Bapa yang Menginginkan Saya
Jim Shores
Jim Shores masih dapat mengingat dengan jelas awal
perjalanannya menuju hal-hal yang menyakitkan – yang akhirnya membawa dirinya
pada homoseksulitas.
Suatu Sabtu,
ketika saya berumur sebelas tahun, ayah bertanya kepada saya apakah saya mau
pergi berjalan-jalan bersamanya. Saya merasa sangat senang karena ayah tidak
pernah mempunyai banyak waktu untuk saya. Saya merasa sangat bangga sewaktu
kami menyusuri jalan. Ini adalah ayah saya, saya adalah anaknya. Lalu, muncul
kata-kata yang tidak pernah terlupakan : “Jim, ayah dan ibumu mempunyai
beberapa masalah…..” Sekilas saya sadar
ke mana arah pembicaraan ini. Permintaannya untuk berduaan saja dengan saya – untuk
pertama kalinya selama berbulan-bulan – hanyalah awal dari kepergiannya dari
kehidupan kami untuk selamanya. Saya merasa sangat marah. Saya merasa hancur.
Saya melontarkan kata-kata kasar kepadanya sebelum lari. Bagaimana mungkin ayah
meninggalkan saya? Mengapa ia tidak menghabiskan waktu lebih banyak lagi
bersama saya? Apa salah saya?
Setelah percakapan yang menegangkan dengan ayahnya,
hidup – seperti yang diketahui Jim muda – tidak akan pernah sama lagi. Ayahnya
meninggalkan rumah dan pindah hanya dalam jarak lima rumah bersama teman baik
ibunya. Jim mulai membenci ayahnya dan diam-diam menyadari bahwa ia tidak
percaya sungguh-sungguh mengenal ayahnya secara mendalam. Sementara itu,
keluarganya berkurang dari sebuah kelompok yang terdiri dari lima laki-laki dan
seorang ibu dengan seorang anak yang penuh kemarahan yang baru saja memasuki usia pubertas dan SMP.
Kemudian, kakak tertua Jim melanjutkan kulaih, dan ketiga saudaranya yang lain
ikut tinggal bersama ayah mereka. Menurut kamus Ji, “Hidup itu buruk.”
Kabar Baik,
Kabar Buruk
Tahun-tahun sebelum perceraian tersebut, setiap minggu
keluarga Shores pergi ke Gereja Metodis Pertama dan setelah itu bersama-sama
menikmati makan siang yang menyenangkan di suatu tempat perkumpulan di luar
kota. AKan tetapi, jemaat gereja tersebut hanya suam-suam kuku saja. Tidak satu
pun dalam keluarga tersebut yang memiliki iman secara mendalam. Ayahnya
tertarik pada berbagai macam teori evolusi dan kemudian berubah menjadi seorang
ateis. Ibu Jim bertumbuh sebagai seorang Kristen, tetapi kehilangan minatnya
ketika dewasa. Sewaktu Jim masih anak-anak, Sekolah Minggu hanya sedikit sekali
mengajarkan dosa dan keselamatan. “Sebaliknya,” Jim menjelaskan, “kami belajar
ekologi, mengerjakan ketrerampilan tangan, dan belajar bahwa kita harus
bersikap baik kepada sesama karena Allah itu kasih. Hanya sampai sejauh itulah
yang diajarkan.”
Setelah
perceraian orangtuanya, bagaimanapun, ada perubahan rohani yang besar dalam
keluarga itu. Jim dan ibunya menjadi oran-orang Kristen yang lahir baru. Dalam
peristiwa yang terpisah selama kurusn waktu setahun, ketiga saudaranya menyusul.
Satu-satunya orang tidak percaya yang tersisa adalah ayah Jim, yang kemudian
dengan bersemangat menganut peribahasa yang terkenal pada tahun tujuh puluhan :
“Kalau merasa hal itu baik, lakukanlah.”
Oleh
karena rindu untuk bertumbuh sebagai orang Kristen, Jim dan ibunya mulai pergi
ke sebuah gereja yang tidak berdenominasi. Jim mulai banyak belajar mengenai
Alkitab dan merasa heran mengapa tidak ada seorang pun di Gereja Metodis
Pertama yang pernah mempelajari Alkitab. Tak lama kemudian, ia mengerti.
“Alkitab menuntut adanya perubahan. Anda harus mengabaikannya atau
membiarkannya mengubah diri Anda,” ia menjelaskan. “Dan kebanyakan anggota
perkumpulan tersebut sudah cukup senang hanya dengan berstatus quo.” Namun, Jim
belum merasa puas.
Saya membutuhkan bantuan. Dan
dalam firman Tuhan saya menemukan kepastian, janji-janji, tuntunan, dan firman
untuk bertahan. Hubungan saya dengan Allah menjadi satu anak dan Bapak karena
tidak ada satu manusia pun yang berdiri di antara Allah dan saya. Sekalipun
demikian, saya memiliki kerinduan adanya seorang laki-laki , seorang ayah,
seseorang yang saya jadikan tempat bernaung, seseorang yang bisa mengartikan
dunia ini dan menjelaskan perubahan-perubahan hidup yang akan saya lalui dalam
nada yang lembut dan kebapakan. Saya mulai membayangkan siapa laki-laki itu,
jika bukan ayah saya. Bersamaan dengan itu, saya menemukan majalah pornografi
milik saudara saya – dan tidak hanya sedikit tetapi setumpuk. Di ruang bawah
tanah rumah kami terddapat cukup banyak majalah pornografi yang bisa
menyebabkan masalah serius bagi rata-rata usia remaja. Akan tetapi, saya sama
sekali bukan remaja biasa seperti pada umumnya. Saya benar-benar membutuhkan
tuntunan. Saya merasa sendirian, terapung-apung, tanpa arah yang jelas. Saya
memiliki Alkitab, namun mendadak Alkitab mempunyai saingan. Sekali saya
menemukan pornografi tersebut, sesuatu yang menarik merayap masuk ke dalam
kehidupan saya, di mana suatu saat nanti hal itu akan menghancurkan hidup saya
selama bertahun-tahun. Jarak terbentang antara dunia iman saya dan Allah,
dengan dunia pornografi, fantasi, dan masturbasi. Majalah-majalah di ruang bawa
tanah tersebut terus memberikan hiburan. Pada usia empat belas tahun, saya
menjalani kehidupan ganda; sebagian diri saya tetap setia kepada Allah Bapa,
dan sebagian lain setia pada gambaran pornografi tentang laki-laki yang
merupakan ayah, saudara, teman dan pacar.
Kepergian
sang ayah sangat melukainya. Dan karena hal itu juga, ia terbagi dua. Ia sangat
merindukan ayahnya sekaligus membencinya karena telah meninggalkan dirinya. Di
SMP, penolakan dari lingkungan pergaulannya menambah kesedihan Jim. Tinggi
badannya sekitar 190 sentimeter, tubuhnya kerempeng, wajahnya dipenuhi jerawat,
ia memakai kacamata yang tidak sesuai dengan bentuk wajahnya, dan sangat takut
terhadap olahraga. Oleh karena tinggi badannya, Jim merupakan sasaran empuk agi
teman-teman sebayanya yang mencari seseorang yang bisa dijadikan bahan ejekan.
Saat itu, rasa rendah diri menjadi teman setia Jim.
Tetap Hidup
Tetapi,
perlakuan demikian tidak berlangsung lama setelah akhirnya Jim menemukan sebuah
bentuk keselamatan sosial. Perlombaan dansa yang terkenal saat itu adalah
disko, dan Jim mendapati bahwa ia bisa menari- benar-benar menari- tanpa
larangan dan rasa takut. Sebagaimana yang ia katakana, “Saya menyadari bahwa
saya bisa menjadi manis, saya bisa terlihat seksi, dan lihat, saya dikelilingi
oleh banyak gadis, bukan? Saat itu adalah saat di suatu musim semi semasa SMP
atau SMU, kamu berubah dari anak yang lugu menjadi seorang anak muda yang mulai
bertumbuh, penuh janji – dan menarik hati para gadis.”
Disko
para remaja telah membuka pintu selanjutnya menuju SMU. Tanpa halangan apa pun,
Jim berada di sana setiap Jumat dan Sabtu malam. Dengan rasa takjub, para gadis
memintanya berdansa- gadis-gadis popular. Jim merasa sangat tertarik,
bergembira, dan bersemangat. Tetapi, sesuatu yang tak terduga terhjadi dalam
hubungannya dengan para gadis tersebut. Berkali-kali ia hanya menjadi sahabat
mereka.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Bukankah saya
seharusnya kencan dengan mereka? Tapi tidak, saya menjadi sahabat mereka. Apa
penyebabnya? Parfum saya? Rambut saya? Kenyataan bahwa saya menggairahkan paar
mereka? Mungkin itulah jawabannya. Oh, saya sengaja karena itulah satu-satunya
hal yang bisa dilakukan. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan
gadis-gadis itu. Saya bisa berbicara akrab sebagai teman kepada mereka. Saya
bisa saja berciuman, bercumbu dan sebagainya, dan menikmatinya. Akan tetapi
saya selalu merasa seperti seorang penipu. Kenyataannya adalah saya tidak
memilki gagasan apa pun untuk mengkombinasikan hasrat saya terhadap keintiman
secara alamiah dan sederhana dengan dunia perempuan. Sebaliknya, hasrat saya
untuk keintiman justru secara mutlak mengarah pada dunia laki-laki. Dunia
laki-laki adalah satu-satunya yang tidak bisa saya pahami; dunia olahraga tanpa
rasa takut, dunia tentang ruang penyimpanan tanpa hasrat, persahabatan tanpa
keirihatian, kesetiaan tanpa tipu muslihata. Laki-laki adalah sebuah misteri
bagi saya – oleh sebab itu merupakan sasaran hasrat saya.
Semasa
SMU, kemarahan Jim terhadap ayahnya semakin menjadi-jadi. Ayahnya kaya, namun
ia menolak membayar tunjangan bulanan anaknya Jim tidak pernah melihatnya;
ayahnya juga tidak pernah menghubunginya. AKibatnya, Jim sangat merindukan
pengakuan laki-laki: baik secara emosional , spiritual maupun seksual. Pada
tahun terakhirnya di SMU , ia mulai berhubungan seks dengan laki-laki lain –
laki-laki yang sungguh-sungguh ingin bersamanya.
Selama
masa SMU dan kuliah Jim masih terus pergi ke gereja, namun ia lebih tertarik
pada usaha kerasnya untuk mencapai popularitas daripada upaya lain untuk
mendalami masalah-masalah kerohanian. Dalam usahanya untuk memperoleh teman, ia
pergi ke pesta-pesta di mana akhirnya ia mendapati bahwa minum minuman keras
membuatnya lucu – atau palign tidak itulah yang ia dan teman-temannya pikirkan.
Dalam prose situ, ia juga menemukan bahwa baik bir maupun mariyuana dapat
mengurangi rasa sakit yang tersembunyi dalam jiwanya.
Meskipun
Jim pandai dan ramah serta berhasil dalam sekolahnya, ia mendapati dirinya
semakin lama menjadi semakin depresi dan marah. Selama berbulan-bulan dan
bertahun-tahun kecanduannya terhadap alcohol meningkat sampai semasa kuliahnya
depresinya menjadi begitu dalam sehingga ia merasa tidak bisa menanggulanginya
lagi. Ia tidak hanya sekali waktu memakai mariyuana dalam porsi sedikit, tetapi
sering kali ia memiliki banyak waktu luang pada akhir pekan untuk
bermabuk-mabukan. Sejak saat itu, ia jarang pergi ke gereja, terutama karena ia
merasa tidak tahan. Gereja membuatnya bosan dan tampaknya penuh dengan
aturan-aturan. Yang terburuk, hadirnya sosok lain yang mengganggunya : Allah.
Terbuka
Semasa
kuliah, Jim mengumumkan homoseksualitasnya dengan mengatakannya kepada keluarga
dan teman-temannya. Teman-temannya memberikan tanggapan dengan memberitahunya
bahwa homoseksualitasnya adalah sesuatu yang “hebat”. Ironisnya, popularitas Jim
membumbung tinggi sewaktu ia memamerkan identitas seksualnya.
Keluarganya,
bagaimanapun, merasa sangat malu dan marah. Salah seorang saudaranya menentang
Jim, “Kamu mungkin tidak memilih orientasi seksualmu, tapi kamu memilih untuk
melakukannya. Kupikir kamu tidak berhak menjadi seorang gay ketika memutuskan
untuk mentaati Allah.”
Jim
merasa sangat marah, tetapi ia tidak pernah melupakan kata-kata saudaranya.
Sekalipun demikian perilaku homoseksualnya terus berlanjut.
Sebulan kemudian, saya terlibat
hubungan serius dengan Doug, seorang penari balet yang sensitive. Kami mulai
berkencan pada hari Valentine tahun 1982. Saya merasa sangat berhak untuk
terlibat secara romantic dengan seorang laki-laki. Saya dan Doug sama-sama
sangat menginginkan pengakuan laki-laki, sebuah mimpi kodependensi menjadi
kenyataan. Kami melakukan semuanya bersama-sama, bahkan dalam hal mengambil
cuti selama satu semester dan berkeliling Eroa. Setelah itu kami kembali kuliah
dan tinggal di sebuah apartemen yang nyaman. Hidup yang sungguh menyenangkan.
Meskipun demikian , setelah satu tahun, saya mulai gelisah. Siapakah saya
sebenarnya? Apakah saya hanyalah merupakan suatu proyeksi dari idealism manusia
dewasa ini? APakah saya hanya hidup bertahan dengan pengharapan dari bagian
kebudayaan kaum gay di sekitar saya? Jika saya seorang gay, mengapa saya merasa
sangat sedih?
Semakin lama depresi yang
bersarang dalam jiwa saya menjadi segelap dan sesuram kuburan. Bagaimanapun,
saya telah meninggalkan Tuhan begitu saja. Ia menjadi Pribadi yang jauh. Saya
menjadi kecewa dengan otoritasNya. Bagaimana Allah bisa menghakimi saya untuk
menjadi seorang gay? Bukankah Ia yang telah membuat saya seperti ini? Kebiasaan
saya untuk minum dan menghisap mariyuana semakin meningkat guna mengatasi depresi
tersebut. Saya putus dengan Doug dan memasuki jalur cepat kaum gay: pesta
sepanjang malam ditambah banyaknya seks dan obat-obatan. Depresi itu malah
menjadi semakin dalam. Saya tahu itu hanyalah masalah waktu sebelum akhirnya
saya bunuh diri.
Dua
tahun kemudian, suatu gelombang keputusasaan menghantam Jim. Suatu malam, ia
menangis dan hatinya dipenuhi rasa sakit yang begitu dalam dan menyiksa. Ia
naik ke mobil dan dengan airmata bercucuran, ia menyetir tanpa tujuan menuju
luar kota. Ia menghentikan mobilnya di bawah pepohonan, menengadahkan wajahnya
ke langit melalui celah-celah dedaunan dan berkata kepada Tuhan dalam
keputusasaan dan kemarahan : “Mengapa Engkau memalingkan wajahMu?”
Tiba-tiba
, kebenaran menghantam dirinya. Allah ada di sana. Ia selalu ada. Ia sendirilah
yang telah berpaling. Pada saat itu, ia menyadari harga yang akan dibayarnya
untuk kembali kepada Allah. Ia harus menyerahkan keinginannya sendiri. Ia akan
menjadi anak Allah yang terkasih. MuridNya. PahlawanNya. Ia akan menjadi milik
Allah sepenuhnya.
Lalu,
pemikiran lain yang sangat mendalam menerobos ke dalamdirinya; Bukankah itu
yang telah dicarinya sekian lama – seorang Bapa yang mengasihinya? Mendadak
setitik harapan bergejolak di dalam dirinya. Damai sejahtera mulai memasuki
jiwanya secara perlahan-lahan, seperti sinar lampu yang menerobos masuk melalui
celah-celah dedaunan di datas kepalanya.
Beberapa
bulan berikutnya, depresi yang menyerang Jim mulai berkurang. Pada musim panas
tersebut, Allah membawa sekelompok teman yang menarik dan uni ke dalam
kehidupannya. Ia bekerja dengan sekelompok actor mahasiswa dari tujuh
universitas yang berlainan yang menampilkan pertunjukan music bagi para turis
di West Palm Beach, Florida Para mahasiswa tersebut mengubah hidupnya. Mereka dan
Jim sangat akrab, baik di atas maupun di bawah panggung. Salah satu dari mereka
– seorang pemuda berusia dua puluh tahun bernama Rod, yang hidup di jalan
normal – menjadi teman terdekat Jim.
Memperoleh
Pengakuan Laki-Laki
Rod,
salah seorang actor pertunjukan tersebut, berasal dari De Pauw University. Ia
anggota tim futbal di SMU. Ia adalah seorang pemuda Midwestern (daerah bagian
di Amerika) yang tampan dan gagah dengan sikap yang tenang, bersemangat, dan
rasa humor yang seakan-akan terdengar ironis. Rod dan Jim langsung berteman
sejak hari pertama perkenalan mereka.
Akan
tetapi, Jim merasa shock. Mengapa seorang laki-laki baik-baik mau bergaul
denganku? Ia bertanya kepada dirinya sendiri. Rod tidak mempunyai masalah
sedikit pun dengan segala macam daya tarik seksual terhadap sesame jenis pada
umumnya dan Jim khususnya. Ia juga tahu bahwa Jim memiliki masalah
homoseksualitas. Ia tidak peduli. Ia menyukai Jim. Menurutnya Jim adalah orang
yang lucu. Ia berpikir Jim sangat berbakat. Dan dengan gaya Midwesternnya yang
membingungkan, ia memberi tahu Jim sesuatu.
“Kamu tahu bahwa kamu adalah pemimpin grup ini?” Rod
memberi tahu Jim.
“Apa?” wajahnya menunjukkan ekspresi kosong.
“Kamu adalah pemimpin group, Jim. Setiap orang
menunggu untuk melihat apa yang kamu akan lakukan, kemudian mereka akan
melakukannya karena jika kamu melakukannya, mereka akan menganggapnya sebagai
hal yang hebat untuk dilakukan.”
Rod mungkin bermaksud mengatakan kepada Jim “bahwa aku
berasal dari planet lain, atau bahwa bagian dalam diriku terbuat dari serat
keju. Tapi kemudian, lihat, aku mulai melihat sekeliling dan menyadari, oh
Tuhan, aku adalah pemimpin grup ini. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ini
berbicara tentang pengakuan.”
Bagi
Jim, musim panas yang luar biasa tersebut menjadi ajang latihan dalam hal
pengakuan laki-laki dan kesenangan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mulai
memandang dirinya sebagai seorang laki-laki di antara laki-laki. Setelah musim
panas tersebut berakhir, Jim sadar bahwa dia tidak akan pergi keluar dan hidup
lagi bersama teman-teman gayanya sesering yang dilakukannya dulu. Ia juga
kembali pergi ke gereja, menjalin persahabatan dengan orang baik-baik dan
bahkan berkencan dengan perempuan.
Pergumulan
tersebut, bagaimana pun, belum berakhir. Lebih jauh lagi dari alcohol dan
obat-obatan, seks menjadi mekanisme tiruan bagi kerasnya kehidupan. Setiap kali
ia merasa takut atau kecewa atau marah. Ia berhubungan seks. Dan semakin banyak
ia berhubungan seks, kepuasannya menjadi semakin berkurang.
Beberapa
tahun berlalu tanpa adanya perubahan yang berarti. Kemudian, ketika Jim berusia
dua puluh enam tahun, ibunya memubuat suatu komentar yang memprovokasi pikiran
: “Saat kamu akhirnya siap untuk sembuh, kamu akan sembuh.” Jim paham maksud
ibunya : ia belum mengalami kesembuhan karena ia belum memiliki keinginan yang
kuat untuk menyerahkan kebiasaan seksnya.
Kalau begitu, bagaimana kesembuhan itu
terjadi? Dan, bagaimana kesembuhan itu bisa terus berlangsung? Saya harus
sembuh dari dua hal ini: kecanduan seks dan orientasi homoseksual itu sendiri.
Kesembuhan dari kecanduan datang melalui berbagai cara : tingkat perkembangan
kesembuhan yang lamban; perjalanan sepanjang waktu. Namun, ramuan yang paling
penting adalah konseling Kristen, buku-buku yang ditulis oleh konselor, dan
teman-teman baik yang memiliki karunia alamiah untuk memberikan nasihat yang
baik. Orang-orang dan buku-buku ini menolong saya untuk mengupas romantisme
yang telah saya bungkus di sekeliling kecanduan saya sehingga saya dapat mulai
melihat apa adanya. Saya teringat pernah menjabarkan kepada seorang konselor
tentang penhubung yang sangat romantic yang saya miliki; seberapa intensifnya,
betapa berarti rasanya dan seterusnya. Konselor saya menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Itu bukan romantic. Pada dasarnya Anda mengambil senjata magnum 44
dan menembak jiwa Anda.” Karena hubungan saya dengannya , saya mampu menerima
apa yang sednag ia katakana dan tidak menolaknya. Dan, saya mulai melihat
hasrat saya terhadap laki-laki lain sebagai kesedihan, kesepian, dan ketidakwajaran.
Ini adalah pukulan yang sesungguhnya pada saat itu karena saya memiliki banyak
penghubung. Hal yang akhirnya membangunkan saya untuk selamanya adalah
pengalaman terendah yang sangat kotor dan memalukan. Saya menjauhi pertempuran
tersebut dengan berkata kepada diri saya sendiri,”Saya tidak akan pernah
menempatkan diri saya di dalam posisi itu lagi.” Dan saya memang tidak
melakukannya.
Bagi
Jim, kesembuhan dari orientasi tersebut merupakan hal yang berbeda. Pada
tahun-tahun pertama pemulihannya, ramuan terbesar dalam proses kesembuhannya
adalah memiliki banyak teman laki-laki Kristen yang membuat ia bisa bersikap
jujur. Mereka membantu Jim untuk menyadari bahwa banyaknya pergumulan yang ia miliki tidak ada
hubungannya dengan masalah gay; padahal pergumulan-pergumulan itu sendiri
merupakan masalah-masalah gay. Dengan kata lain, semua laki-laki memiliki
pergumulan dengan penampilan, peranan, kesan, konsep diri sendiri, dan
kepercayaan diri mereka.
Menemukan
Seorang Perempuan yang Bisa Membimbing
Jim
percaya bahwa keinginannya harus terpusat sepenuhnya pada kesembuhan.
Sesungguhnya, jika Anda berbicara dengannya saat ini, Anda akan mendapati bahwa
kesembuhan telah menjadi pusat perhatiannya selama lima belas tahun. Ia telah
belajar, sebagaimana ia memilih untuk melawan dosa, bahwa Allah memberikan
kekuatan pada pilihannya. “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang
memberi kekuatan kepadaku.” (Flp 4:13). Telah menjadi kenyataan baginya. Dan ,
melalui kekuatan, kasih karunia, dan berkat Allah, Jim menyadari bahwa dirinya
diberkati dalam cara yang kelihatannya jauh dan bahkan tidak masuk akal, hanya
beberapa tahun lalu.
Sebagai
seorang actor, Jim sering berpergian jauh. Dalam salah satu turnya, ia berjumpa
dengan seorang gadis yang bekerja pada perusahaan teater Kristen di Houston. Ia
segera tertarik dengan selera humor Carol yang luar biasa. Ia adalah seorang
gadis yang cantik, pandai, dan menyenangkan. Bulan-bulan pertama masa pacaran
mereka penuh dengan kegairahan dan semangat. Mereka adalah pasangan yang
sempurna. Mereka menciptakan keindahan pada setiap jalan masuk dan keluar yang
mereka lalui. AKan tetapi, tidak lama kemudian hubungan tersebut menjadi
semacam rekonstruksi dari hubungan antara Jim dan Doug beberapa waktu silam.
Sekali lagi, Jim sangat membutuhkan ruang bernapas untuk dirinya secara
emosional.
Ia
bercerita tentang saat-saat pertama hubungannya dengan Carol :
Kami
bersyukur atas selera humor kami yang gila-gilaan. Kami mendapati bahwa kami
bisa sangat manusiawi dan sangat kasar terhadap satu sama lain. Saya mulai
melihat sisi buruk Carol dan demikian juga sebaliknya, namun kami memutuskan
untuk mempertahankan hubungan tersebut. Kami tahu bahwa kami berdua sama-sama
merasakan diri kami adalah “satu”. Akan tetapi, saya mempunyai masalah dengan
kecanduan seks dan homoseksualitas. Ia juga mempunyai masalah dengan penguasaan
diri, kodependensi, dan kemarahan terhadap ayahnya. Carol telah berhasil keuar
dari dua belas tahun pergumulannya dengan anoreksia dan bulimia dan dengan
pertolongan Allah ia telah mengalahkannya. Jadi , ia tahu bahwa saya juga dapat
mengalahkan kecanduan seksual saya dan ia tetap bersabar dengan saya sewaktu
saya jatuh dan tergelincir di tahun-tahun pertama pacaran kami. Tetapi, ia juga
harus mengatasi masalah kodependensi. Carol harus belajar bahwa kesembuhan saya
dan berhasilnya hubungan kami tidak tergantung pada dirinya, bahwa saya
bukanlah bagian dari rencananya. Ia harus mencapai suatu kesadaran bahwa
apabila saya tidak mengejar kesembuhan, ia bisa membiarkan saya pergi. Dan,
saya harus sadar bahwa saya tidak mengejar kesembuhan untuk dirinya, tetapi
untuk diri saya.
Jim
dan Carol melakukan sejumlah konseling. Mereka membaca banyak buku, mengikuti
berbagai macam pertemuan kelompok, menangis, berdoa, saling berteriak dan
marah. Dan di akhir semua itu, mereka terus saling mencintai. Suatu hari Jim
menyadari bahwa, “Kalau kami bisa melalui semua ini dan tetap saling mencintai,
kami juga bisa mewujudkannya dalam pernikahan.” Pada bulan November itu, ia
melamar Carol untuk menikah dengannya. Begitu Carol menjawab ya, mereka mulai
membuat rencana pernikahan. Segala sesuatunya tampak indah. Tetapi, jauh di
lubuk hatinya Jim merasa ketakutan
Pada
bulan Januari, dalam sebuah kesalahpahaman, Carol melukai perasaan Jim. Ia
segera pergi ke sebuah bar tempat kaum gay dan bergabung semalaman di sana.
Keesokan harinya, Jim menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Carol.
Setelah itu, tidak ada lagi tawa dalam hubungan mereka; sebulan kemudian mereka
putus kembali. Jim melakukan terapi untuk masalah kecanduan seksualnya. Carol
mencari terapis untuk masalah kodependensinya.
Ironisnya,
musim gugur itu mereka menyelesaikan kuliah di tempat yang sama yang berjarak
2.414 km dan dari antara dua puluh tiga ribu mahasiswa, mereka bertemu secara
kebetulan pada hari pertama. Semula mereka bersikap biasa saja, tetapi lambat
laun mereka mulai berpacaran kembali. Satu setengah tahun kemudian, Jim dan
Carol kembali bertunangan. Setelah dua kali putus, mereka akhirnya menikah pada
tahun 1992. Jim berbicara secara terus terang tentang pergumulan dalam
pernikahan mereka :
Tidak semudah yang pernah kami
bayangkan sebelumnya. Saya berusia dua puluh Sembilan tahun. Carol berusia tiga
puluh lima tahun. Kami berdua sangat mandiri dan keras kepala.Kami memiliki
rekening bank yang terpisah selama dua tahun pertama. Meskipun kami berdua
adalah komunikator professional, kemampuan kami saling berkomunikasi sangat
buruk, dan kami sungguh-sungguh menggumulkan hal itu. Tetapi, kami berdua juga
sangat gigih dan sekali kami berjanji untuk melakukan satu hal bersama-sama,
astaga, itulah yang terjadi.
Dan pada hari pernikahan kami,
dua orang yang sangat gigih yang sungguh-sungguh saling mencintai secara
mendalam berjanji untuk hidup bersama – kehidupan yang baik tentunya. Secara
perlahan-lahan kami belajar untuk saling percaya dan bergantung. Kami belajar
untuk bekerja bersama-sama dan sebuah pelayanan nasional Kristen dalam bidang
teater yang disebut Acs of Revival (Tindakan Pembaruan) muncul dalam kehidupan
pernikahan kami. Lalu, anak kami yang pertama lahir, seorang bayi laki-laki dan
kami belajar tentang betap banyaknya hal yang masih harus kami pelajari.
Hal itu sungguh mengejutkan kami
berdua, bahwa mendadak kami harus tinggal di rumah sepanjang waktu. Saya dan
Carol benar-benar harus berkembang. Lalu kami mempunyai seorang bayi laki-laki
lagi. Kami menyerahkan keegoisan yang dulu kami pikir tidak pernah bisa kami
lepaskan. Komitmen kami terhadap anak-anak begitu mendalam dan bersemangat
sehingga kadang kala saya begitu takjub
tentang betapa Carol adalah seorang ibu yang baik dan betapa dalamnya cinta saya yang mengalir
untuk kedua anak laki-laki saya.
Menjadi orangtua adalah sumber
kekaguman dan kebahagiaan yang tak pernah habis bagi saya. CIntanya begitu
dalam. Tanggung jawabnya begitu besar. Tiangnya begitu tinggi. Harganya tak
terhitung. Upahnya begitu besar. Memiliki seorang anak lelaki kecil berambut
pirang dan bermata biru yang menatap Anda dengan penuh cinta, keyakinan dan
kepercayaan, serta berkata dengan tulus “Saya mencintaimu Ayah” merupakan
pengalaman yang tak dapat ditukar dengan segala aktualisasi diri gay apa pun di
seluruh dunia.
Tentu
saja, sebagian teman gay Jim menganggap bahwa ia telah kembali menyembunyikan
diri. Mereka mengira bahwa ia telah memilih untuk secara diam-diam menderita – ciri
khas gay yang tidak dapat hidup dengan identitas diri yang sebenarnya.
Bagaimanapun, Jim telah belajar yang sebaliknya. Dengan tersenyum, ia berkata
bahwa seorang “gay” bukanlah siapa dia sekarang , siapa dia dulu, atau siapa
dia besok.
Kasih Bapa
Jim
percaya bahwa kerinduannya terhadap sosok laki-laki adalah kerinduan yang
dimiliki semua manusia – hasrat terhadap sesuatu yang bisa mengisi kekosongan
jiwa mereka. Lubang dari rasa sakit itu
tidak pernah dapat diisi oleh segala macam hubungan manusia, hubungan gay,
hubungan normal, orangtua atau sebagainya. Bagi orang Kristen, hbungan dengan
Allah merupakan kasih seumur hidup. Dan, ini bukanlah semacam hubungan rohani
yang teoretis. Tetapi hubungan ini adalah ketergantungan dan kerinduan setiap
hari yang sangat dalam terhadap Allah yang terus menerus mengisinya.
Bersamaan
dengan itu, cinta kasih Jim terhadap isterinya semakin mendalam, yang ia sebut
sebagai “cinta terbesar kedua dalam kehidupan saya”, setelah cintanya terhadap
Allah. Mereka berkeliling kota bersama-sama sebagai sepasang tim drama suami
istri yang disebut Acts of Renewal Baik saat berpentas di depan umum maupun di
balik pintu yang tertutup , mereka kadang-kadang masih meluangkah waktu bersama.
Mereka bergumul dengan masalah-masalah. Kadang-kadang gaya komunikasi mereka
menimbulkan kemarahan. Namun di tengah semua itu, cinta Carol dan Jim sangat “dalam,
anggun, dan penuh hasrat”. Dan, mereka tahu bahwa Allah memberkati cinta
mereka.
Apakah
kehidupan Jim bebas dari segala dorongan menuju homoseksualitas Tidak.
Pergumulan itu masih tetap ada, walaupun banyak berkurang dan sekarang kami
dapat memahaminya dengan benar – tipuan. Meskipun godaan itu masih tetap ada,
seperti yang banyak dialami oleh mereka yang meninggalkan perilaku
homoseksualitas, ia telah mengetahui kebenarannya. Mengikuti Yesus Kristus
merupakan satu-satunya jalan yang akhirnya memuaskan. Jalan lainnya hanyalah
sebuah ilusi kebahagiaan yang secara perlahan-lahan mengarah pada kematian.
Kunci
kebebasan bagi Jim dan banyak orang lain adalah Allah. Allah telah memimpinnya
melalui persahabatan yang tidak terhingga nilainya dengan teman-teman. Allah
telah menuntunnya melalui buku-buku yang dibacanya. Ia telah membawa Jim pada
situasi dan jalan masuk yang menyediakan
kesembuhan secara menyeluruh. Jim percaya bahwa dirinya merupakan proses
pemulihan yang sudah Allah mulai dan akan Allah selesaikan. “Tentu saja, saya
harus ikut berpartipasi dalam proses kesembuhan saya, namun sungguh melegakan
kalau mengingat bahwa bapa Surgawi saya sejuta kali lebih peduli daripada saya
tentang bagaimana membawa saya menuju kesempurnaan dan pribadi seperti Yesus.”
Konsep
Jim tentang Allah telah berubah secara dramatis selama bertahun-tahun. Sebagai
seorang anak ia memandang Allah sebagai sosok kakek yang sangat menyenangkan
yang mengasihi Anda dan tidak peduli dengan apa pun yang Anda lakukan.” Sebagai
seorang dewasa Kristen, Jim membaca Perjanjian Lama, yang berhubungan dengan
penghakiman Allah atas umatNya. Hal ini menimbulkan ketakutan dalam hati Jim,
dan ia tidak bisa melihat betapa sabarnya Allah. Ia kehilangan intinya bahwa,
seperti seorang ayah yang baik, Allah menghajar anak-anakNya, mendisiplinkan
kita agar kita kembali kepadaNya, dan agar kita bisa merasakan kasihNya. Dalam
tahun-tahun terakhir ini, Jim akhirnya mengenal Allah dengan cara yang telah
mengubah hidupnya untuk selama-lamanya.
Kerinduan saya selama ini adalah
memiliki seorang ayah yang benar-benar menginginkan diri saya. Dan, Allah telah
memberikannya kepada saya. Ia memberikan diriNya sendiri kepada saya. Jadi,
kisah saya belum selesai. Saya masih mengalami hari-hari di mana musuh terus
membisiki pikiran saya ketika saya sedang lelah, kecewa, dan lemah. Tetapi,
saya bukan tawanannya lagi. Saya bebas untuk memilih kehidupan. Saya bebas
untuk menerima Kekasih jiwa saya. Dan, saya melakukannya setiap hari.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home