Saturday, November 17, 2012

Bapa yang Menginginkan Saya

Jim Shores

Jim Shores masih dapat mengingat dengan jelas awal perjalanannya menuju hal-hal yang menyakitkan – yang akhirnya membawa dirinya pada homoseksulitas.

Suatu Sabtu, ketika saya berumur sebelas tahun, ayah bertanya kepada saya apakah saya mau pergi berjalan-jalan bersamanya. Saya merasa sangat senang karena ayah tidak pernah mempunyai banyak waktu untuk saya. Saya merasa sangat bangga sewaktu kami menyusuri jalan. Ini adalah ayah saya, saya adalah anaknya. Lalu, muncul kata-kata yang tidak pernah terlupakan : “Jim, ayah dan ibumu mempunyai beberapa masalah…..”  Sekilas saya sadar ke mana arah pembicaraan ini. Permintaannya untuk berduaan saja dengan saya – untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan – hanyalah awal dari kepergiannya dari kehidupan kami untuk selamanya. Saya merasa sangat marah. Saya merasa hancur. Saya melontarkan kata-kata kasar kepadanya sebelum lari. Bagaimana mungkin ayah meninggalkan saya? Mengapa ia tidak menghabiskan waktu lebih banyak lagi bersama saya? Apa salah saya?

Setelah percakapan yang menegangkan dengan ayahnya, hidup – seperti yang diketahui Jim muda – tidak akan pernah sama lagi. Ayahnya meninggalkan rumah dan pindah hanya dalam jarak lima rumah bersama teman baik ibunya. Jim mulai membenci ayahnya dan diam-diam menyadari bahwa ia tidak percaya sungguh-sungguh mengenal ayahnya secara mendalam. Sementara itu, keluarganya berkurang dari sebuah kelompok yang terdiri dari lima laki-laki dan seorang ibu dengan seorang anak yang penuh kemarahan yang  baru saja memasuki usia pubertas dan SMP. Kemudian, kakak tertua Jim melanjutkan kulaih, dan ketiga saudaranya yang lain ikut tinggal bersama ayah mereka. Menurut kamus Ji, “Hidup itu buruk.”

Kabar Baik, Kabar Buruk

Tahun-tahun sebelum perceraian tersebut, setiap minggu keluarga Shores pergi ke Gereja Metodis Pertama dan setelah itu bersama-sama menikmati makan siang yang menyenangkan di suatu tempat perkumpulan di luar kota. AKan tetapi, jemaat gereja tersebut hanya suam-suam kuku saja. Tidak satu pun dalam keluarga tersebut yang memiliki iman secara mendalam. Ayahnya tertarik pada berbagai macam teori evolusi dan kemudian berubah menjadi seorang ateis. Ibu Jim bertumbuh sebagai seorang Kristen, tetapi kehilangan minatnya ketika dewasa. Sewaktu Jim masih anak-anak, Sekolah Minggu hanya sedikit sekali mengajarkan dosa dan keselamatan. “Sebaliknya,” Jim menjelaskan, “kami belajar ekologi, mengerjakan ketrerampilan tangan, dan belajar bahwa kita harus bersikap baik kepada sesama karena Allah itu kasih. Hanya sampai sejauh itulah yang diajarkan.”
                Setelah perceraian orangtuanya, bagaimanapun, ada perubahan rohani yang besar dalam keluarga itu. Jim dan ibunya menjadi oran-orang Kristen yang lahir baru. Dalam peristiwa yang terpisah selama kurusn waktu setahun, ketiga saudaranya menyusul. Satu-satunya orang tidak percaya yang tersisa adalah ayah Jim, yang kemudian dengan bersemangat menganut peribahasa yang terkenal pada tahun tujuh puluhan : “Kalau merasa hal itu baik, lakukanlah.”
                Oleh karena rindu untuk bertumbuh sebagai orang Kristen, Jim dan ibunya mulai pergi ke sebuah gereja yang tidak berdenominasi. Jim mulai banyak belajar mengenai Alkitab dan merasa heran mengapa tidak ada seorang pun di Gereja Metodis Pertama yang pernah mempelajari Alkitab. Tak lama kemudian, ia mengerti. “Alkitab menuntut adanya perubahan. Anda harus mengabaikannya atau membiarkannya mengubah diri Anda,” ia menjelaskan. “Dan kebanyakan anggota perkumpulan tersebut sudah cukup senang hanya dengan berstatus quo.” Namun, Jim belum merasa puas.
                Saya membutuhkan bantuan. Dan dalam firman Tuhan saya menemukan kepastian, janji-janji, tuntunan, dan firman untuk bertahan. Hubungan saya dengan Allah menjadi satu anak dan Bapak karena tidak ada satu manusia pun yang berdiri di antara Allah dan saya. Sekalipun demikian, saya memiliki kerinduan adanya seorang laki-laki , seorang ayah, seseorang yang saya jadikan tempat bernaung, seseorang yang bisa mengartikan dunia ini dan menjelaskan perubahan-perubahan hidup yang akan saya lalui dalam nada yang lembut dan kebapakan. Saya mulai membayangkan siapa laki-laki itu, jika bukan ayah saya. Bersamaan dengan itu, saya menemukan majalah pornografi milik saudara saya – dan tidak hanya sedikit tetapi setumpuk. Di ruang bawah tanah rumah kami terddapat cukup banyak majalah pornografi yang bisa menyebabkan masalah serius bagi rata-rata usia remaja. Akan tetapi, saya sama sekali bukan remaja biasa seperti pada umumnya. Saya benar-benar membutuhkan tuntunan. Saya merasa sendirian, terapung-apung, tanpa arah yang jelas. Saya memiliki Alkitab, namun mendadak Alkitab mempunyai saingan. Sekali saya menemukan pornografi tersebut, sesuatu yang menarik merayap masuk ke dalam kehidupan saya, di mana suatu saat nanti hal itu akan menghancurkan hidup saya selama bertahun-tahun. Jarak terbentang antara dunia iman saya dan Allah, dengan dunia pornografi, fantasi, dan masturbasi. Majalah-majalah di ruang bawa tanah tersebut terus memberikan hiburan. Pada usia empat belas tahun, saya menjalani kehidupan ganda; sebagian diri saya tetap setia kepada Allah Bapa, dan sebagian lain setia pada gambaran pornografi tentang laki-laki yang merupakan ayah, saudara, teman dan pacar.
                Kepergian sang ayah sangat melukainya. Dan karena hal itu juga, ia terbagi dua. Ia sangat merindukan ayahnya sekaligus membencinya karena telah meninggalkan dirinya. Di SMP, penolakan dari lingkungan pergaulannya menambah kesedihan Jim. Tinggi badannya sekitar 190 sentimeter, tubuhnya kerempeng, wajahnya dipenuhi jerawat, ia memakai kacamata yang tidak sesuai dengan bentuk wajahnya, dan sangat takut terhadap olahraga. Oleh karena tinggi badannya, Jim merupakan sasaran empuk agi teman-teman sebayanya yang mencari seseorang yang bisa dijadikan bahan ejekan. Saat itu, rasa rendah diri menjadi teman setia Jim.

Tetap Hidup
                Tetapi, perlakuan demikian tidak berlangsung lama setelah akhirnya Jim menemukan sebuah bentuk keselamatan sosial. Perlombaan dansa yang terkenal saat itu adalah disko, dan Jim mendapati bahwa ia bisa menari- benar-benar menari- tanpa larangan dan rasa takut. Sebagaimana yang ia katakana, “Saya menyadari bahwa saya bisa menjadi manis, saya bisa terlihat seksi, dan lihat, saya dikelilingi oleh banyak gadis, bukan? Saat itu adalah saat di suatu musim semi semasa SMP atau SMU, kamu berubah dari anak yang lugu menjadi seorang anak muda yang mulai bertumbuh, penuh janji – dan menarik hati para gadis.”
                Disko para remaja telah membuka pintu selanjutnya menuju SMU. Tanpa halangan apa pun, Jim berada di sana setiap Jumat dan Sabtu malam. Dengan rasa takjub, para gadis memintanya berdansa- gadis-gadis popular. Jim merasa sangat tertarik, bergembira, dan bersemangat. Tetapi, sesuatu yang tak terduga terhjadi dalam hubungannya dengan para gadis tersebut. Berkali-kali ia hanya menjadi sahabat mereka.
                 Bagaimana hal itu bisa terjadi? Bukankah saya seharusnya kencan dengan mereka? Tapi tidak, saya menjadi sahabat mereka. Apa penyebabnya? Parfum saya? Rambut saya? Kenyataan bahwa saya menggairahkan paar mereka? Mungkin itulah jawabannya. Oh, saya sengaja karena itulah satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan gadis-gadis itu. Saya bisa berbicara akrab sebagai teman kepada mereka. Saya bisa saja berciuman, bercumbu dan sebagainya, dan menikmatinya. Akan tetapi saya selalu merasa seperti seorang penipu. Kenyataannya adalah saya tidak memilki gagasan apa pun untuk mengkombinasikan hasrat saya terhadap keintiman secara alamiah dan sederhana dengan dunia perempuan. Sebaliknya, hasrat saya untuk keintiman justru secara mutlak mengarah pada dunia laki-laki. Dunia laki-laki adalah satu-satunya yang tidak bisa saya pahami; dunia olahraga tanpa rasa takut, dunia tentang ruang penyimpanan tanpa hasrat, persahabatan tanpa keirihatian, kesetiaan tanpa tipu muslihata. Laki-laki adalah sebuah misteri bagi saya – oleh sebab itu merupakan sasaran hasrat saya.
                Semasa SMU, kemarahan Jim terhadap ayahnya semakin menjadi-jadi. Ayahnya kaya, namun ia menolak membayar tunjangan bulanan anaknya Jim tidak pernah melihatnya; ayahnya juga tidak pernah menghubunginya. AKibatnya, Jim sangat merindukan pengakuan laki-laki: baik secara emosional , spiritual maupun seksual. Pada tahun terakhirnya di SMU , ia mulai berhubungan seks dengan laki-laki lain – laki-laki yang sungguh-sungguh ingin bersamanya.
                Selama masa SMU dan kuliah Jim masih terus pergi ke gereja, namun ia lebih tertarik pada usaha kerasnya untuk mencapai popularitas daripada upaya lain untuk mendalami masalah-masalah kerohanian. Dalam usahanya untuk memperoleh teman, ia pergi ke pesta-pesta di mana akhirnya ia mendapati bahwa minum minuman keras membuatnya lucu – atau palign tidak itulah yang ia dan teman-temannya pikirkan. Dalam prose situ, ia juga menemukan bahwa baik bir maupun mariyuana dapat mengurangi rasa sakit yang tersembunyi dalam jiwanya.
                Meskipun Jim pandai dan ramah serta berhasil dalam sekolahnya, ia mendapati dirinya semakin lama menjadi semakin depresi dan marah. Selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun kecanduannya terhadap alcohol meningkat sampai semasa kuliahnya depresinya menjadi begitu dalam sehingga ia merasa tidak bisa menanggulanginya lagi. Ia tidak hanya sekali waktu memakai mariyuana dalam porsi sedikit, tetapi sering kali ia memiliki banyak waktu luang pada akhir pekan untuk bermabuk-mabukan. Sejak saat itu, ia jarang pergi ke gereja, terutama karena ia merasa tidak tahan. Gereja membuatnya bosan dan tampaknya penuh dengan aturan-aturan. Yang terburuk, hadirnya sosok lain yang mengganggunya : Allah.

Terbuka
                Semasa kuliah, Jim mengumumkan homoseksualitasnya dengan mengatakannya kepada keluarga dan teman-temannya. Teman-temannya memberikan tanggapan dengan memberitahunya bahwa homoseksualitasnya adalah sesuatu yang “hebat”. Ironisnya, popularitas Jim membumbung tinggi sewaktu ia memamerkan identitas seksualnya.
                Keluarganya, bagaimanapun, merasa sangat malu dan marah. Salah seorang saudaranya menentang Jim, “Kamu mungkin tidak memilih orientasi seksualmu, tapi kamu memilih untuk melakukannya. Kupikir kamu tidak berhak menjadi seorang gay ketika memutuskan untuk mentaati Allah.”
                Jim merasa sangat marah, tetapi ia tidak pernah melupakan kata-kata saudaranya. Sekalipun demikian perilaku homoseksualnya terus berlanjut.
                Sebulan kemudian, saya terlibat hubungan serius dengan Doug, seorang penari balet yang sensitive. Kami mulai berkencan pada hari Valentine tahun 1982. Saya merasa sangat berhak untuk terlibat secara romantic dengan seorang laki-laki. Saya dan Doug sama-sama sangat menginginkan pengakuan laki-laki, sebuah mimpi kodependensi menjadi kenyataan. Kami melakukan semuanya bersama-sama, bahkan dalam hal mengambil cuti selama satu semester dan berkeliling Eroa. Setelah itu kami kembali kuliah dan tinggal di sebuah apartemen yang nyaman. Hidup yang sungguh menyenangkan. Meskipun demikian , setelah satu tahun, saya mulai gelisah. Siapakah saya sebenarnya? Apakah saya hanyalah merupakan suatu proyeksi dari idealism manusia dewasa ini? APakah saya hanya hidup bertahan dengan pengharapan dari bagian kebudayaan kaum gay di sekitar saya? Jika saya seorang gay, mengapa saya merasa sangat sedih?
                Semakin lama depresi yang bersarang dalam jiwa saya menjadi segelap dan sesuram kuburan. Bagaimanapun, saya telah meninggalkan Tuhan begitu saja. Ia menjadi Pribadi yang jauh. Saya menjadi kecewa dengan otoritasNya. Bagaimana Allah bisa menghakimi saya untuk menjadi seorang gay? Bukankah Ia yang telah membuat saya seperti ini? Kebiasaan saya untuk minum dan menghisap mariyuana semakin meningkat guna mengatasi depresi tersebut. Saya putus dengan Doug dan memasuki jalur cepat kaum gay: pesta sepanjang malam ditambah banyaknya seks dan obat-obatan. Depresi itu malah menjadi semakin dalam. Saya tahu itu hanyalah masalah waktu sebelum akhirnya saya bunuh diri.
                Dua tahun kemudian, suatu gelombang keputusasaan menghantam Jim. Suatu malam, ia menangis dan hatinya dipenuhi rasa sakit yang begitu dalam dan menyiksa. Ia naik ke mobil dan dengan airmata bercucuran, ia menyetir tanpa tujuan menuju luar kota. Ia menghentikan mobilnya di bawah pepohonan, menengadahkan wajahnya ke langit melalui celah-celah dedaunan dan berkata kepada Tuhan dalam keputusasaan dan kemarahan : “Mengapa Engkau memalingkan wajahMu?”
                Tiba-tiba , kebenaran menghantam dirinya. Allah ada di sana. Ia selalu ada. Ia sendirilah yang telah berpaling. Pada saat itu, ia menyadari harga yang akan dibayarnya untuk kembali kepada Allah. Ia harus menyerahkan keinginannya sendiri. Ia akan menjadi anak Allah yang terkasih. MuridNya. PahlawanNya. Ia akan menjadi milik Allah sepenuhnya.
                Lalu, pemikiran lain yang sangat mendalam menerobos ke dalamdirinya; Bukankah itu yang telah dicarinya sekian lama – seorang Bapa yang mengasihinya? Mendadak setitik harapan bergejolak di dalam dirinya. Damai sejahtera mulai memasuki jiwanya secara perlahan-lahan, seperti sinar lampu yang menerobos masuk melalui celah-celah dedaunan di datas kepalanya.
                Beberapa bulan berikutnya, depresi yang menyerang Jim mulai berkurang. Pada musim panas tersebut, Allah membawa sekelompok teman yang menarik dan uni ke dalam kehidupannya. Ia bekerja dengan sekelompok actor mahasiswa dari tujuh universitas yang berlainan yang menampilkan pertunjukan music bagi para turis di West Palm Beach, Florida Para mahasiswa tersebut mengubah hidupnya. Mereka dan Jim sangat akrab, baik di atas maupun di bawah panggung. Salah satu dari mereka – seorang pemuda berusia dua puluh tahun bernama Rod, yang hidup di jalan normal – menjadi teman terdekat Jim.

Memperoleh Pengakuan Laki-Laki
                Rod, salah seorang actor pertunjukan tersebut, berasal dari De Pauw University. Ia anggota tim futbal di SMU. Ia adalah seorang pemuda Midwestern (daerah bagian di Amerika) yang tampan dan gagah dengan sikap yang tenang, bersemangat, dan rasa humor yang seakan-akan terdengar ironis. Rod dan Jim langsung berteman sejak hari pertama perkenalan mereka.
                Akan tetapi, Jim merasa shock. Mengapa seorang laki-laki baik-baik mau bergaul denganku? Ia bertanya kepada dirinya sendiri. Rod tidak mempunyai masalah sedikit pun dengan segala macam daya tarik seksual terhadap sesame jenis pada umumnya dan Jim khususnya. Ia juga tahu bahwa Jim memiliki masalah homoseksualitas. Ia tidak peduli. Ia menyukai Jim. Menurutnya Jim adalah orang yang lucu. Ia berpikir Jim sangat berbakat. Dan dengan gaya Midwesternnya yang membingungkan, ia memberi tahu Jim sesuatu.
“Kamu tahu bahwa kamu adalah pemimpin grup ini?” Rod memberi tahu Jim.
“Apa?” wajahnya menunjukkan ekspresi kosong.
“Kamu adalah pemimpin group, Jim. Setiap orang menunggu untuk melihat apa yang kamu akan lakukan, kemudian mereka akan melakukannya karena jika kamu melakukannya, mereka akan menganggapnya sebagai hal yang hebat untuk dilakukan.”
Rod mungkin bermaksud mengatakan kepada Jim “bahwa aku berasal dari planet lain, atau bahwa bagian dalam diriku terbuat dari serat keju. Tapi kemudian, lihat, aku mulai melihat sekeliling dan menyadari, oh Tuhan, aku adalah pemimpin grup ini. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ini berbicara tentang pengakuan.”
                Bagi Jim, musim panas yang luar biasa tersebut menjadi ajang latihan dalam hal pengakuan laki-laki dan kesenangan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mulai memandang dirinya sebagai seorang laki-laki di antara laki-laki. Setelah musim panas tersebut berakhir, Jim sadar bahwa dia tidak akan pergi keluar dan hidup lagi bersama teman-teman gayanya sesering yang dilakukannya dulu. Ia juga kembali pergi ke gereja, menjalin persahabatan dengan orang baik-baik dan bahkan berkencan dengan perempuan.
                Pergumulan tersebut, bagaimana pun, belum berakhir. Lebih jauh lagi dari alcohol dan obat-obatan, seks menjadi mekanisme tiruan bagi kerasnya kehidupan. Setiap kali ia merasa takut atau kecewa atau marah. Ia berhubungan seks. Dan semakin banyak ia berhubungan seks, kepuasannya menjadi semakin berkurang.
                Beberapa tahun berlalu tanpa adanya perubahan yang berarti. Kemudian, ketika Jim berusia dua puluh enam tahun, ibunya memubuat suatu komentar yang memprovokasi pikiran : “Saat kamu akhirnya siap untuk sembuh, kamu akan sembuh.” Jim paham maksud ibunya : ia belum mengalami kesembuhan karena ia belum memiliki keinginan yang kuat untuk menyerahkan kebiasaan seksnya.
                Kalau begitu, bagaimana kesembuhan itu terjadi? Dan, bagaimana kesembuhan itu bisa terus berlangsung? Saya harus sembuh dari dua hal ini: kecanduan seks dan orientasi homoseksual itu sendiri. Kesembuhan dari kecanduan datang melalui berbagai cara : tingkat perkembangan kesembuhan yang lamban; perjalanan sepanjang waktu. Namun, ramuan yang paling penting adalah konseling Kristen, buku-buku yang ditulis oleh konselor, dan teman-teman baik yang memiliki karunia alamiah untuk memberikan nasihat yang baik. Orang-orang dan buku-buku ini menolong saya untuk mengupas romantisme yang telah saya bungkus di sekeliling kecanduan saya sehingga saya dapat mulai melihat apa adanya. Saya teringat pernah menjabarkan kepada seorang konselor tentang penhubung yang sangat romantic yang saya miliki; seberapa intensifnya, betapa berarti rasanya dan seterusnya. Konselor saya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Itu bukan romantic. Pada dasarnya Anda mengambil senjata magnum 44 dan menembak jiwa Anda.” Karena hubungan saya dengannya , saya mampu menerima apa yang sednag ia katakana dan tidak menolaknya. Dan, saya mulai melihat hasrat saya terhadap laki-laki lain sebagai kesedihan, kesepian, dan ketidakwajaran. Ini adalah pukulan yang sesungguhnya pada saat itu karena saya memiliki banyak penghubung. Hal yang akhirnya membangunkan saya untuk selamanya adalah pengalaman terendah yang sangat kotor dan memalukan. Saya menjauhi pertempuran tersebut dengan berkata kepada diri saya sendiri,”Saya tidak akan pernah menempatkan diri saya di dalam posisi itu lagi.” Dan saya memang tidak melakukannya.
                Bagi Jim, kesembuhan dari orientasi tersebut merupakan hal yang berbeda. Pada tahun-tahun pertama pemulihannya, ramuan terbesar dalam proses kesembuhannya adalah memiliki banyak teman laki-laki Kristen yang membuat ia bisa bersikap jujur. Mereka membantu Jim untuk menyadari bahwa  banyaknya pergumulan yang ia miliki tidak ada hubungannya dengan masalah gay; padahal pergumulan-pergumulan itu sendiri merupakan masalah-masalah gay. Dengan kata lain, semua laki-laki memiliki pergumulan dengan penampilan, peranan, kesan, konsep diri sendiri, dan kepercayaan diri mereka.

Menemukan Seorang Perempuan yang Bisa Membimbing
                Jim percaya bahwa keinginannya harus terpusat sepenuhnya pada kesembuhan. Sesungguhnya, jika Anda berbicara dengannya saat ini, Anda akan mendapati bahwa kesembuhan telah menjadi pusat perhatiannya selama lima belas tahun. Ia telah belajar, sebagaimana ia memilih untuk melawan dosa, bahwa Allah memberikan kekuatan pada pilihannya. “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Flp 4:13). Telah menjadi kenyataan baginya. Dan , melalui kekuatan, kasih karunia, dan berkat Allah, Jim menyadari bahwa dirinya diberkati dalam cara yang kelihatannya jauh dan bahkan tidak masuk akal, hanya beberapa tahun lalu.
                Sebagai seorang actor, Jim sering berpergian jauh. Dalam salah satu turnya, ia berjumpa dengan seorang gadis yang bekerja pada perusahaan teater Kristen di Houston. Ia segera tertarik dengan selera humor Carol yang luar biasa. Ia adalah seorang gadis yang cantik, pandai, dan menyenangkan. Bulan-bulan pertama masa pacaran mereka penuh dengan kegairahan dan semangat. Mereka adalah pasangan yang sempurna. Mereka menciptakan keindahan pada setiap jalan masuk dan keluar yang mereka lalui. AKan tetapi, tidak lama kemudian hubungan tersebut menjadi semacam rekonstruksi dari hubungan antara Jim dan Doug beberapa waktu silam. Sekali lagi, Jim sangat membutuhkan ruang bernapas untuk dirinya secara emosional.
                Ia bercerita tentang saat-saat pertama hubungannya dengan Carol :
Kami bersyukur atas selera humor kami yang gila-gilaan. Kami mendapati bahwa kami bisa sangat manusiawi dan sangat kasar terhadap satu sama lain. Saya mulai melihat sisi buruk Carol dan demikian juga sebaliknya, namun kami memutuskan untuk mempertahankan hubungan tersebut. Kami tahu bahwa kami berdua sama-sama merasakan diri kami adalah “satu”. Akan tetapi, saya mempunyai masalah dengan kecanduan seks dan homoseksualitas. Ia juga mempunyai masalah dengan penguasaan diri, kodependensi, dan kemarahan terhadap ayahnya. Carol telah berhasil keuar dari dua belas tahun pergumulannya dengan anoreksia dan bulimia dan dengan pertolongan Allah ia telah mengalahkannya. Jadi , ia tahu bahwa saya juga dapat mengalahkan kecanduan seksual saya dan ia tetap bersabar dengan saya sewaktu saya jatuh dan tergelincir di tahun-tahun pertama pacaran kami. Tetapi, ia juga harus mengatasi masalah kodependensi. Carol harus belajar bahwa kesembuhan saya dan berhasilnya hubungan kami tidak tergantung pada dirinya, bahwa saya bukanlah bagian dari rencananya. Ia harus mencapai suatu kesadaran bahwa apabila saya tidak mengejar kesembuhan, ia bisa membiarkan saya pergi. Dan, saya harus sadar bahwa saya tidak mengejar kesembuhan untuk dirinya, tetapi untuk diri saya.
                Jim dan Carol melakukan sejumlah konseling. Mereka membaca banyak buku, mengikuti berbagai macam pertemuan kelompok, menangis, berdoa, saling berteriak dan marah. Dan di akhir semua itu, mereka terus saling mencintai. Suatu hari Jim menyadari bahwa, “Kalau kami bisa melalui semua ini dan tetap saling mencintai, kami juga bisa mewujudkannya dalam pernikahan.” Pada bulan November itu, ia melamar Carol untuk menikah dengannya. Begitu Carol menjawab ya, mereka mulai membuat rencana pernikahan. Segala sesuatunya tampak indah. Tetapi, jauh di lubuk hatinya Jim merasa ketakutan
                Pada bulan Januari, dalam sebuah kesalahpahaman, Carol melukai perasaan Jim. Ia segera pergi ke sebuah bar tempat kaum gay dan bergabung semalaman di sana. Keesokan harinya, Jim menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Carol. Setelah itu, tidak ada lagi tawa dalam hubungan mereka; sebulan kemudian mereka putus kembali. Jim melakukan terapi untuk masalah kecanduan seksualnya. Carol mencari terapis untuk masalah kodependensinya.
                Ironisnya, musim gugur itu mereka menyelesaikan kuliah di tempat yang sama yang berjarak 2.414 km dan dari antara dua puluh tiga ribu mahasiswa, mereka bertemu secara kebetulan pada hari pertama. Semula mereka bersikap biasa saja, tetapi lambat laun mereka mulai berpacaran kembali. Satu setengah tahun kemudian, Jim dan Carol kembali bertunangan. Setelah dua kali putus, mereka akhirnya menikah pada tahun 1992. Jim berbicara secara terus terang tentang pergumulan dalam pernikahan mereka :
                Tidak semudah yang pernah kami bayangkan sebelumnya. Saya berusia dua puluh Sembilan tahun. Carol berusia tiga puluh lima tahun. Kami berdua sangat mandiri dan keras kepala.Kami memiliki rekening bank yang terpisah selama dua tahun pertama. Meskipun kami berdua adalah komunikator professional, kemampuan kami saling berkomunikasi sangat buruk, dan kami sungguh-sungguh menggumulkan hal itu. Tetapi, kami berdua juga sangat gigih dan sekali kami berjanji untuk melakukan satu hal bersama-sama, astaga, itulah yang terjadi.
                Dan pada hari pernikahan kami, dua orang yang sangat gigih yang sungguh-sungguh saling mencintai secara mendalam berjanji untuk hidup bersama – kehidupan yang baik tentunya. Secara perlahan-lahan kami belajar untuk saling percaya dan bergantung. Kami belajar untuk bekerja bersama-sama dan sebuah pelayanan nasional Kristen dalam bidang teater yang disebut Acs of Revival (Tindakan Pembaruan) muncul dalam kehidupan pernikahan kami. Lalu, anak kami yang pertama lahir, seorang bayi laki-laki dan kami belajar tentang betap banyaknya hal yang masih harus kami pelajari.
                Hal itu sungguh mengejutkan kami berdua, bahwa mendadak kami harus tinggal di rumah sepanjang waktu. Saya dan Carol benar-benar harus berkembang. Lalu kami mempunyai seorang bayi laki-laki lagi. Kami menyerahkan keegoisan yang dulu kami pikir tidak pernah bisa kami lepaskan. Komitmen kami terhadap anak-anak begitu mendalam dan bersemangat sehingga  kadang kala saya begitu takjub tentang betapa Carol adalah seorang ibu yang baik  dan betapa dalamnya cinta saya yang mengalir untuk kedua anak laki-laki saya.
                Menjadi orangtua adalah sumber kekaguman dan kebahagiaan yang tak pernah habis bagi saya. CIntanya begitu dalam. Tanggung jawabnya begitu besar. Tiangnya begitu tinggi. Harganya tak terhitung. Upahnya begitu besar. Memiliki seorang anak lelaki kecil berambut pirang dan bermata biru yang menatap Anda dengan penuh cinta, keyakinan dan kepercayaan, serta berkata dengan tulus “Saya mencintaimu Ayah” merupakan pengalaman yang tak dapat ditukar dengan segala aktualisasi diri gay apa pun di seluruh dunia.
                Tentu saja, sebagian teman gay Jim menganggap bahwa ia telah kembali menyembunyikan diri. Mereka mengira bahwa ia telah memilih untuk secara diam-diam menderita – ciri khas gay yang tidak dapat hidup dengan identitas diri yang sebenarnya. Bagaimanapun, Jim telah belajar yang sebaliknya. Dengan tersenyum, ia berkata bahwa seorang “gay” bukanlah siapa dia sekarang , siapa dia dulu, atau siapa dia besok.

Kasih Bapa
                Jim percaya bahwa kerinduannya terhadap sosok laki-laki adalah kerinduan yang dimiliki semua manusia – hasrat terhadap sesuatu yang bisa mengisi kekosongan jiwa mereka.  Lubang dari rasa sakit itu tidak pernah dapat diisi oleh segala macam hubungan manusia, hubungan gay, hubungan normal, orangtua atau sebagainya. Bagi orang Kristen, hbungan dengan Allah merupakan kasih seumur hidup. Dan, ini bukanlah semacam hubungan rohani yang teoretis. Tetapi hubungan ini adalah ketergantungan dan kerinduan setiap hari yang sangat dalam terhadap Allah yang terus menerus mengisinya.
                Bersamaan dengan itu, cinta kasih Jim terhadap isterinya semakin mendalam, yang ia sebut sebagai “cinta terbesar kedua dalam kehidupan saya”, setelah cintanya terhadap Allah. Mereka berkeliling kota bersama-sama sebagai sepasang tim drama suami istri yang disebut Acts of Renewal Baik saat berpentas di depan umum maupun di balik pintu yang tertutup , mereka kadang-kadang masih meluangkah waktu bersama. Mereka bergumul dengan masalah-masalah. Kadang-kadang gaya komunikasi mereka menimbulkan kemarahan. Namun di tengah semua itu, cinta Carol dan Jim sangat “dalam, anggun, dan penuh hasrat”. Dan, mereka tahu bahwa Allah memberkati cinta mereka.
                Apakah kehidupan Jim bebas dari segala dorongan menuju homoseksualitas Tidak. Pergumulan itu masih tetap ada, walaupun banyak berkurang dan sekarang kami dapat memahaminya dengan benar – tipuan. Meskipun godaan itu masih tetap ada, seperti yang banyak dialami oleh mereka yang meninggalkan perilaku homoseksualitas, ia telah mengetahui kebenarannya. Mengikuti Yesus Kristus merupakan satu-satunya jalan yang akhirnya memuaskan. Jalan lainnya hanyalah sebuah ilusi kebahagiaan yang secara perlahan-lahan mengarah pada kematian.
                Kunci kebebasan bagi Jim dan banyak orang lain adalah Allah. Allah telah memimpinnya melalui persahabatan yang tidak terhingga nilainya dengan teman-teman. Allah telah menuntunnya melalui buku-buku yang dibacanya. Ia telah membawa Jim pada situasi  dan jalan masuk yang menyediakan kesembuhan secara menyeluruh. Jim percaya bahwa dirinya merupakan proses pemulihan yang sudah Allah mulai dan akan Allah selesaikan. “Tentu saja, saya harus ikut berpartipasi dalam proses kesembuhan saya, namun sungguh melegakan kalau mengingat bahwa bapa Surgawi saya sejuta kali lebih peduli daripada saya tentang bagaimana membawa saya menuju kesempurnaan dan pribadi seperti Yesus.”
                Konsep Jim tentang Allah telah berubah secara dramatis selama bertahun-tahun. Sebagai seorang anak ia memandang Allah sebagai sosok kakek yang sangat menyenangkan yang mengasihi Anda dan tidak peduli dengan apa pun yang Anda lakukan.” Sebagai seorang dewasa Kristen, Jim membaca Perjanjian Lama, yang berhubungan dengan penghakiman Allah atas umatNya. Hal ini menimbulkan ketakutan dalam hati Jim, dan ia tidak bisa melihat betapa sabarnya Allah. Ia kehilangan intinya bahwa, seperti seorang ayah yang baik, Allah menghajar anak-anakNya, mendisiplinkan kita agar kita kembali kepadaNya, dan agar kita bisa merasakan kasihNya. Dalam tahun-tahun terakhir ini, Jim akhirnya mengenal Allah dengan cara yang telah mengubah hidupnya untuk selama-lamanya.
                Kerinduan saya selama ini adalah memiliki seorang ayah yang benar-benar menginginkan diri saya. Dan, Allah telah memberikannya kepada saya. Ia memberikan diriNya sendiri kepada saya. Jadi, kisah saya belum selesai. Saya masih mengalami hari-hari di mana musuh terus membisiki pikiran saya ketika saya sedang lelah, kecewa, dan lemah. Tetapi, saya bukan tawanannya lagi. Saya bebas untuk memilih kehidupan. Saya bebas untuk menerima Kekasih jiwa saya. Dan, saya melakukannya setiap hari.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home