Thursday, November 15, 2012

Catatan Harian Bob

Dr William Consiglio
Strategi-Strategi Praktis bagi Orang Kristen untuk Mengatasi Homoseksualitas

Harga Diri yang Rendah
Satu-satunya hal yang saya ingat secara pribadi ialah dari sebuah foto keluarga saya. Kami berada di depan rumah kami di Brooklyn, saya berada di pangkuan ibu saya dan kedua kakak perempuan saya berlutut di depannya. Ayah saya berdiri di belakang ibu saya. Hal itu mempunyai arti tersendiri. Ia sangat tampan, seperti seseorang yang (pada saat sekarang setelah saya dewasa) mungkin kepadanya saya akan tertarik. Ia memiliki kumis hitam yang melintang dan janggut yang terpotong rapi. Ia memiliki sosok tubuh yang menarik , gigi putih yang teratur, dan tampaknya sangat jantan. Semua cirri yang membuat saya tertarik.
                Saya berusia kurang lebih tinga atau empat tahun saat itu. Kakak-kakak perempuan saya berusia kurang lebih enam atau delapan tahun. Kedua orang tua saya berusia dua puluh lima sampai akhir tiga puluhan. Saya adalah anak yang paling bungsu. Apakah artinya hal ini dalam kaitannya dengan urutan kelahiran? Hal apakah yang berbeda atau khusus mengenai seorang anak bungsu, anak laki-laki bungsu dengan dua kakak perempuan? Kemudian saya mengetahui bahwa ibu saya kehilangan seorang anak yang meninggal pada saat lahir sebelum saya. Anak itu laki-laki. Saya heran akan hal tersebut. Bagaimana pengaruhnya terhadap ibu dan ayah saya? Bagaimanakah perasaan-perasaan mereka ketika ibu saya mengandung saya setelah kehilangan seorang anak lagi? Bagaimana bila anak itu laki-laki? Bagaimanakah perasaan ayah saya saat itu?
                Kami tinggal di Brooklyn, New York saat itu. Saya tidak begitu ingat akan tempat kami tinggal itu, kecuali bahwa kami tinggal di sebuah apartemen dengan banyak tetangga dan sangat bising. Saya memiliki perasaan bahwa saya dilindungi oleh ibu saya dari lingkungan yang “keras” ini. Tampaknya saya melewatkan banyak waktu besama ibu saya di dalam apartemen. Kakak-kakak perempuan saya dan ayah menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah. Ibu saya dan saya melakukan banyak hal bersama-sama, begitulah yang saya dengar. Saya tidur dalam kamar yang sama dengan orang tua saya karena apartemen itu hanya terdiri atas dua kamar tidur dan kakak-kakak perempuan saya mepunyai kamar tersendiri.
                Ibu saya seorang yang mudah tergugah dan bersuara keras, ayah saya pendiam dan banyak mengeluh. Inilah kesan-kesan dini tentang diri mereka yang tampaknya masih tetap berlaku sampai sekarang. Mereka mengeluh karena tidak mempunyai cukup uang dan ibu saya “merendahkan” ayah saya mengenai hal ini karena seharusnya beliau adalah laki-laki yang menjadi pencari nafkah yang baik. Kakak perempuan saya yanag tertua berkata bahwa kami miskin. Saya menduga bahwa saya baru saja masuk ke Taman Kanak-Kanak ketika kami pindah ke Connecticut.
                Ibu dan kakak-kakak saya berkata bahwa saya adalah seorang anak yang baik. Saya menduga bahwa seakan-akan saya mempunyai tiga orang ibu karena mereka semua mengasuh saya dan sepertinya mereka masih tetap bersikap seperti itu sampai sekarang. Dari foto tersebut dan dari kejadian-kejadian beriktnya saya mendapat kesan bahwa ayah saya adalah seorang yang istimewa (satu-satunya pria dengan tiga wanita yang “bersekongkol” mengelilinginya) dan juga menjadi sasaran dari cemoohan dan kritikan tersembunyi di balik punggungnya, terutama dari ibu saya. Bahkan dari tahap ini pun saya merasa bahwa ibu saya tidak cukup puas terhadap ayah saya.

Kekosongan Identitas Kelamin
                Ayah saya bekerja di luar cukup lama dan pulang ke rumah larut malam dalam usia saya waktu itu. Saya bahkan tidak tahu apa jenis pekerjaan ayah saya selama beberapa waktu. Saya tidak banyak berjumpa dengannya. Ia hadir di sana dan ia tidak hadir di sana sekaligus. Saya tahu bahwa kehadirannya menjadi bagian kehidupan kami, tetapi saya tidak pernah memiliki hubungan dengannya secara pribadi maupun secara emosional. Betapa anehnya. Di sana hadir seorang pria yang disebut “ayah”, tetapi saya tidak pernah mengalami apa yang seharusnya terjadi di antara seorang ayah dengan seorang anak, apa pun yang dimaksudkan.
                AKhir pecan dilewatkannya seorang diri. Ia sangat jarang berurusan dengan keluarga. Ibu saya bahkan mengeluh mengenai hal ini. Bila ia pulang ke rumah pada malam hari dari pekerjaannya, saya kira sering saya sudah lelap tidur, dan keesokan harinya saya mendapatkannya sudah pergi.
                Oh Tuhan, betapa ia adalah pribadi yang jauh dari kami. Saya tidak pernah menyadari  betapa jauhnya beliau dalam sebagian hidup saya. Saya menganggapnya benar-benar bukan sebagai suatu pribadi, bahwa kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Ini membuatnya menjadi suatu misteri dan menarik. Saya merasa sangat tertarik secara emosional dengan suatu cara yang seolah-olah nostalgia, dan sedih, tetapi pada saat yang sama merasa jauh darinya secara emosional. Hal ini menyadarkan saya bahwa saya memiliki perasaan-perasaan mendalam yang saling bertentangan  mengenai ayah saya. Ada perasaan mengasihi dan membenci; rasa tertarik sekaligus tidak peduli, kerinduan untuk mengenalnya sekaligus tidak ingin mengenalnya karena beberapa alasan. Rasanya sakit dalam diri saya bila memikirkan baha saya tidak pernah mengenal siapa ayah saya, saya tidak pernah mengenal pribadinya. Bagaimana saya dapat menjadi seorang pria bila saya tidak mengenal pria ini, ayah saya? Yah, betapa inginnya aku mengenalmu! ANdaikan saya dapat belajar mengenalmu sekali  lagi! Andaikan kita dapat  mulai membina suatu hubungan baru! Yah, saya merasa kehilangan karena tidak mengenalmu; saya merasa kehilangan! Ayah, siapakah dirimu?
                Saya dapat memahami bagaimana perasaan-perasaan nostalgia, sedih, pertentangan yang mendalam ini selalu berkecamuk dalam diri saya bila saya tertarik dan terlibat secara emosional dengan seorang pria. Seolah-olah saya telah “terkutuk” untuk mengalami hal ini berulang-ulang  sampai saya membereskannya dan memenuhinya dan menyelesaikannya. Setiap kali saya memiliki perasaan “kosong” ini saya merasa terseret untuk mencari seorang pria yang mau mencintai saya. Hal ini serupa dengan suatu “kerasukan” pada diri saya. Saya harus mencari seorang pria yang menginginkan diri saya!
                Maafkanlah luapan emosi saya itu! Bila saya memikirkan tentang ayah saya, sepertinya emosi itu menguasai saya sejenak.
                Ya, bagaimanapun, sekarang saya perlu membuat pengakuan tentang sesuatu yang memalukan bagi saya Bila ayah saya pulang ke rumah di malam hari (ingat bahwa saya tidur sekamar dengan kedua orang tua saya), saya sering memperhatikannya bila ia menanggalkan pakaiannya, sambil berpura-pura tidur.
                Saya tidak tahu mengapa hal itu begitu menarik bagi saya, tetapi begitulah adanya. Melihatnya dalam keadaan tanpa busana begitu menyenangkan. Anda tahu, bila saya memikirkannya sekarang, saya sadar mengapa hal itu menyenangkan saya. Melihatnya tanpa busana seolah-olah seperti mengenal pribadinya yang sebenarnya, seseorang yang sama sekali tidak saya kenal, seseorang yang sama sekali tidak mengijinkan saya untuk mengenalnya. Melihatnya tanpa busana berarti melihatnya dalam keadaan yang rentan dan nyata. Hal ini menjadikan emosi saya terangsang.
                Saya menduga bahwa ini merupakan gairah seksual yang saya rasakan meskipun waktu itu saya hampir tidak menyadarinya. Saya tahu bahwa hal itu benar-benar menjadi bersifat seksual bila saya melihat kedua orang tua saya melakukan hubungan intim.
                Sekarang saya menyadari bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang baik untuk disaksikan Hal ini terlalu bebas / terbuka dan tidak seharusnya disaksikan oleh anak berusia tujuh atau delapan tahun. Dalam kenyataannya, saya rasa Anda dapat menyebutnya sebagai  suatu bentuk pelecehan seksual.
                Saya juga sangat terpesona oleh sosok tubuh maskulin ayah saya. Bulu-bulu pada tubuhnya dan penampilannya yang gagah merupakan sesuatu yang ingin saya ketahui. Saya dapat mengingatnya seperti ini sejak saya masih sangat muda. Mungkin rasa tertarik yang kuat terhadap sifat-sifat prianya ini disebabkan oleh fakta bahwa saya merasa sangat tidak mirip dengannya. Saya lebih sering dikaitkan dan berada bersama dengan ibu dan kakak-kakak perempuan saya. Saya kira saya benar-benar  rindu untuk menjadi seperti ayah saya, anda saja ia memberi saya kesempatan untuk sedikit lebih dekat dengannya dan mengidentifikasikan diri dengannya. Sebaliknya saya selalu berada dekat ibu saya dan kakak-kakak saya dan tetap jauh dari ayah saya.
                Suatu kali, saya kira hal ini terjadi ketika saya berusia sekitar delapan tahun, ayah saya membawa saya menonton pasar malam. Saya heran, bagaimana cara ibu saya dapat menyuruhnya melakukan hal ini? Saya ingat betapa tidak menyenangkannya saat itu. Saat saya seolah-olah sedang bersama seorang asing, karena ia memang asing bagi saya. Saya pikir saya merasa takut berada bersamanya karena tampaknya ia tidak peka terhadap kebutuhan-kebutuhan saya sebagaimana halnya ibu dan kakak-kakak perepuan sayam Mereka selalu mencari saya dan meladeni saya.
                Saya selalu merasa seolah-olah saya adalah pengganggu baginya. Ia memperlakukan saya seakan-akan saya mengganggunya. Ia memperlakukan saya seolah-olah saya menjadi tanggung jawabnya yang tak terhindarkan. Yah, bagaimana pun , ketika kami berada di pasar malam, saya terdorong untuk pergi ke kamar mandi. Mungkin sekedar berada bersamanya, membuat saya ingin kencing karena takut. Bagaimanapun juga saya mengemukakan hal ini kepadanya beberapa kali. Seperti biasanya, ia tidak menghiraukan saya. Akhirnya, saya tidak dapat menahannya lagi dan saya mengompol. Ketika ia mengetahui hal ini, ia menjadi marah dan mulai menghina saya.
                Insiden tersebut begitu jelas dalam ingatan sehingga saya yakin bahwa ini merupakan kejadian yang paling penting atau tipe kejadian yang simbolik yang mempengaruhi perasaan kebingungan akan identitas kelamin saya. Hal tersebut membuat saya membecinya dan merasa sangat takut terhadapnya. Sesudah kejadian tersebut, saya menolak untuk pergi bersamanya ataupun melakukan sesuatu bersamanya lagi. Saya benar-benar dapat merasakan kebencian dan kekecewaan saya terhadapnya. Saya pikir saya berkata kepada diri saya sendiri bahwa saya tidak akan pernah menyukainya lagi. Saya pikir saya hampir dapat merasakan terbentuknya tembok pemisah di antara kami sejak saat itu. Insiden yang keras ini membuat saya merasa bahwa ayah saya (dan setiap pria) harus ditakuti, dan ia (setiap pria) bersifat kejam, tidak peka, suka melukai, dan jahat. Saya tidak lagi mempercayainya (juga setiap pria) sejak saat itu. Saya yakin akan hal tersebut.

Daya Tarik terhadap Sejenis
                Karena saya tidak mempunyai saudara laki-laki dan telah terbiasa berada bersama kaum wanita, saya cenderung merasa lebih aman dan lebih nyaman berada bersama gadis-gadis.
                Gadis-gadis tidak memiliki daya tarik seksual bagi saya. Entah bagaimana saya tidak dapat berpikir mengenai anak-anak gadis dalam pengertian itu meskipun anak-anak laki-laki berkomentar dengan nada tersebut tentang mereka. Agar memiliki daya tarik seksual, anak-anak gadis harus merupakan misteri dan tidak saya kenal, tetapi bagi saya tidaklah demikian halnya. Cukup lama saya tinggal bersama ibu dan saudara-saudara perempuan saya sehingga mereka cukup saya kenal. Saya merasa seakan-akan mengidentifikasikan diri dengan mereka dan merupakan salah satu dari mereka meskipun sepenuhnya menyadari bahwa saya adalah seorang anak laki-laki.
                Di pihak lain, anak-anak laki-laki merupakan misteri bagi saya. Saya tidak mengenal anak-anak laki-laki. Saya tidak merasa betah berada bersama mereka, oleh karenanya mereka menjadi sasaran perhatian yang sangat kuat bagi saya. Sampai tahap ini anak-anak laki-laki belum memiliki daya tarik seksual bagi saya. Tetapi saya hanya merasa jauh dari mereka dan saya sangat ingin menjadi bagian dari mereka. Mereka sangat menarik bagi saya.
                Tentu saja, bila saya melihat seorang anak laki-laki tanpa busana di ruang tempat berganti pakaian, saya akan merasa tertarik secara aneh dan ada rasa ingin tahu tentang dirinya secara seksual. Saya tidak ingin merasa tidak dapat berbuat banyak mengenai hal tersebut. Saya merasa sangat sukar untuk mengalihkan pandangan mata saya dari seorang anak laki-laki dalam keadaan tanpa busana dan kemudian saya menemukan diri saya berulang-ulang memikirkan apa yang telah saya lihat. Hal ini benar-benar membuat saya malu ketika saya menyadari bahwa saya mengalami ereksi dalam keadaan-keadaan ini dan dengan cepat saya belajar untuk menghindari ruang tempat berganti pakaian.
                Anak laki-laki lainnya juga memberikan perlakuan yang berbeda kepada saya. Saya rasa, saya tidak begitu menguasai bidang olahraga; saya memiliki kemampuan, tetapi tidak mempunyai kepercayaan diri Bila anak-anak laki-laki lainnya menyumpah-nyumpah secara agresif  karena kekeliruan-kekeliruan mereka, saya akan menjadi sangat bingung dan merasa terkalahkan secara emosional. Sebaliknya saya berhasil baik dalam pelajaran sekolah. Semua guru saya menyukai saya. Kekaguman guru-guru saya membuat saya tidak popular di antara kelompok anak-anak laki-laki sebaya saya dan mendesak saya untuk lebih jauh mengidentifikasikan dengan gadis-gadis teman sekelas yang juga berprestasi dalam pelajaran-pelajaran sekolah.
                Saya mempunyai seorang teman laki-laki yang cukup dekat dengan saya. Saya ingat betapa senang rasanya mempunyai seseorang yang benar-benar ingin berada bersama saya. Rasanya begitu luar biasa ketika ia menelpon saya dan mengajak saya pergi ke suatu tempat bersamanya atau berkunjung dengannya. Ia memperlihatkankepada saya koleksi pornografi milik ayahnya, yang terdiri dari berbagai buku kartun, kartu permainan dan majalah. Ini merupakan rahasia kami berdua. Kemudian ia bercerita kepada saya mengenai masturbasi. Suatu kali kami membandingkan penis kami. Ia merasa malu dengan ukurannya kecil. Suatu kali ketika kami sedang bergulat saya mengalami ereksi dan ia mengetahui hal itu. Saya pikir setelah itu ia menjadi agak takut terhadap  saya dan reaksinya sendiri. Kejadian-kejadian ini adalah sebagian dari gejolak-gejolak awal homoseksualitas dalam diri saya.
                Karena saya berwajah lumayan, saya cukup popular di antara gadis-gadis. Saudara-saudara perempuan saya beranggapan bahwa saya cukup tampan dan sangat menyukai saya. Saya pergi ke beberapa pesta dan kami berciuman dan berpelukan dan rasanya luar biasa. Untuk semenara hal ini meredakan keraguan saya mengenai kejantanan. Bahkan, saya merasa sedemikian nyaman dengan perasaan-perasaan yang menyenangkan tersebut sehingga saya menjadi terikat secara emosional dengan seorang gadis Orang tuanya beranggapan bahwa kami masih terlalu muda untuk hal ini dan menyuruh kami untuk memutuskan hubungan ini.

Daya Tarik Seksual
                Saya berusaha keras untuk menyembunyikan perasaan-perasaan homoseksual yang timbul dalam diri saya. Saya menarik diri dan menjaga jarak, saya jarang sekali mengalami saat-saat tertawa lepas dan spontanitas karena saya melihat diri saya begitu dikuasai oleh orientasi yang tidak dapat saya terima ini. Saya mulai melakukan masturbasi dengan khayalan-khayalan dan bayangan-bayangan homoseksual. Saya mengumpulkan gambar-gambar porno heteroseksual  meskipun sebenarnya kaum prialah yang menarik bagi saya dalam gambar-gambar itu. Mengumpulkan pornografi “homo” berarti memaksa diri saya mengaku sebagai seorang “homo”
                Suatu saat, kelab bahasa Perancis di SMU saya mengadakan perjalanan ke Kanada, dengan tujuan agar kami dapat memasuki lingkungan bersuasana Perancis dan melatih penggunaan bahasa Perancis kami. Saat itu merupakan kali pertama saya tinggal sekamar dengan pria lain. Pemuda yang tinggal sekamar dengan saya ialah seseorang yang telah bercerita kepada saya baha ia menduga dirinya adalah seorang homo beberapa bulan sebelumnya. Saya kira kami berdua merasa saling tertarik karena kami dapat membina suatu ikatan berdasarkan fakta bahwa kami sama-sama mengaku memiliki perasaan-perasaan homoseksual. Barangkali kami berdua berangan-angan untuk tinggal bersama sekamar dalam perjalanan ini, dan ketika kami diberi kesempatan untuk memilih teman sekamar, kami sepakat untuk tinggal sekamar.
                Pada malam-malam kami berada di Kanada, kami “melakukan eksperimen” dalam arti seksual. Kami naik ke tempat tidur , berpelukan, berciuman sebentar dan melakukan masturbasi bersama. Hanya sebatas itu, tetapi itu merupakan pengalaman homoseksual pertama bagi kami, dan rasanya begitu menyenangkan, melegakan, dan sekaligus menakutkan. Menakutkan bagi saya, karena seperti saya katakana sebelumnya, saya sebenarnya tidak ingin menyatakan diri sebagai seorang homo. Selama dua tahun berikutnya pemuda ini dan saya tetap berhubungan seksual delapan atau sepuluh kali setelah itu.
                Sekitar waktu tersebut keluarga saya mulai aktif terlibat dalam kegiatan sebuah gereja yang injili dan kami selalu pergi ke gereja. Ayah saya memperlihatkan perubahan-perubahan yang menyenangkan terhadap ibu saya dan saya, sebagai hasil pengalaman kelahiran barunya. Ia menjadi lebih ramah , lebih terbuka, dan lebih banyak bicara. Ia menyediakan lebih banyak waktu untuk keluarga. Kedua kakak perempuan saya tidak lagi tinggal serumah pada saat itu. Di gereja saya mendengar beberapa kali disinggung mengenai dosa homoseksual, tetapi tidak ada seorang pun yang pernah menyarankan bahwa Anda dapat berbuat sesuatu mengenai hal tersebut. Pembicaraan-pembicaraan itu umumnya merupakan pemberitaan yang bersifat mengutuk.
                Menjelang akhir tahun pelajaran saya di SMU, kelompok pemuda di gereja kami pergi ke kota lain untuk mengikuti “reli”” kaum mudah wilayah. Ada seorang pembicara konferensi yang hadir di sana memberikan suatu kesaksian yang menggugah mengenai dirinya sebagai mantan homoseksual. Ia benar-benar menyita perhatian saya, meskipn saya tidak membiarkan seorang pun mengetahui bahwa saya memiliki alasan tersendiri mengenai hal ini. Ia menanamkan pikiran dan keinginan yang berasal ari Roh Kudus bahwa saya harus dan dapat berbuat sesuatu untuk mengubah homoseksual saya.
                Ia mengundang orang-orang untuk datang dan berbicara secara pribadi dengannya dan dengan cara yang tidak menarik perhatian orang. Meskipun saya sangat gugup untuk berbicara dengannya, saya merasakan dorongan Roh Kudus untuk melakuakan hal tersebut. Saya berbicara dengannya atau lebih tepatnya, saya lebih banyak menangis selama hampir dua jam. Pada akhir percakapan , ia membimbing saya dalam doa orang berdosa dan saya menyerahkan hidup saya dan masalah homoseksualitas saya kepada Allah. Ia juga mengatakan bahwa ia akan mengirimkan informasi mengenai organisasi pelayanan setempat yang akan mendukung saya dalam mengatasi homoseksual.
                Ketika saya pulang ke rumah sesudah konferensi tersebut, saya merasa seolah-olah suatu beban yaaang sangat   berat sudah terangkat. Selama tujuh atau delapan bulan berikutnya, tepat sampai akhir semester pertama kuliah saya, dengan jujur saya dapat mengatakan bahwa saya merasa benar-benar telah dibebaskan dari dorongan-dorongan dan daya tarik homoseksual. Tetapi kemudian sebenarnya mulai lagi!

Penguatan Perilaku Seksual
                Setelah pengalaman pertobatan saya di konperensi tersebut, saya menjadi aktif di gereja dan dalam kegiatan persekutuan Kristen di kampus. Dalam persekutuan inilah saya berjumpa dengan Carl. Usianya kurang lebih sebaya dengan saya dan ia sangat tampan meskipun cenderung agak feminine. Tidak lama kemudian kami saling berkenalan dan saling membuat pengakuan bahwa kami sedang bergumulu dengan “H” besar, istilah yang kami dengar dipergunakan untuk masalah homoseksual.
                Mula-mula kami merasa senang dapat berbagi tentang masalah kami bersama. Kami sama-sama bertekad kuat untuk mengatasinya karena kami adalah orang-orang Kristen. Perlahan-lahan perjalanan kami dengan Tuhan mulai mengalami kemunduran dalam saling ketergantungan emosional kami. Kami melewatkan banyak waktu bersama dengan apa yang kami rasakan sebagai hubungan kasih yang sangat istimewa. Kami tidak melakukan aktivitas seksual dan kami bahkan bepikir untuk mendirikan suatu organisasi pelayaan Kristen di kampus, untuk para pemenang lainnya. Kami membicarakannya dengan pendeta yang melayani kampus kami, dan kami mendapat dukungannya.
                Saya kira kami mulai bersikap kurang hati-hati dan sembrono. Kami mulai mengadakan percakapan –percakapan yang sangat sensitive dan emosional, yang selalu diakhir dengan pelukan “persahabatn”. Suatu malam kami minum minuman keras selain berbincang-bincang dan berakhir dengan keterlibatan kami berdua dalam kegiatan seksual. Mula-mula kami hanya menganggapnya sebagai suatu kecelakaan yang tidak akan terjadi lagi. Tetapi hal itu terulang kembali. Kami berdua menyadari bahwa kami tengah berbuat dosa, tetapi kami seakan-akan terbius  satu dengan yang lain. Hal itu berlangsung selama satu semester penuh dan gangguan mengenai organisasi pelayanan tadi sama sekali terlupakan.
                Pada tahun kedua dalam masa perkuliahan kami Carl memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami karena ia sangat bersungguh-sungguh dalam hubungannya dengan Tuhan dan ia ingin belajar di Sekolah Alkitab. Pada saat itu saya sangat terikat secara  emosional dengan Carl sehingga ketika ia mengemukakan keinginan untuk mengakhiri hubungannya dengan saya, saya mengalami depresi selama berminggu-minggu Hampir saja saya dikeluarkan dari perguruan tinggi karena kegagalan saya.
                Saya juga mulai sangat membenci diri saya sendiri dan sangat marah terhadap Allah karena Ia memilih Carl dan bukan saya, dank arena Ia membiarkan saya mengalami kegagalan. Saya mulai mengunjungi bar-bar dalam pertentangan dan kemarahan, sesuatu yang sama sekali bukan sifat saya. Hal ini hanya membuat  saya semakin membenci diri saya dan memperdalam depresi saya. Akhirnya dua kali saya mencoba bunuh diri tahun itu, yang terakhir lebih fatal dari yang pertama kali.
                Karena usaha-usaha bunuh diri tersebut, pendeta di kampus saya memperkenalkan saya dengan seorang konselor Kristen. Puji Tuhan! Inilah awal dari pertolongan yang sangat penting yang saya perlukan. Seseorang pernah mengatakan,”Allah tidak akan membiarkan kita tersesat, Allah tidak akan membiarkan kita pergi, Allah tidak akan membiarkan kita jatuh.” Sekali lagi saya mulai merasakan kehadiranNya dengan nyata.

Identitas sebagai Homoseks
                Setelah usaha-usaha saya untuk bunuh diri, saya memulai konseling dengan seorang konselor Kristen. Saya bertemu dengannya secara teratur sampai akhir masa kuliah. Konseling ini benar-benar menolong saya untuk menguasai diri secara emosional, psikologis dan rohani.
                Saya llus sebagai guru pendidikan bahasa dan sekarang mengajar di SMU. Saya merasa bahwa pekerjaan saya memuaskan. Konseling telah membantu saya untuk  melihat  bahwa mengatasi homoseksualitas berkaitan juga dengan memantapkan suatu karier yang memuaskan, memperbaiki hubungan saya dengan orang tua saya, turut terlibat dalam kegiatan gereja saya, dan  membina suatu jaringan teman-teman pria dan wanita Kristen pendukung bagi para pemenang. Kesemuanya ini secara bersama-sama telah menolong saya untuk melakukan pekerjaan dalam batin maupun lahiriah yang diperlukan untuk membantu mengatasi homoseksualitas. Saya telah menyaksikan perubahan-perubahan luar biasa dalam diri saya sebagai hasil dari cara Roh Kudus bekerja melalui konselor saya, persekutuan di gereja saya, dan organisasi pelayanan pendukung. Saya merasakan kesembuhan yang lebih daripada yang pernah saya rasakan. Saya tahu bahwa ada banyak hal lain yang masih harus dilakukan, tetapi saya bersyukur kepada Allah untuk APA yang telah dikerjakanNya.
                Meskipun sudah lebih dari tiga tahun saya tidak terlibat secara seksual dengan siapa pun, saya masih menghadapi godaan-godaan dan daya tarik. Saya benar-benar merasa bahwa saya telah dapat mengendalikannya, pada umumnya hal tersebut tidak menjadi pertentangan besar. Saya merasa jauh lebih utuh  secara emosional.
                Belum lama ini saya bercerita kepada kakak perempuan sulung saya mengenai pergumulan ini. Kami sempat beberapa kali berbincang-bincang dengan sangat menyenangkan. Saya juga melewatkan saat-saat yang benar-benar berarti dengan ayah saya dan saya dapat benar-benar memahami apa yang telah terjadi dalam kehidupannya. Saya sama sekali tidak menceritakan tentang homoseksualitas saya kepada kedua orang tua saya. Saya rasa saya masih belum siap untuk itu.
                Saya mulai berkencan dengan seorang wanita Kristen yang baik dan baru-baru ini saya bercerita kepadanya mengenai masa lalu saya. Ia begitu penuh pengertian dan mau menerima diri saya serta ingin mengetahui lebih jauh mengenai hal tersebut. Saya menyadari bahwa saya hanya menerka-nerka saja dalam hubungan ini dan harus berusaha untuk mempelajari kembali bagaimana caranya membina hubungan yang bersifat heterososial. Saya menghadapi masalah dalam keakraban dan keintiman emosional dengannya, tetapi kami tengah membinanya.
                Saya menjadi semakin dekat dengan Allah dan saya tidak dapat melewatkan satu hari tanpa berbicara denganNya dan berbicara mengenai diriNya dengan cara yang nyata dan bersifat pribadi. Bila saya tidak berhasil melewatkan waktu bersamaNya untuk beberapa hari saja, saya merasa seolah-olah kehilangan salah seorang teman baik saya. Saya memuji Dia karena Ia terus-menerus membuat saya “yakin sepenuhnya, yaitu Dia, yang memulai pekerjaan baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Yesus Kristus.” (Flp 1:6)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home