Catatan Harian Bob
Dr William Consiglio
Strategi-Strategi Praktis bagi Orang Kristen untuk
Mengatasi Homoseksualitas
Harga Diri
yang Rendah
Satu-satunya hal yang saya ingat secara pribadi ialah
dari sebuah foto keluarga saya. Kami berada di depan rumah kami di Brooklyn,
saya berada di pangkuan ibu saya dan kedua kakak perempuan saya berlutut di
depannya. Ayah saya berdiri di belakang ibu saya. Hal itu mempunyai arti
tersendiri. Ia sangat tampan, seperti seseorang yang (pada saat sekarang
setelah saya dewasa) mungkin kepadanya saya akan tertarik. Ia memiliki kumis
hitam yang melintang dan janggut yang terpotong rapi. Ia memiliki sosok tubuh
yang menarik , gigi putih yang teratur, dan tampaknya sangat jantan. Semua
cirri yang membuat saya tertarik.
Saya
berusia kurang lebih tinga atau empat tahun saat itu. Kakak-kakak perempuan
saya berusia kurang lebih enam atau delapan tahun. Kedua orang tua saya berusia
dua puluh lima sampai akhir tiga puluhan. Saya adalah anak yang paling bungsu.
Apakah artinya hal ini dalam kaitannya dengan urutan kelahiran? Hal apakah yang
berbeda atau khusus mengenai seorang anak bungsu, anak laki-laki bungsu dengan
dua kakak perempuan? Kemudian saya mengetahui bahwa ibu saya kehilangan seorang
anak yang meninggal pada saat lahir sebelum saya. Anak itu laki-laki. Saya
heran akan hal tersebut. Bagaimana pengaruhnya terhadap ibu dan ayah saya?
Bagaimanakah perasaan-perasaan mereka ketika ibu saya mengandung saya setelah
kehilangan seorang anak lagi? Bagaimana bila anak itu laki-laki? Bagaimanakah
perasaan ayah saya saat itu?
Kami
tinggal di Brooklyn, New York saat itu. Saya tidak begitu ingat akan tempat
kami tinggal itu, kecuali bahwa kami tinggal di sebuah apartemen dengan banyak
tetangga dan sangat bising. Saya memiliki perasaan bahwa saya dilindungi oleh
ibu saya dari lingkungan yang “keras” ini. Tampaknya saya melewatkan banyak
waktu besama ibu saya di dalam apartemen. Kakak-kakak perempuan saya dan ayah
menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah. Ibu saya dan saya melakukan
banyak hal bersama-sama, begitulah yang saya dengar. Saya tidur dalam kamar
yang sama dengan orang tua saya karena apartemen itu hanya terdiri atas dua
kamar tidur dan kakak-kakak perempuan saya mepunyai kamar tersendiri.
Ibu
saya seorang yang mudah tergugah dan bersuara keras, ayah saya pendiam dan
banyak mengeluh. Inilah kesan-kesan dini tentang diri mereka yang tampaknya
masih tetap berlaku sampai sekarang. Mereka mengeluh karena tidak mempunyai
cukup uang dan ibu saya “merendahkan” ayah saya mengenai hal ini karena
seharusnya beliau adalah laki-laki yang menjadi pencari nafkah yang baik. Kakak
perempuan saya yanag tertua berkata bahwa kami miskin. Saya menduga bahwa saya
baru saja masuk ke Taman Kanak-Kanak ketika kami pindah ke Connecticut.
Ibu
dan kakak-kakak saya berkata bahwa saya adalah seorang anak yang baik. Saya
menduga bahwa seakan-akan saya mempunyai tiga orang ibu karena mereka semua
mengasuh saya dan sepertinya mereka masih tetap bersikap seperti itu sampai
sekarang. Dari foto tersebut dan dari kejadian-kejadian beriktnya saya mendapat
kesan bahwa ayah saya adalah seorang yang istimewa (satu-satunya pria dengan
tiga wanita yang “bersekongkol” mengelilinginya) dan juga menjadi sasaran dari
cemoohan dan kritikan tersembunyi di balik punggungnya, terutama dari ibu saya.
Bahkan dari tahap ini pun saya merasa bahwa ibu saya tidak cukup puas terhadap
ayah saya.
Kekosongan
Identitas Kelamin
Ayah
saya bekerja di luar cukup lama dan pulang ke rumah larut malam dalam usia saya
waktu itu. Saya bahkan tidak tahu apa jenis pekerjaan ayah saya selama beberapa
waktu. Saya tidak banyak berjumpa dengannya. Ia hadir di sana dan ia tidak
hadir di sana sekaligus. Saya tahu bahwa kehadirannya menjadi bagian kehidupan
kami, tetapi saya tidak pernah memiliki hubungan dengannya secara pribadi
maupun secara emosional. Betapa anehnya. Di sana hadir seorang pria yang
disebut “ayah”, tetapi saya tidak pernah mengalami apa yang seharusnya terjadi
di antara seorang ayah dengan seorang anak, apa pun yang dimaksudkan.
AKhir
pecan dilewatkannya seorang diri. Ia sangat jarang berurusan dengan keluarga.
Ibu saya bahkan mengeluh mengenai hal ini. Bila ia pulang ke rumah pada malam
hari dari pekerjaannya, saya kira sering saya sudah lelap tidur, dan keesokan
harinya saya mendapatkannya sudah pergi.
Oh
Tuhan, betapa ia adalah pribadi yang jauh dari kami. Saya tidak pernah
menyadari betapa jauhnya beliau dalam
sebagian hidup saya. Saya menganggapnya benar-benar bukan sebagai suatu
pribadi, bahwa kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Ini membuatnya menjadi
suatu misteri dan menarik. Saya merasa sangat tertarik secara emosional dengan
suatu cara yang seolah-olah nostalgia, dan sedih, tetapi pada saat yang sama
merasa jauh darinya secara emosional. Hal ini menyadarkan saya bahwa saya
memiliki perasaan-perasaan mendalam yang saling bertentangan mengenai ayah saya. Ada perasaan mengasihi
dan membenci; rasa tertarik sekaligus tidak peduli, kerinduan untuk mengenalnya
sekaligus tidak ingin mengenalnya karena beberapa alasan. Rasanya sakit dalam
diri saya bila memikirkan baha saya tidak pernah mengenal siapa ayah saya, saya
tidak pernah mengenal pribadinya. Bagaimana saya dapat menjadi seorang pria
bila saya tidak mengenal pria ini, ayah saya? Yah, betapa inginnya aku
mengenalmu! ANdaikan saya dapat belajar mengenalmu sekali lagi! Andaikan kita dapat mulai membina suatu hubungan baru! Yah, saya
merasa kehilangan karena tidak mengenalmu; saya merasa kehilangan! Ayah,
siapakah dirimu?
Saya
dapat memahami bagaimana perasaan-perasaan nostalgia, sedih, pertentangan yang
mendalam ini selalu berkecamuk dalam diri saya bila saya tertarik dan terlibat
secara emosional dengan seorang pria. Seolah-olah saya telah “terkutuk” untuk
mengalami hal ini berulang-ulang sampai
saya membereskannya dan memenuhinya dan menyelesaikannya. Setiap kali saya
memiliki perasaan “kosong” ini saya merasa terseret untuk mencari seorang pria
yang mau mencintai saya. Hal ini serupa dengan suatu “kerasukan” pada diri
saya. Saya harus mencari seorang pria yang menginginkan diri saya!
Maafkanlah
luapan emosi saya itu! Bila saya memikirkan tentang ayah saya, sepertinya emosi
itu menguasai saya sejenak.
Ya,
bagaimanapun, sekarang saya perlu membuat pengakuan tentang sesuatu yang
memalukan bagi saya Bila ayah saya pulang ke rumah di malam hari (ingat bahwa
saya tidur sekamar dengan kedua orang tua saya), saya sering memperhatikannya
bila ia menanggalkan pakaiannya, sambil berpura-pura tidur.
Saya
tidak tahu mengapa hal itu begitu menarik bagi saya, tetapi begitulah adanya.
Melihatnya dalam keadaan tanpa busana begitu menyenangkan. Anda tahu, bila saya
memikirkannya sekarang, saya sadar mengapa hal itu menyenangkan saya.
Melihatnya tanpa busana seolah-olah seperti mengenal pribadinya yang
sebenarnya, seseorang yang sama sekali tidak saya kenal, seseorang yang sama
sekali tidak mengijinkan saya untuk mengenalnya. Melihatnya tanpa busana
berarti melihatnya dalam keadaan yang rentan dan nyata. Hal ini menjadikan
emosi saya terangsang.
Saya
menduga bahwa ini merupakan gairah seksual yang saya rasakan meskipun waktu itu
saya hampir tidak menyadarinya. Saya tahu bahwa hal itu benar-benar menjadi
bersifat seksual bila saya melihat kedua orang tua saya melakukan hubungan
intim.
Sekarang
saya menyadari bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang baik untuk disaksikan Hal
ini terlalu bebas / terbuka dan tidak seharusnya disaksikan oleh anak berusia
tujuh atau delapan tahun. Dalam kenyataannya, saya rasa Anda dapat menyebutnya
sebagai suatu bentuk pelecehan seksual.
Saya
juga sangat terpesona oleh sosok tubuh maskulin ayah saya. Bulu-bulu pada
tubuhnya dan penampilannya yang gagah merupakan sesuatu yang ingin saya
ketahui. Saya dapat mengingatnya seperti ini sejak saya masih sangat muda.
Mungkin rasa tertarik yang kuat terhadap sifat-sifat prianya ini disebabkan
oleh fakta bahwa saya merasa sangat tidak mirip dengannya. Saya lebih sering dikaitkan
dan berada bersama dengan ibu dan kakak-kakak perempuan saya. Saya kira saya
benar-benar rindu untuk menjadi seperti
ayah saya, anda saja ia memberi saya kesempatan untuk sedikit lebih dekat
dengannya dan mengidentifikasikan diri dengannya. Sebaliknya saya selalu berada
dekat ibu saya dan kakak-kakak saya dan tetap jauh dari ayah saya.
Suatu
kali, saya kira hal ini terjadi ketika saya berusia sekitar delapan tahun, ayah
saya membawa saya menonton pasar malam. Saya heran, bagaimana cara ibu saya
dapat menyuruhnya melakukan hal ini? Saya ingat betapa tidak menyenangkannya
saat itu. Saat saya seolah-olah sedang bersama seorang asing, karena ia memang
asing bagi saya. Saya pikir saya merasa takut berada bersamanya karena
tampaknya ia tidak peka terhadap kebutuhan-kebutuhan saya sebagaimana halnya
ibu dan kakak-kakak perepuan sayam Mereka selalu mencari saya dan meladeni
saya.
Saya
selalu merasa seolah-olah saya adalah pengganggu baginya. Ia memperlakukan saya
seakan-akan saya mengganggunya. Ia memperlakukan saya seolah-olah saya menjadi
tanggung jawabnya yang tak terhindarkan. Yah, bagaimana pun , ketika kami
berada di pasar malam, saya terdorong untuk pergi ke kamar mandi. Mungkin
sekedar berada bersamanya, membuat saya ingin kencing karena takut.
Bagaimanapun juga saya mengemukakan hal ini kepadanya beberapa kali. Seperti
biasanya, ia tidak menghiraukan saya. Akhirnya, saya tidak dapat menahannya
lagi dan saya mengompol. Ketika ia mengetahui hal ini, ia menjadi marah dan
mulai menghina saya.
Insiden
tersebut begitu jelas dalam ingatan sehingga saya yakin bahwa ini merupakan
kejadian yang paling penting atau tipe kejadian yang simbolik yang mempengaruhi
perasaan kebingungan akan identitas kelamin saya. Hal tersebut membuat saya
membecinya dan merasa sangat takut terhadapnya. Sesudah kejadian tersebut, saya
menolak untuk pergi bersamanya ataupun melakukan sesuatu bersamanya lagi. Saya
benar-benar dapat merasakan kebencian dan kekecewaan saya terhadapnya. Saya
pikir saya berkata kepada diri saya sendiri bahwa saya tidak akan pernah
menyukainya lagi. Saya pikir saya hampir dapat merasakan terbentuknya tembok
pemisah di antara kami sejak saat itu. Insiden yang keras ini membuat saya
merasa bahwa ayah saya (dan setiap pria) harus ditakuti, dan ia (setiap pria)
bersifat kejam, tidak peka, suka melukai, dan jahat. Saya tidak lagi
mempercayainya (juga setiap pria) sejak saat itu. Saya yakin akan hal tersebut.
Daya Tarik
terhadap Sejenis
Karena
saya tidak mempunyai saudara laki-laki dan telah terbiasa berada bersama kaum
wanita, saya cenderung merasa lebih aman dan lebih nyaman berada bersama
gadis-gadis.
Gadis-gadis
tidak memiliki daya tarik seksual bagi saya. Entah bagaimana saya tidak dapat
berpikir mengenai anak-anak gadis dalam pengertian itu meskipun anak-anak
laki-laki berkomentar dengan nada tersebut tentang mereka. Agar memiliki daya
tarik seksual, anak-anak gadis harus merupakan misteri dan tidak saya kenal,
tetapi bagi saya tidaklah demikian halnya. Cukup lama saya tinggal bersama ibu
dan saudara-saudara perempuan saya sehingga mereka cukup saya kenal. Saya
merasa seakan-akan mengidentifikasikan diri dengan mereka dan merupakan salah
satu dari mereka meskipun sepenuhnya menyadari bahwa saya adalah seorang anak
laki-laki.
Di
pihak lain, anak-anak laki-laki merupakan misteri bagi saya. Saya tidak mengenal
anak-anak laki-laki. Saya tidak merasa betah berada bersama mereka, oleh
karenanya mereka menjadi sasaran perhatian yang sangat kuat bagi saya. Sampai
tahap ini anak-anak laki-laki belum memiliki daya tarik seksual bagi saya.
Tetapi saya hanya merasa jauh dari mereka dan saya sangat ingin menjadi bagian
dari mereka. Mereka sangat menarik bagi saya.
Tentu
saja, bila saya melihat seorang anak laki-laki tanpa busana di ruang tempat
berganti pakaian, saya akan merasa tertarik secara aneh dan ada rasa ingin tahu
tentang dirinya secara seksual. Saya tidak ingin merasa tidak dapat berbuat
banyak mengenai hal tersebut. Saya merasa sangat sukar untuk mengalihkan
pandangan mata saya dari seorang anak laki-laki dalam keadaan tanpa busana dan
kemudian saya menemukan diri saya berulang-ulang memikirkan apa yang telah saya
lihat. Hal ini benar-benar membuat saya malu ketika saya menyadari bahwa saya
mengalami ereksi dalam keadaan-keadaan ini dan dengan cepat saya belajar untuk
menghindari ruang tempat berganti pakaian.
Anak
laki-laki lainnya juga memberikan perlakuan yang berbeda kepada saya. Saya
rasa, saya tidak begitu menguasai bidang olahraga; saya memiliki kemampuan,
tetapi tidak mempunyai kepercayaan diri Bila anak-anak laki-laki lainnya
menyumpah-nyumpah secara agresif karena
kekeliruan-kekeliruan mereka, saya akan menjadi sangat bingung dan merasa
terkalahkan secara emosional. Sebaliknya saya berhasil baik dalam pelajaran
sekolah. Semua guru saya menyukai saya. Kekaguman guru-guru saya membuat saya
tidak popular di antara kelompok anak-anak laki-laki sebaya saya dan mendesak
saya untuk lebih jauh mengidentifikasikan dengan gadis-gadis teman sekelas yang
juga berprestasi dalam pelajaran-pelajaran sekolah.
Saya
mempunyai seorang teman laki-laki yang cukup dekat dengan saya. Saya ingat
betapa senang rasanya mempunyai seseorang yang benar-benar ingin berada bersama
saya. Rasanya begitu luar biasa ketika ia menelpon saya dan mengajak saya pergi
ke suatu tempat bersamanya atau berkunjung dengannya. Ia memperlihatkankepada
saya koleksi pornografi milik ayahnya, yang terdiri dari berbagai buku kartun,
kartu permainan dan majalah. Ini merupakan rahasia kami berdua. Kemudian ia
bercerita kepada saya mengenai masturbasi. Suatu kali kami membandingkan penis
kami. Ia merasa malu dengan ukurannya kecil. Suatu kali ketika kami sedang
bergulat saya mengalami ereksi dan ia mengetahui hal itu. Saya pikir setelah
itu ia menjadi agak takut terhadap saya
dan reaksinya sendiri. Kejadian-kejadian ini adalah sebagian dari gejolak-gejolak
awal homoseksualitas dalam diri saya.
Karena
saya berwajah lumayan, saya cukup popular di antara gadis-gadis.
Saudara-saudara perempuan saya beranggapan bahwa saya cukup tampan dan sangat
menyukai saya. Saya pergi ke beberapa pesta dan kami berciuman dan berpelukan
dan rasanya luar biasa. Untuk semenara hal ini meredakan keraguan saya mengenai
kejantanan. Bahkan, saya merasa sedemikian nyaman dengan perasaan-perasaan yang
menyenangkan tersebut sehingga saya menjadi terikat secara emosional dengan seorang
gadis Orang tuanya beranggapan bahwa kami masih terlalu muda untuk hal ini dan
menyuruh kami untuk memutuskan hubungan ini.
Daya Tarik
Seksual
Saya
berusaha keras untuk menyembunyikan perasaan-perasaan homoseksual yang timbul
dalam diri saya. Saya menarik diri dan menjaga jarak, saya jarang sekali
mengalami saat-saat tertawa lepas dan spontanitas karena saya melihat diri saya
begitu dikuasai oleh orientasi yang tidak dapat saya terima ini. Saya mulai
melakukan masturbasi dengan khayalan-khayalan dan bayangan-bayangan
homoseksual. Saya mengumpulkan gambar-gambar porno heteroseksual meskipun sebenarnya kaum prialah yang menarik
bagi saya dalam gambar-gambar itu. Mengumpulkan pornografi “homo” berarti
memaksa diri saya mengaku sebagai seorang “homo”
Suatu
saat, kelab bahasa Perancis di SMU saya mengadakan perjalanan ke Kanada, dengan
tujuan agar kami dapat memasuki lingkungan bersuasana Perancis dan melatih
penggunaan bahasa Perancis kami. Saat itu merupakan kali pertama saya tinggal
sekamar dengan pria lain. Pemuda yang tinggal sekamar dengan saya ialah
seseorang yang telah bercerita kepada saya baha ia menduga dirinya adalah
seorang homo beberapa bulan sebelumnya. Saya kira kami berdua merasa saling
tertarik karena kami dapat membina suatu ikatan berdasarkan fakta bahwa kami
sama-sama mengaku memiliki perasaan-perasaan homoseksual. Barangkali kami
berdua berangan-angan untuk tinggal bersama sekamar dalam perjalanan ini, dan
ketika kami diberi kesempatan untuk memilih teman sekamar, kami sepakat untuk tinggal
sekamar.
Pada
malam-malam kami berada di Kanada, kami “melakukan eksperimen” dalam arti
seksual. Kami naik ke tempat tidur , berpelukan, berciuman sebentar dan
melakukan masturbasi bersama. Hanya sebatas itu, tetapi itu merupakan
pengalaman homoseksual pertama bagi kami, dan rasanya begitu menyenangkan,
melegakan, dan sekaligus menakutkan. Menakutkan bagi saya, karena seperti saya
katakana sebelumnya, saya sebenarnya tidak ingin menyatakan diri sebagai
seorang homo. Selama dua tahun berikutnya pemuda ini dan saya tetap berhubungan
seksual delapan atau sepuluh kali setelah itu.
Sekitar
waktu tersebut keluarga saya mulai aktif terlibat dalam kegiatan sebuah gereja
yang injili dan kami selalu pergi ke gereja. Ayah saya memperlihatkan perubahan-perubahan
yang menyenangkan terhadap ibu saya dan saya, sebagai hasil pengalaman
kelahiran barunya. Ia menjadi lebih ramah , lebih terbuka, dan lebih banyak
bicara. Ia menyediakan lebih banyak waktu untuk keluarga. Kedua kakak perempuan
saya tidak lagi tinggal serumah pada saat itu. Di gereja saya mendengar
beberapa kali disinggung mengenai dosa homoseksual, tetapi tidak ada seorang
pun yang pernah menyarankan bahwa Anda dapat berbuat sesuatu mengenai hal
tersebut. Pembicaraan-pembicaraan itu umumnya merupakan pemberitaan yang
bersifat mengutuk.
Menjelang
akhir tahun pelajaran saya di SMU, kelompok pemuda di gereja kami pergi ke kota
lain untuk mengikuti “reli”” kaum mudah wilayah. Ada seorang pembicara
konferensi yang hadir di sana memberikan suatu kesaksian yang menggugah
mengenai dirinya sebagai mantan homoseksual. Ia benar-benar menyita perhatian
saya, meskipn saya tidak membiarkan seorang pun mengetahui bahwa saya memiliki
alasan tersendiri mengenai hal ini. Ia menanamkan pikiran dan keinginan yang
berasal ari Roh Kudus bahwa saya harus dan dapat berbuat sesuatu untuk mengubah
homoseksual saya.
Ia
mengundang orang-orang untuk datang dan berbicara secara pribadi dengannya dan
dengan cara yang tidak menarik perhatian orang. Meskipun saya sangat gugup
untuk berbicara dengannya, saya merasakan dorongan Roh Kudus untuk melakuakan
hal tersebut. Saya berbicara dengannya atau lebih tepatnya, saya lebih banyak
menangis selama hampir dua jam. Pada akhir percakapan , ia membimbing saya
dalam doa orang berdosa dan saya menyerahkan hidup saya dan masalah
homoseksualitas saya kepada Allah. Ia juga mengatakan bahwa ia akan mengirimkan
informasi mengenai organisasi pelayanan setempat yang akan mendukung saya dalam
mengatasi homoseksual.
Ketika
saya pulang ke rumah sesudah konferensi tersebut, saya merasa seolah-olah suatu
beban yaaang sangat berat sudah
terangkat. Selama tujuh atau delapan bulan berikutnya, tepat sampai akhir
semester pertama kuliah saya, dengan jujur saya dapat mengatakan bahwa saya
merasa benar-benar telah dibebaskan dari dorongan-dorongan dan daya tarik
homoseksual. Tetapi kemudian sebenarnya mulai lagi!
Penguatan
Perilaku Seksual
Setelah
pengalaman pertobatan saya di konperensi tersebut, saya menjadi aktif di gereja
dan dalam kegiatan persekutuan Kristen di kampus. Dalam persekutuan inilah saya
berjumpa dengan Carl. Usianya kurang lebih sebaya dengan saya dan ia sangat
tampan meskipun cenderung agak feminine. Tidak lama kemudian kami saling
berkenalan dan saling membuat pengakuan bahwa kami sedang bergumulu dengan “H”
besar, istilah yang kami dengar dipergunakan untuk masalah homoseksual.
Mula-mula
kami merasa senang dapat berbagi tentang masalah kami bersama. Kami sama-sama
bertekad kuat untuk mengatasinya karena kami adalah orang-orang Kristen.
Perlahan-lahan perjalanan kami dengan Tuhan mulai mengalami kemunduran dalam
saling ketergantungan emosional kami. Kami melewatkan banyak waktu bersama
dengan apa yang kami rasakan sebagai hubungan kasih yang sangat istimewa. Kami
tidak melakukan aktivitas seksual dan kami bahkan bepikir untuk mendirikan
suatu organisasi pelayaan Kristen di kampus, untuk para pemenang lainnya. Kami
membicarakannya dengan pendeta yang melayani kampus kami, dan kami mendapat
dukungannya.
Saya
kira kami mulai bersikap kurang hati-hati dan sembrono. Kami mulai mengadakan
percakapan –percakapan yang sangat sensitive dan emosional, yang selalu diakhir
dengan pelukan “persahabatn”. Suatu malam kami minum minuman keras selain
berbincang-bincang dan berakhir dengan keterlibatan kami berdua dalam kegiatan
seksual. Mula-mula kami hanya menganggapnya sebagai suatu kecelakaan yang tidak
akan terjadi lagi. Tetapi hal itu terulang kembali. Kami berdua menyadari bahwa
kami tengah berbuat dosa, tetapi kami seakan-akan terbius satu dengan yang lain. Hal itu berlangsung
selama satu semester penuh dan gangguan mengenai organisasi pelayanan tadi sama
sekali terlupakan.
Pada
tahun kedua dalam masa perkuliahan kami Carl memutuskan untuk mengakhiri
hubungan kami karena ia sangat bersungguh-sungguh dalam hubungannya dengan
Tuhan dan ia ingin belajar di Sekolah Alkitab. Pada saat itu saya sangat
terikat secara emosional dengan Carl
sehingga ketika ia mengemukakan keinginan untuk mengakhiri hubungannya dengan
saya, saya mengalami depresi selama berminggu-minggu Hampir saja saya
dikeluarkan dari perguruan tinggi karena kegagalan saya.
Saya
juga mulai sangat membenci diri saya sendiri dan sangat marah terhadap Allah
karena Ia memilih Carl dan bukan saya, dank arena Ia membiarkan saya mengalami
kegagalan. Saya mulai mengunjungi bar-bar dalam pertentangan dan kemarahan,
sesuatu yang sama sekali bukan sifat saya. Hal ini hanya membuat saya semakin membenci diri saya dan
memperdalam depresi saya. Akhirnya dua kali saya mencoba bunuh diri tahun itu,
yang terakhir lebih fatal dari yang pertama kali.
Karena
usaha-usaha bunuh diri tersebut, pendeta di kampus saya memperkenalkan saya
dengan seorang konselor Kristen. Puji Tuhan! Inilah awal dari pertolongan yang
sangat penting yang saya perlukan. Seseorang pernah mengatakan,”Allah tidak
akan membiarkan kita tersesat, Allah tidak akan membiarkan kita pergi, Allah
tidak akan membiarkan kita jatuh.” Sekali lagi saya mulai merasakan
kehadiranNya dengan nyata.
Identitas
sebagai Homoseks
Setelah
usaha-usaha saya untuk bunuh diri, saya memulai konseling dengan seorang
konselor Kristen. Saya bertemu dengannya secara teratur sampai akhir masa
kuliah. Konseling ini benar-benar menolong saya untuk menguasai diri secara
emosional, psikologis dan rohani.
Saya
llus sebagai guru pendidikan bahasa dan sekarang mengajar di SMU. Saya merasa
bahwa pekerjaan saya memuaskan. Konseling telah membantu saya untuk melihat
bahwa mengatasi homoseksualitas berkaitan juga dengan memantapkan suatu
karier yang memuaskan, memperbaiki hubungan saya dengan orang tua saya, turut
terlibat dalam kegiatan gereja saya, dan
membina suatu jaringan teman-teman pria dan wanita Kristen pendukung
bagi para pemenang. Kesemuanya ini secara bersama-sama telah menolong saya
untuk melakukan pekerjaan dalam batin maupun lahiriah yang diperlukan untuk
membantu mengatasi homoseksualitas. Saya telah menyaksikan perubahan-perubahan
luar biasa dalam diri saya sebagai hasil dari cara Roh Kudus bekerja melalui
konselor saya, persekutuan di gereja saya, dan organisasi pelayanan pendukung.
Saya merasakan kesembuhan yang lebih daripada yang pernah saya rasakan. Saya
tahu bahwa ada banyak hal lain yang masih harus dilakukan, tetapi saya
bersyukur kepada Allah untuk APA yang telah dikerjakanNya.
Meskipun
sudah lebih dari tiga tahun saya tidak terlibat secara seksual dengan siapa
pun, saya masih menghadapi godaan-godaan dan daya tarik. Saya benar-benar
merasa bahwa saya telah dapat mengendalikannya, pada umumnya hal tersebut tidak
menjadi pertentangan besar. Saya merasa jauh lebih utuh secara emosional.
Belum
lama ini saya bercerita kepada kakak perempuan sulung saya mengenai pergumulan
ini. Kami sempat beberapa kali berbincang-bincang dengan sangat menyenangkan.
Saya juga melewatkan saat-saat yang benar-benar berarti dengan ayah saya dan
saya dapat benar-benar memahami apa yang telah terjadi dalam kehidupannya. Saya
sama sekali tidak menceritakan tentang homoseksualitas saya kepada kedua orang
tua saya. Saya rasa saya masih belum siap untuk itu.
Saya
mulai berkencan dengan seorang wanita Kristen yang baik dan baru-baru ini saya
bercerita kepadanya mengenai masa lalu saya. Ia begitu penuh pengertian dan mau
menerima diri saya serta ingin mengetahui lebih jauh mengenai hal tersebut.
Saya menyadari bahwa saya hanya menerka-nerka saja dalam hubungan ini dan harus
berusaha untuk mempelajari kembali bagaimana caranya membina hubungan yang
bersifat heterososial. Saya menghadapi masalah dalam keakraban dan keintiman
emosional dengannya, tetapi kami tengah membinanya.
Saya
menjadi semakin dekat dengan Allah dan saya tidak dapat melewatkan satu hari
tanpa berbicara denganNya dan berbicara mengenai diriNya dengan cara yang nyata
dan bersifat pribadi. Bila saya tidak berhasil melewatkan waktu bersamaNya
untuk beberapa hari saja, saya merasa seolah-olah kehilangan salah seorang
teman baik saya. Saya memuji Dia karena Ia terus-menerus membuat saya “yakin
sepenuhnya, yaitu Dia, yang memulai pekerjaan baik di antara kamu, akan
meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Yesus Kristus.” (Flp 1:6)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home