pria
tersebut kemudian terus menjadi teman sejati, memberi kepercayaan
dan menjadi mentor saya.
Pada
awal umur 20-an, saya pindah dari Australia ke Amerika Serikat selama satu
setengah tahun untuk memisahkan
hasrat homoseksual dengan perasaan rohani saya dan
keinginan saya untuk berkeluarga. Sebagian dari diri saya ingin melayani Tuhan sebagai misionaris
penuh-waktu. Sebagian dari diriku ingin menikahi seorang wanita dan punya anak.
Sebagian lagi ingin mencari kekasih
pria dan menikmati semua fantasi homoseks saya. Konflik dalam diri saya begitu mengerikan, dan seluruh masa depan saya tergantung seperti itu. Saya
merasa terhilang namun mengikuti
arahan spiritual
menjadi pilihan terbaik walaupun
saya terus terbelah.
Berpaling kepada Allah
Sebuah
kecelakaan sepeda motor mengerikan membawa hasrat terdalam hidup saya
untuk benar-benar fokus. Kaki saya patah dalam kecelakaan itu, dan saya masuk rumah sakit selama sebulan penuh
ditambah enam bulan terapi pemulihan. Karena khawatir tidak
pernah bisa berjalan lagi, saya pun memohon Tuhan untuk menyelamatkan saya - secara
fisik dan rohani. Saya berjanji kepada Tuhan bahwa jika Dia menyembuhkan kaki saya,
saya akan mengubah hidup saya, berhenti mencari kepuasan seks dengan
laki-laki, dan melayani misi penuh-waktu (jika Tuhan menghendaki saya sebagai seorang misionaris).
Setelah kembali ke
Australia, saya memenuhi janji saya kepada Allah, dan Dia menolong saya untuk berjalan
lagi. Saat saya membenamkan
diri dalam Kitab Suci, saya menerima kesaksian rohani
yang paling kuat dari kebenarannya, terutama saat saya dengan iman menyerahkan kelemahan saya
kepada Tuhan agar anugerah Allah mengubah kelemahan
saya menjadi kekuatan. (Di
masa mendatang saya banyak belajar bahwa prinsip
alkitabiah ini diterapkan
pada Dua Belas Langkah Alcoholics Anonymous dan
Sexaholics Anonymous
(kelompok untuk mendukung orang yang kecanduan minuman keras dan masalah seks). Ini menghasilkan
pencerahan rohani lain; entah bagaimana saya tahu bahwa Tuhan bisa membantu
saya, dan dia akan memberi saya kekuatan untuk berkembang dalam pelayanan
kepadaNya.
Pada
tahun 1983 saat berusia 26 tahun, saya menerima telepon dari gereja saya untuk melayani sebagai misionaris penuh waktu selama dua tahun di negara asal saya Australia. Perasaan dan kenangan homosek
tidak bisa hilang dengan cara apapun, tapi saya menemukan saat saya bertekun dalam pelayanan
kepada Tuhan maka hal itu
akan terpendam.
Ketika
saya menyelesaikan misi dan pulang
ke rumah, saya segera menemukan bahwa ketika saya tidak
lagi melayani Tuhan penuh waktu, hasrat homoseksual itu muncul kembali. Tapi
sejak tahun 1983 saya tidak pernah lagi menyerah pada godaan untuk melakukan
hubungan seks dengan laki-laki. Saya terlambat masuk universitas, namun akhirnya memperoleh gelar
sarjana dalam bidang ilmu sosial dengan fokus pada pengembangan masyarakat. Saya mulai lagi berkencan dengan wanita, dan
menikah pada usia 30.
Saya
tidak pernah mengatakan kepada istri saya tentang sejarah masalah homoseksual saya sampai setelah sekitar
lima tahun pernikahan kami. Ketika akhirnya saya katakan padanya, itu bukanlah kejutan besar baginya walau awalnya
menciptakan keretakan serius dalam hubungan kami. Akhirnya dia
mendukung, percaya bahwa perilaku, setidaknya perasaan itu adalah masa lalu
saya.
Kecelakaan
emosional ini membangunkan saya pada kenyataan bahwa hidup saya tidak berhasil.
Meskipun
saya tidak aktif secara homoseksual, namun
emosi homoseks menjauhkan rasa sayang saya kepada
istri seperti yang seharusnya. Akhirnya, kami mulai saling menarik
diri secara emosional. Setelah 10 tahun menikah dan memiliki tiga anak, saya
dan istri berpisah. Seperti kecelakaan sepeda motor bertahun-tahun sebelumnya,
kecelakaan emosional ini menyadarkan
saya atas fakta bahwa saya tidak berhasil. Menjauhi perilaku
homoseksual dan melayani Tuhan (sepenting pertumbuhan dan perkembangan manusia) hampir tidak cukup bagi saya untuk menjalani pernikahan
heteroseksual yang benar-benar sehat jika saya masih diam-diam bernafsu mengejar pria.
Mengungkap dan Menyembuhkan Luka yang terkubur.
Dengan kerawanan pernikahan dan keutuhan keluarga, saya
pergi ke terapi, dan untuk pertama kalinya ditangani langsung terhadap pelecehan
seksual dari kakak laki-laki saya. Terapi menyadarkan
saya atas asal-usul sebenarnya dari identitas dan
kebingungan seksual. Saya mengakui bahwa saya perlu mengubah cara saya melihat
diri saya sendiri dan dunia tempat
saya tinggal - terutama dunia laki-laki.
Saya
mulai menjalani terapi buku
yakni dengan membenamkan diri dalam buku-buku tentang bagaimana mengatasi
homoseksualitas, untuk membantu saya memahami bagaimana pelecehan seksual menyebabkan prilaku homoseks. Joseph Nicolosi dalam bukunya "Terapi Penyembuhan untuk Homoseks"
membuka pikiran dan hati saya untuk memahami seksualitas dan diri saya. Saya memperoleh
pemahaman baru bahwa kalau
masa lalu saya pulih, maka saya akan menyembuhkan masa kini. Saya
tidak ditakdirkan untuk menjadi
homoseks selamanya! Saya menghadapi anggota
keluarga yang telah melecehkan saya dan mengetahui bahwa ia juga telah dilecehkan,
meskipun oleh seseorang yang
bukan keluarga.
Saya menghadapi ayah yang membuat saya
merasa terasing begitu lama, dan ia membuka dirinya atas pergumulan hidupnya yang membuatnya menjadi
pribadi yang tertutup. Saya baru memahami kekurangan kasihnya bukan karena
saya tapi karena dirinya sendiri yang merasakan sakit secara emosional sejak
kecil khususnya dengan kematian kedua orang tuanya. Ibunya meninggal seminggu setelah
kelahirannya dan ayahnya yang dia tidak pernah bertemu meninggal saat dia berusia
sembilan tahun. Selain itu ia memendam pengalaman perang traumatis yang
membuatnya marah dan terluka.
Menghadapi
luka masa lalu saya - dengan menghadapi anggota keluarga dan ayah dan kemudian memahami
mereka - adalah awal dari pemulihan
perasaan homoseksl dan awal saya bertumbuh sebagai
seorang pria.
Dengan
wawasan baru yang masuk ke dalam diri sendiri dan keinginan nyata untuk hidup saya, saya
berdamai dengan istri setelah berpisah selama tiga bulan. Kami bertekad untuk
menempatkan keluarga kami di atas segalanya, dan saya berjanji untuk mengatasi masalah-masalah
mendasar yang menyebabkan berawalnya
perasaan homoseks. Semakin banyak saya menyelami, semakin
saya menemukan bahwa pikiran dan perasaan homoseksual saya menjadi kurang
menarik dan lebih mudah untuk menghilangkannya. Mereka tidak lagi sama bagi saya.
Secara
khusus, buku yang berjudul "Kemauan Saja Tidak Cukup" oleh Dean Byrd dan Mark
Chamberlain menolong saya lebih lanjut untuk melepaskan fantasi homoseksual dan minat
dalam pornografi internet dengan berfokus bukan pada pengendalian perilaku manusia
akan tetapi dengan mengubah keinginan melalui penyerahan kepada Allah. Saya kembali menghadapi orang yang melecehkan saya
karena saya merasa dia masih memperlakukan saya sebagai
seorang anak kecil. Untuk pertama kalinya saya bertemu dengannya dalam kedudukan yang sederajat yang membantu saya menjadi
pria yang lebih kuat dan dewasa.
Semakin kuat saya merasa sebagai pria, semakin berkurang hasrat seksual saya terhadap kedewasaan pria lainnya.
Saya
telah belajar untuk mencintai dan bahkan menghormati ayah saya. Dia meninggal
pada Mei 2003 dan saya menghabiskan waktu bersamanya di jam-jam terakhir hidupnya. Hal itu membantu
saya mengenali persamaan di
antara kami dalam banyak hal. Saya memberi pidato saat pemakamannya dan hal itu juga membantu penyembuhan diri
saya. Semua hal ini telah mengajarkan bahwa makin saya merasa kuat sebagai pria, semakin
berkurang hasrat seksual saya terhadap kedewasaan pria lainnya.
Pria yang Menolong Pria Lain dalam Menemukan Kedewasaan
Bersama perjalanan menuju kedewasaan yang terlambat,
saya menemukan orang-orang yang membimbing saya secara informal seperti saat saya diperlukan waktu menghadapi
luka ayah sebagai seorang pria, sifat rentan takut secara emosional
seumur hidup dan banyak hal lain yang berkaitan dengan kebingungan saya menuju kedewasaan. Pembimbingan ini secara khusus telah
banyak memberi efek penyembuhan. Saya dapat melihat sekarang bahwa hanya laki-laki lain
dapat memberikan penegasan kejantanan
dan pembinaan,
bahwa setiap
anak laki-laki perlu menuntaskan perjalanannya menuju kedewasaan seorang pria. Inilah harapan saya bahwa saya bisa melakukan hal ini untuk kedua anak saya
juga.
Dengan mendengarkan dan memberi dukungan, saya menemukan kepuasan besar untuk berada di sana bagi laki-laki lain. Para pria lainnya memiliki
pergumulan, meskipun belum tentu
serupa saya, namun secara mengejutkan sama dan penting untuk
mendukung. Saya masih bisa berbicara secara dalam dengan pria lain, saling memberikan dukungan dengan cara yang
berbeda (namun dalam beberapa hal serupa), upaya untuk
mencapai potensi penuh kami. Setelah berlalunya tahun-tahun pelecehan seksual yang saya alami,
saya menemukan sukacita besar dengan saling memberi, hubungan platonis (cinta tanpa harus memiliki) dengan laki-laki lain yang tidak mengingini apapun dari saya selain persahabatan
sejati dan penuh perhatian.
Pernikahan saya sekarang
lebih baik dari sebelumnya. Saya sekarang berusia 47 dan seksualitas
saya berubah karena saya mengenali gairah seks saya tidak sama seperti dulu.
Saya dan istri saya telah meningkatkan
komitmen dan pemahaman saat hubungan kami menjadi hubungan persahabatan yang lebih dalam. Saya menemukan sukacita sebagai pria yang lebih
besar dalam peran saya sebagai suami dan ayah. Saya menikmati pergaulan dengan
anak-anak saya dan menemani mereka.
Seorang
teman telah mendorong saya untuk meningkatkan kemampuan saya. Sekarang
saya menjalankan perusahaan saya sendiri yang telah membantu banyak orang untuk
menggunakan komputer di rumah atau kantor mereka. Saya telah memutuskan untuk
menghabiskan sisa hidup saya bekerja dengan para pria secara profesional
untuk menolong mereka menemukan potensi mereka seutuhnya - apa pun itu. Telah menjadi sebuah perjalanan
panjang di ulang tahun ke-48 saya, untuk menyadari pentingnya seorang pria membantu pria lainnya untuk
tumbuh sebagai laki-laki. Saya pernah merasakan sangat terasing dari
laki-laki dan karena takut, melakukan segala upaya untuk menghindari mereka. Akibatnya,
kebutuhan bawaan saya untuk berhubungan
dengan laki-laki hanya bisa dipenuhi secara seksual.
Setiap kali bisa, saya membantu para pria untuk
menemukan penyembuhan rohani dan emosional dan cinta saya untuk laki-laki sebagai saudara kandung
menghalangi hasrat seksual
saya kepada
mereka.
Saya
terus berpartisipasi dalam gereja sebagai pemimpin sekelompok pria, laki-laki
dewasa, dan seperti yang dijanjikan Allah kepada saya bertahun-tahun
yang lalu, kelemahan saya dalam kenyataannya telah menjadi kekuatan saya.
--Peter
Hollow, Updated November 2013
Labels: gay, homoseks, kesaksian, pertobatan
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home