Tidak Lagi Homo : Kesaksian David
Dr William Consiglio
Strategi-Strategi Praktis bagi Orang Kristen untuk
Mengatasi Homoseksualitas
Asal Mulanya
Saya dilahirkan di New Jersey pada tahun 1951. Kedua
orang tua saya pindah ke lingkungan itu ketika melarikan diri sesudah
perang usai ke daerah pinggiran kota.
Ayah saya tinggal di kota sejak berusia dua tahun. Kakek saya, hasil didikan
keluarga New England zaman dahulu, dipindahkan oleh perusahaannya dari Boston
ke New York. Istrinya, nenek saya, juga berasal dari lingkungan keluarga yang
mapan di New England. Ayah saya adalah anak tunggal, dilahirkan setelah sepuluh
tahun pernikahan. Ia selalu membanggakan diri sebagai “anak ayah yang bebas
wajib militer” pada masa Perang Dunia I. Amerika Serika memang terlibat dalam
perang pada bulan April 1917, tetapi pria-pria yang telah menikah dan mempunyai
anak dibebaskan dari wajib militer. Namun saya percaya akan adanya kebenaran
dalam lelucon ayah saya. Saya mengenal kakek saya, dan beliau adalah seorang
pria yang keras, teguh dan pantang menyerah. Ayah sangat ingin sekali belajar
jurnalistik dan komunikasi ketika ia lulus dari SMU pada tahun 1935. Masa
Depresi tidak mempengaruhi keadaan keluarganya dan uang tidak menjadi masalah,
tetapi kakek memaksa ayah untuk belajar di sebuah universitas bergengsi dan
menekuni bisnis seperti yang telah dilakukannya. Alasannya ialah karena radio,
yang ingin dipelajari ayah saya, hanyalah merupakan “mode semusim” dan suatu
angan-angan yang sia-sia. Betapa ironisnya ketika pada tahun 1950, radio
menjadi dua kali llipat ruang lingkupnya dan daya jangkaunya dengan
ditemukannya televise.
Ayah
berhenti kuliah, pergi ke medan perang, menikah dengan gadis tetangga, dan
mencari nafkah dengan menjadi sopir truk. Ia memiliki otak yang cemerlang dan
tajam, dan sekalipun beliau tidak pernah mengungkapkan perasaannya, saya yakin
bahwa dalam dirinya selalu ada penyesalan karena tidak diizinkan mewujudkan
cita-citanya dalam bidang radio. Enam bulan setelah ibu saya pindah ke jalan
yang sama di pinggiran kota itu, ayahnya meninggal karena serangan jantung.
Beliau berumur empat puluh tiga tahun. Kematiannya menjadi pusat dalam
kehidupan ibu saya, dan sampai hari ini ibu tidak dapat mengatasi perasaan
kehilangan karena kematiannya. Ibu diberi tanggung jawab mengurus rumah serta
seorang adik laki-laki yang suka memberontak, sementara nenek mendapatkan
pekerjaan sebagai sekretaris di New York. Tanpa adanya pengawasan seorang ayah,
adik laki-lakinya harus dimasukkan ke Sekolah Dasar swasta di mana ia
memperoleh pengawasan yang baik. Ia dan ibu saya tidak pernah saling
berhubungan sejak tahun 1965.
Pada
tahun 1946, ayah menikahi ibu dan tinggal bersama ibu dan Bill, adiknya. Paman
saya menikah pada tahun 1950 dan pindah dari rumah itu. Nenek saya tinggal
di panti jompo sejak tahun 1978 sampai
meninggalnya tahun 1985.
AKIBAT-AKIBAT
SUATU OPERASI
Kurang
lebih enam bulan setelah kelahiran saya, bagian kanan kepala saya mulai
membengkak. Pemeriksaan lebih jauh menunjukkan adanya hidrosefalus, yaitu penimbunan
cairan dalam rongga tengkorak. Usaha untuk menghilangkan tekanan akibat cairan
tersebut dilakukan lewat operasi. Saya beruntung, karena tidak seperti beberapa
anak lain yang memerlukan beberapa kali operasi guna mengkoreksi keadaan
tersebut, saya hanya memerlukan satu kali operasi. Namun demikian, ada dua dari
akibat operasi itu berdampak panjang. Satu akibat segera tampak, dan yang lain
tidak timbul sampai dua puluh tahun kemudian. Akbiat langsung dari operasi
tersebut ialah kelumpuhan total pada bagian tubuh sebelah kiri. Keadaan ini
membuat saya harus menggunakan penyangga kaki dan latihan terapi fisik setiap
hari sampai saya berusia dua belas tahun. Sekarang, kaki kiri saya masih
timpang ringan, tetapi tidak ada gangguan lain yang nyata.
Anak-anak
laki-laki , karena memang laki-laki, tidak dapat menerima teman sebaya yang
gerakannya terhambat oleh penyangga kaki. Saya sangat canggung dengan penyangga
kaki itu dan anak-anak lain mengetahui hal tersebut. Pada suatu titik di mana
saya berusaha menjangkau anak-anak lain yang sebaya saya, saya harus menghadapi
ejekan dan olok-olok yang telah menjadi acara harian. Sering, saya dipukuli,
dalam suatu kesempatan saya ditempatkan pada posisi yang berbahaya darimana
saya tidak dapat melepaskan diri. Sering, saya pulang dengan berlinang air
mata, kemudian dihibur oleh ibu saya dan didorong untuk melakukan acara terapi
fisik harian. Betapa bencinya saya kepada penyangga kaki dan semua yang
berhubungan dengan hal itu. Ibu mencoba memberi pengertian kepada para orang
tua tetangga kami, tetapi tidak ada hasilnya.
Secara
berkala, saya harus mengunjungi seorang dokter ahli bedah ortopedi di New York
untuk pemeriksaan. Perjalanan-perjalanan yang mengerikan ini tidaklah lengkap
tanpa kunjungan-kunjungan wajib ke Bloomingdale’s, Saks dan Gimbel.
Kunjungan-kunjungan ini, saya kira adalah hadiah dari ibu saya, tetapi bagi
saya sebenarnya hanya memperpanjang penderitaan untuk mendengarkan betapa
pentingnya melaksanakan terapi fisik harian bagi saya, meskipun kelak akan tetap
ada ketimpangan yang tersisa. Saya tidak ingat bahwa ayah pernah turut pergi
bersama kami ke New York. Saya tidak ingat bahwa ayah hadir ketika saya
melakukan terapi fisik harian. Saya tidak ingat satu kali pun ayah menengahi
bila saya mengalami hari yang tidak menyenangkan di jalanan dengan anak-anak
lain.
PELAJAR YANG
SEMPURNA
Karena
tidak berhasil dalam usaha saya agar diterima oleh anak-anak laki-laki di
lingkungan saya, saya mencurahkan tenaga saya untuk mencapai prestasi akademis.
Dan betapa berhasil saya! Dengan perkecualian kesenian dan pendidikan jasmani ,
saya selalu menjadi bintang kelas sejak kelas satu SD. Sebagian besar rasa
ingin tahu saya yang tidak terpuaskan itu mendapat dorongan dari ibu saya, yang
tidak hanya membacakan dongeng-dongeng tradisional, tetapi juga
berbincang-bincang dengan saya mengenai seni, politik, dan masalah-masalah yang
sedang hangat dibicarakan. Kami duduk bersama-sama dan membalik halaman demi
halaman majalah Life. Ia menceritakan kisah-kisah yanag menarik mengenai
Presiden Eisenhower dan Senator Mc Carthy, dan masalah-masalah di Eropa Timur.
Tahun
demi tahun, saya mempesonakan orang-orang dengan prestasi sekolah saya,
mendapat pujian dari para guru saya, dikagumi oleh kedua orang tua saya dan
nenek, dan dibenci oleh teman-teman sebaya. Saya bertekad untuk menjadi
sempurna! Di SMP, saya kadang-kadang dihukum bersama-sama dengan teman-teman
lainnya, meskipun saya sama sekali tidak bersalah. Bila hukuman bersama ini
dijatuhkan, baik ibu maupun ayah saya tidak menengahi untuk membela saya. Di
SMU, saya terus mengejar keinginan saya untuk menjadi sempurna. Saya terpilih
sebagai pembawa pidato perpisahan di kelas, memiliki serangkaian kegiatan
pelajar – organisasi pelayanan, organisasi pelajar, ketua penyunting buku tahunan,
bahkan juga surat penghargaan sebagai pengelola regu kejaraan di kabupaten.
Di
kamar ganti, setelah mata pelajaran olahraga, saya mengalami perasaan tertarik
kepada pria untuk pertama kalinya, sekaligus merasa jijik ketika menyadari
bahwa ada sesuatu dalam diri saya yang sangat menyimpang. Pemain-pemain rugbi
memiliki perut yang kencang, kaki-kaki yang kuat, dan dada yang bidang. Para
pelari lintas alam dan pemain basket bertubuh langsing dan ramping. Mereka
memiliki bulu-bulu pada tubuhnya, yang tidak saya miliki. Di pihak lain, saya
berperawakan kacau! Tubuh saya tidak terkoordinasi, kaku dan terlalu gemuk.
Ketiadaan bulu dan tubuh yang tidak sempurna ini semakin menjauhkan saya dari
mereka.
Bulu-bulu
tubuh saya mulai tumbuh, namun saya justru merasa terpukul olehnya.
Kekurangan-kekurangan jasmaniah ini menyebabkan saya mengembangkan apa yang
kelak menjadi karakter saya pada masa dewasa. Saya suka pamer dan kasar. Saya
akan berbuat apa saja untuk memancing tawa. Sebagian besar sosok tubuh saya cenderung
feminine, dan sebagian besar lelucon itu memperolokkan kekurangcakapan saya
dalam cabang olahraga. Saya mendapat julukan “Si Penakluk” dan menjadi mascot
anak-anak laki-laki yang dihormati dan dikagumi.
Saya mengalami satu kali kencan homoseksual di SMU.
Suatu hari, seorang anak laki-laki yang sangat feminine bernama Dennis membujuk
saya untuk menanggalkan pakaian saya di kamar tidurnya. Kami saling melakukan
masturbasi hingga mencapai klimaks. Sekalipun saya sangat terpesona, saya
bersumpah tidak mengulangi perbuatan yang sangat menjijikkan itu lagi.
KEBANGKITAN
DI PERGURUAN TINGGI
Saya
lulus dari SMU tahun 1969 dan bersiap memasuki sebuah perguruan tinggi
bergengsi di Pennsylvania TImur. Secara akademis persiapan saya cukup baik
untuk perkuliahan di akademi, tetapi secara sosial saya adalah orang buangan.
Saya lulus dalam kelompok 15% terbaik di kelas saya dan memenangkan hadiah
penghargaan terbaik untuk mata pelajaran ekonomi.
Saya
sangat menginginkan untuk dapat terlibat dalam himpunan mahasiswa, tetapi
dengan mudah saya kembali pada peran di SMU sebagai badut dan pelawak. Saya
menjadi bahan tertawaan dan menarik perhatian, tetapi tidak memperoleh
penghargaan dan kekaguman. Akhirnya saya diterima dalam himpunan tersebut dan
dengan cepat mengambil alih tugas-tugas administrative yang memberikan sedikit
rasa aman pada saya. Namun keakraban dan persahabatan dengan sesame rekan
mahasiswa dalam himpunan itu tidak saya rasakan.
Tahun-tahun
di perguruan tinggi ini semakin memperbesar keraguan mengenai seksualitas saya.
Dua kali saya dihampiri oleh pria, untuk diajak berbuat tidak senonoh, tetapi
saya tidak pernah menurutinya. Saya menjadi marah dan terpesona oleh pria-pria
yang gagah-tampan seperti para dewa, ingin berada bersama mereka, ingin memuaskan
mereka secara seksual, bahkan sekedar menyentuh mereka, namun saya merasa takut
terhadap kenyataan - bahwa saya tidak
dapat memberikan tanggapan yang tepat terhadap kaum wanita.
Semua
tampaknya tidak menentu. Firman Allah memberikan penekanan yang tegas mengenai
masalah homoseksualitas – dan selama saya berpantang melakukan hubungan intim –
saya bukan homo. Tetapi perasaan-perasaan itu begitu tidak terlukiskan dan
sangat kuat. Saya ingin dipuaskan. Saya berdua untuk meminta seorang wanita
sebagai pendamping untuk “menyembuhkan” saya, tetapi perasaan-perasaan tentang
diri saya begitu tidak menentu, sehingga tidak dapat berhubungan dengan kaum
wanita dengan cara yang paling minim sekalipun, apa lagi berhubungan dalam arti
seksual. Allah mulai menjauh, atau lebih tepat lagi, saya mulai menjauh dari
Allah.
PERLAHAN-LAHAN
MENAMPAKKAN DRI
Setelah
menyelesaikan kuliah saya pindah ke sebuah kota di Connecticut, bekerja pada
sebuah perusahaan mesin selama tiga tahun, dan merasa sangat sendiri dan
kesepian pada sebagian besar masa itu. Saya mulai minum minuman keras dan
bertanya-tanya, apa yang salah dengan saya. Kira-kira menjelang hari ulang
tahun saya yang ketiga puluh, saya mulai sedikit menampakkan diri. Saya mulai
sering mendatangi toko yang menjual buku-buku untuk orang dewasa dan membeli
majalah-majalah pornografi yang paling blak-blakan. Saya mulai terang-terangan
membolak-balik bahan bacaan homo dan menonton film-film homo dalam bilik-bilik
penyewaan video.
Pada
tahun 1983, saya berhenti dari perusahaan itu dan membuka usaha sendiri setelah
berhasil lulus ujian yang paling berat untuk mendapatkan sertifikat sebagai
akuntan professional (CPA = Certified Public Accountant – Akuntan Publik
Berijazah) yang kedua kalinya. Dengan ber bekal gelar MBA dan CPA, saya mulai
memperoleh banyak klien. Saya berada dalam daur kegembiraan dan keputusasaan.
Masa-masa pengurusan pajak merupakan saat-saat yang menyenangkan. Saya bekerja
keras, dan mendapat pujian bila klien-klien saya memperoleh restitusi pajak yang cukup besar,
dan merasa diri saya dalam keadaan cukup baik, kata saya kepada diri sendiri.
Kebiasaan
minum dan fantasi homoseksual menjadi lebih kuat. Berat badan saya meningkat
dan saya berhenti berolahraga. Saya menjadi lalai dalam janji-janji saya dengan
para klien, tidak mempedulikan penampilan saya dan keadaan rumah saya,
kehidupan fantasi saya menjadi tidak terpuaskan, dan saya betul-betul
memikirkan mengenai rencana bunuh diri. Saya mulai berhubungan melalui telepon
di mana kaum pria memperbincangkan obroaln kaum homoseks, dan melakuakn
masturbasi sambil menelepon. Saya menempuh perjalanan pertama saya ke
tempat-tempat parkir di mana kaum homoseks “berkencan” dengan pria-pria homo
lainnya, tetapi saya tidak berhubungan dengan mereka.
Saya
menjadi yakin dengan ucapan seorang aktivis homo yang mengatakan bahwa saya
dilahirkan sebagai homo dan tak ada satu hal pun yang dapat mengubahnya. Saya
memohon kepada Allah agar dibebaskan dari beban ini. Kehidupan saya berubah
menjadi angin puyuh depresi, kemarahan, kegeraman, kebingungan, dan kesepian
yang mencekam. Oh, betapa menyakitkannya kesepian itu! Minggu demi minggu saya
lewatkan hari-hari dari malam-malam dalam kesendirian. Ada saat-saat di mana
saya melewatkan tiga hari penuh tanpa mendengar suara manusia lain.
AKHIRNYA
TERANG-TERANGAN
Malam
tahun baru 1986. Malam tahun baru bukan lagi saat yang istimewa bagi saya.
Saat-saat itu hanya memperbesar kesepian dan keputusasaan yang saya rasakan.
Saya menyambut tahun 1987 di rumah pasangan suami-istri klien saya, bersama dua
atau tiga pasangan lainnya, beberapa wanita lajang, dan Bob. Saya berkenalan
dengan Bob melalui tuan rumah dan ia juga salah satu klien saya. Pesta itu
berakhir pukul 1 pagi dan saya pulang, sendirian dan dalam keadaan mabuk. Pada
pk 02.30 subuh, Bob menelepon saya dan menanyakan apakah saya mempunyai minuman
Scotch. Ketika saya menjawab ya, ia meminta saya membawanya ke rumahnya dan
kami dapat menonton video bersama. Dalam perjalanan menuju rumah Bob, saya
mempunyai keyakinan bahwa minum dan mengobrol bukan merupakan kegiatan utama
malam itu.
Saya
telah mengenal Bob selama tiga tahun. Saya bahwa ia pernah menikah, tetapi
tidak pernah berhubungan intim yang tetap. Juga dalam nada suaranya ada suatu
intensitas yang tidak dapat dipungkiri. Bobo menyambut saya di pintu dengan
hanya mengenakan pakaiaan mandi. Dalam waktu tiga puluh menit saya kehilangan
“keperawanan” saya. Nah, akhirnya saya terang-terangan! Saat itulah saya harus
mengakui bahwa saya adalah seorang homo.
MEMASUKI
KEHIDUPAN HOMO
Ketika
dinding penghalang dalam hubungan seksual telah tumbang, saya menjadi bebas
untuk memasuki kehidupan homoseksual. Saya tidak lagi dapat menyembunyikan diri
di balik kedok seolah saya adalah orang baik-baik. Bob menelpon saya pada
waktu-waktu tertentu. Biasanya ia menelepon saya tengah malam, dalam keadaan
mabuk atau di bawah pengaruh obat bius. Tugas saya adalah membawakan lebih
banyak minuman atau kokain sebagai imbalan pelayanan seksualnya. Secara
keseluruhan , itu adalah cara yang menyenangkan untuk melewatkan suatu malam
bersama, bukan?
KEMUDIAN
JIMMY
Saya
bertemu dengan Jimmy pada bulan April ketika sedang mencari teman kencan. Ia
masih muda, berkulit gelap, langsing, semua hal yang saya idolakan sebagai
kejantanan yang sempurna. Namun begitu, ia adalah seorang laki-laki yang
energik. Tetapi saya membiarkannya ikut
saya pulang ketika ia berkata bahwa ia memerlukan “sedikit uang” karena saya
merasa sangat kesepian dan sangat haus akan kasih sayang. Ini adalah awal dari
hubungan selama dua tahun. Hubungan kami mula-mula, dan juga sesudah itu,
bersifat pelacuran dan persahabatan. Ia dibayar untuk pelayanan seksual,
meskipun saya ingin meyakinkan diri bahwa ia adalah kekasih, pendamping, dan
teman saya. Kemudian saya tahu bahwa saya hanyalah satu dari sepuluh atau dua
belas klien yang dilayani secara teratur oleh Jimmy.
Mula-mula
keadaannya begitu menyenangkan. Saya membayarnya, dan begitulah jadinya. Ia
berkata kepada saya bahwa ia menyukai saya dan mendengarkan dengan penuh
perhatian bila saya menasihatinya untuk berhenti mempergunakan obat bius dan
mencari pekerjaan yang halal serta tempat tinggal yang layak. Setelah beberapa
bulan, saya menjadi penyelamatnya. Saya mendapatkan obat bius untuknya, dia
lebih sering menginap di tempat saya, dan ia mulai membersihkan rumah dan
menjadi pesuruh saya.
Dalam
masa itu, saya mulai menjauhkan diri dari teman-teman. Setiap kali sesudah
bertemu saya merasa depresi selama beberapa hari dan berjanji pada diri sendiri
untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Saya menjadi cepat marah, takut
tertangkap, cemas ketika berusaha mendapatkan obat-obat bius, dan saya mulai
minum sangat banyak pada musim dingin itu. Singkatnya, saya menjadi kacau balau
dan jorok. Saya mulai memikirkan untuk bunuh diri lagi.
BERPALING
KEMBALI KE RUMAH BAPA
Kadang-kadang
saya menjerit dalam kemarahan kepada Allah, “Saya tidak mengerti mengapa Engkau
menjadikan saya seorang homo dan membiarkan saya berada di neraka ini, tetapi
hentikanlah! Bila Engkau menghentikannya, saya akan percaya kembali kepadaMu.”
Kemudian, saya mulai merencanakan kecelakaan mobil yang akan mengakhiri hidup
saya. Di tengah kegelapan ini, ada secercah harapan. Ia adalah seorang wanita
Katolik, klien saya. Meskipun ia sedang mengalami masa-masa yang kesulitan
keuangan, Tara selalu memiliki pandangan yang positif dan tenang. Ada sebuah
gambar Kristus di dinding rumahnya dan sebuah Alkitab di mejanya, yang sering
diambil dan diacu.
Suatu
hari saya mulai berpikir dan berpikir keras. Firman Allah berkata begitu tegas
tentang menolong orang yang lemah, yang miskin , para janda, anak-anak yatim
piatu, yang sakit – smua keadaan yang ada di luar kendali orang itu sendiri.
Homoseksualitas tidak termasuk dalam kelompok itu. Bahkan, perilaku homoseksual
dengan jelas dikutuk dalam firman Allah. Saya mulai memikirkan hal ini sama
seperti bila saya mengerjakan suatu persoalan bisnis.
“Oleh
karenanya,” kata saya,”homoseksualitas adalah sebuah pilihan. Tuhan, karena
sifatNya yang murah hati, tidak akan menciptakan seseorang dengan sifat homo,
kemudian mengutuk sifat bawaan sejak lahir itu.” Saya terus mengutak-atik
masalah ini. “Kalau begitu, bila saya dilahirkan sebagai homo, firman Allah
akan menasihati orang Kristen untuk mengasihi, mentoleransi dan menerima mereka
yang menderita karena homoseksualitas. Jadi, saya tidak dilahirkan sebagai
homo, dan pastilah ada satu pemecahan, pastilah ada satu jalan ke luar.”
“Tuhan,”
doa saya, “Saya tidak mengerti tentang hal tetapi saya tidak ingin menjadi
homo. Saya tidak menginginkan gaya hidup ini. Namun ini bukan perbuatanMu.
Pastilah ada hal lain yang menyebabkan. Saya memohon kepadaMu, Tuhan,
tunjukanlah jalan ke luar itu kepada saya.”
TUHAN
MELIHAT HATI
Sepuluh
hari kemudian, ya, sepuluh hari kemudian, saya melihat sebuah iklan di Koran setempat.
Iklan itu berbunyi, “Homo dan orang Kristen?” Ada jalan ke luar dari
homoseksualitas. Hope Ministries.” Oh Tuhan! Itu dia! Ketika saya mengubah doa
saya dengan cara di atas, ternyata segera ada jawaban. Saya merasa curiga
terhadap pelayanan-pelayanan semacam ini. Ini pastilah sama sekali bukan
orang-orang Kristen. Mungkin ini hanyalah satu kedok dari pemerintahan Reagan
untuk menarik para homo dari tempat persembunyian mereka dengan tujuan untuk
melacak epidemi AIDS. Namun saya menulis surat juga kepada lembaga pelayanan
tersebut.
Saya
menerima telepon dari Jim, seorang pemimpin pelayanan itu. Ia memberi dorongan
dan berdoa bersama saya. Ia mengundang saya untuk menghadiri pertemuan yang
pertama kali untuk saya. Sayangnya, malam itu bersamaan dengan malam di mana
kelompok itu akan berjaga untuk salah seorang anggota mereka yang meninggal
karena AIDS.
Hari
jumat itu saya tiba di gereja empat puluh menit lebih awal dan mondar-mandir
dengan mobil, sambil mempertimbangkan dalam hati apakah saya akan masuk ke
pertemuan itu atau tidak. Akhirnya , saya masuk ke halaman parkir gereja dan
memarkir mobil saya di balik sebuah pohon besar, sehingga mobil saya tidak akan
kelihatan dari jalan. SIapa tahu! Orang-orang Reagan bersembunyi di seberang
jalan mengintai dengan foto jarak jauh.
Saya
masuk dan segera menyadari bahwa aya telah melupakan sesuatu : 10 miligram
Valium (sejenis obat penenang). Saya tahu saya akan pingsan. Di sinilah saya,
di antara sekelompok orang yang dulunya potensial untuk
Menjadi pasangan, dan saya akan keluar dari
perembunyian, meninggalkan gaya hidup ini, pada malam yang sama.
Kami
duduk dalam lingkaran, dan mulai menyanyikan puji-pujian , bukan puji-pujian
kuno cara Presbiterian, tetapi lagu-lagu pujian gaya kharismatik yang bersemangat.
Oh Tuhan! Mereka bertepuk tangan, kemudian menumpangkan tangan di kepala saya
dan menyatakan saya telah dilepaskan. Sedang apa saya di sini? Setelah dua
puluh menit saya berdiri dan berjalan menuju ke pintu. “Ngak bisa,” kata saya
dua kali, dan saya melenggang ke luar dengan sombong dengan gaya Bette Davis.”
BAPA, AKU
TIDAK LAYAK LAGI DISEBUT ANAK BAPA
Saya
gemetaran sepanjang perjalanan pulang, teteapi ketika mencapai setengah
perjalanan saya berkata kepada diri sendiri, “Kau harus kembali ke sana minggu
depan.” Dan suatu damai sejahtera yang melampaui segala akal akan memenuhi
saya. Firman Allah mengatakan, “Ketika ia masih jauh , ayahnya telah
melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.” (Luk 15:20).
PENGERTIAN
DATANG LEBIH DULU
Akhirnya
hari Jumat sore tiba. Saya tiba cukup dini agar saya dapat menyembunyikan mobil
di balik pohon lagi. “Tuhan,” doa saya, “Kuatkanlah saya sampai akhir pertemuan
ini, hanya itulah yang saya minta.” Saya bertahan sepanjang sore itu meskipun
belakangan Bill mengatakan, bahwa ia yakin saya tidak akan pernah kembali.
Tetapi puji Tuhan, saya merasa perlu mendengarkan apa yang disampaikan sore
itu. Allah menghendaki saya mendengar semua itu. Malam itu meyakinkan saya
bahwa Allah selalu melayani sesuai dengan kebutuhan kita. Ia menghargai dan
mengetahui sikap saya yang skeptic dan sinis. Ia juga memahami bahwa pikiran
saya sangat intelek dan penuh rasa ingin tahu. Ia tahu saya membutuhkan lebih
dari sekadar lagu-lagu yang menggugah semangat. Saya perlu mengerti lebih
dahulu.
Setelah
puji-pujian, Dr. Bill, direktur lembaga pelayanan itu, memberi pelajaran
mengenai perkembangaan masalah homoseksual. Pelajaran itu berisi deskripsi
akademis dan fakta-fakta mengenai bagaimana perasaan-perasaan homoseksual
timbul karena hbungan yang tidak memuaskan antara seorang anak laki-laki dengan
ayahnya dan / atau pria lainnya.
Saya
sangat senang. Alangkah baiknya jika saya membawa sebuah buku catatan, tetapi
saya menelan setiap perkataannya Dan pesan yang paling berharga yang perlu saya
dengar ialah, saya tidak dilahirkan dalam keadaan itu, sebab itu perubahan
dapat terjadi. Homoseksualitas tidak lain adalah gejala dari suatu kepribadian
yang terluka secara emosi, demikian menurut Dr. Bill.
Setelah
beberapa saat saya merasa seolah-olah saya adalah satu-satunya orang yang hadir
di ruangan itu dan Bill sedang berbicara kepada saya secara pribadi. Harga diri
yang rendahmengarah kepada kebingugan akan jenis kelamin, yang kemudiaan
mengarah kepada daya tarik seksual, penguatan dan identifikasi homoseksual.
Ketika
ia menjelaskan setiap tahap perkembangan, saya ingin berteriak,”Ya! Ya!” karena
saya dapat mengidentifikasikan perasaan-perasaan dalam setiap tahap yang tengah
dijelaskannya. Kemudian ia mengatakan satu hal yang memperteguh tekad saya.
Ucapan itu bukan sengaja ditujukan kepada saya, tetapi saya yakin. Ucapan itu
bukan sengaja ditujukan kepada saya, tetapi saya yakin Allah membiarkan saya
mendengarnya dengan cara sedemikian rupa sehingga mendorong saya untuk
bertindak. Bill berkata bahwa sekali prilaku homoseksual telah tertanam karena
penguatan, maka setelah usia tiga puluh lima perubahan menjadi sangat sukar.
Alasannya ialah karena pada usia sekitar tiga puluh lima perubahan menjadi sangat sukar.
Alasannya ialah karena pada usia sekitar 35 tahun orangmulai memperkokoh dan
memantafaatkan sasaran-sasaran hidupnya dan identiitasnya selama sisa hidup
mereka.
TANDA-TANDA
DINI ADANYA PERUBAHAN
Dua
tanda yang segera tampak dari
berkat-berkat Allah ialah berakhirnya penggunaan alcohol, dan watak saya yang
kasar. Minggu demi minggu berlalu. Saya belajar; saya membaca; saya mempelajari
sebanyak yang saya mampu. Saya berdoa. Tetapi saya perhatikan bahwa pada waktu
saya dalam keadaan tegang berkepanjangan, atau tertekan , atau lelah, saya
masih tergoda. Dua kejatuhan terjadi. Salah satunya adalah pertemuan saya yang
terakhir dengan Jimmy. Pertemuan ini memakan biaya 100 dolar.
Saya
menelepon Bill. Ia mengajak saya mengkaji kembali apa yang telah terjadi. Saya
menjadi marah setelah mengalami kesulitan mengenai rekening makan malam dengan
dua orang pria lain dari lembaga pelayanan itu. Saya menjadi tertantang dan
mempergunakan cara pelampiasan seksual untuk mengurangi kecemasan saya. Bagian
emosi saya yang terluka , seperti yang
disebut oleh Bill, menjadi terangsang dan saya merasakan kompleks emosi yang
peka dan menyakitkan itu, yang meyebabkan saya merasa kosong dan kehilangan.
Inilah dinamika hal-hal yang terjadi sesaat sebelum kejatuhan saya.
PEKERJAAN
DALAM BATIN ITU SEMAKIN MERASUK
Kira-kira
saat itu saya memulai suatu ritrit. Tepatnya bukan berdoa seperti biasanya,
tetapi melakukan percakapan-percakapan dengan Allah. Beberapa malam dalam
seminggu, saya mengendarai mobil berkeliling. Saya berbicara dengan keras,
bercakap-cakap dengan pribadi kanak-kanak dalam diri saya, yang telah begitu
terluka. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tiga puluh tahun yang silam mulai
bermunculan dari tempat pemakaman batin saya dan menjadi jelas. Saya mengenang
kembali olokan-olokan yang saya terima dari anak-anak lain di tempat saya
tinggal. Saya melihat bagaimana saya telah menjadi sarana untuk memenuhi
kebutuhan ibu saya dalam usahanya menjadi orang tua yang baik. Saya melihat
dengan jelas bagaimana sikap diam ayah saya menyebabkan saya merasa ditolak dan
mengakibatkan terputusnya ikatan kasih di antara kami.
Salah
satu malam itu mengungkapkan suatu hal dengan jelas. Sementara saya
berkendaraan, pertanyaan itu terlompat begitu saja dari mulut saya, bahkan
sebelum saya menyadarinya. Hal itu terlontar dari pemakaman di bawah sadar
saya. “Ayah, ayah, mengapa, mengapa, mengapa tidak kaukatakan, tidak dapatkah
Ayah katakannya satu kali sajaa – bahwa Ayah menyayangi saya? Ketika saya
pulang berlumuran darah akibat ulah anak-anak tetanggi, tidakkah Ayah dapat
berkata bahwa Ayah bangga pada saya? Tidak dapatkah Ayah berkata bahwa Ayah
menerima saya? Mengapa,, Ayah, mengapa tidak sekalipun?” Kemarahan, perasaan
nyeri, kebutuhan akan kasihnya, perasaan duka; saya sedang mengalaminya kembali
saat itu
Saya
harus menghentikan mobil di tepi jalan. Saya menangis hampir satu jam lamanya.
Setiap perasaaan frustasi muncul ke permukaan dalam suatu kaleidoskop yang
menakutkan. “Ibu, apakah Ibu akan mengasihi saya sekalipun saya cacat? Dan,
demi Tuhan, mengapa Ibu tidak memberi dorongan sesuai dengan keadaan saya?
Mengapa Ibu bersikap sedemikian kaku sehingga saya tidak dapat menjadi diri
saya sendiri? Tidak dapatkah Ibu biarkan saya bebas?” Oh, hal itu begitu
menyakitkan bila dipikirkan dan dituliskan!
MENARIK
PERHATIAN
Orang-orang
mulai bertanya, apakah saya agak kurusan (saya orang yang gemuk), ketika saya
membeli baju baru, kacamata baru, mengecat rambut, atau bahkan mengunjungi
salon untuk mencoklatkan warna kulit. Ada sesuatu dalam diri saya yang menarik
perhatian orang.
Orang
sedang dijamu makan malam di rumah Bill dan Louise; dua orang teman luar biasa
yang diberikan Tuhan sebagai “teman-teman khusus” saya. Setelah beberapa jam
dan percakapan-percakapan biasa, Bill berbicara langsung pada sasarannya, “Oke,
apa yang tengah terjadi, David? Siapa nama gadis itu?” Saya menjawab,”Apa
maksudmu?” “Saya tidak tahu,” jawab Bill, “dalam tiga atau empat bulan
belakangan ini, kau tampak beda.”
Suatu
istilah yang luar biasa yang diucapkannya. Istilah hebat tentang apa yang sedang
saya rasakan. “Bukan, Bill,”kata saya,”bukan karena ada gadis baru dalam
kehidupan saya. Saya telah bergabung dengan sebuah kelompok pembinaan. Kau
tahu. Sebenarnya saya….. dulu adalah seorang homo, dan saya sedang berusaha
untuk membebaskan diri dari homoseksualitas.”
Keheningan
itu begitu mencekam. Saya ingin lari, mati, membuat lelucon, melakukan apa saja
untuk membuyarkan saat hening yang mengerikan itu. “Kami telah menduga bahwa
itulah keadaan sebenarnya,” kata Bill, “tetapi kami tidak merasa pasti. Kami
hanya ingin kau mengetahui bahwa hal itu tidak menjadi masalah bagi kami,
apakah kau seorang pria atau seorang homo.” Louise bangkit dari duduknya,
menghampiri dan memeluk saya,”Kau tahu kami mengasihimu, David, apa pun yang
terjadi.” Apa pun yang terjadi , kedua orang ini mengasihi saya dan menerima
saya. Tanpa ikatan. Tanpa syarat. Oh, andaikan mereka adalah ayah dan ibu saya.
KESEMBUHAN
ADALAH SUATU PROSES YANG MEMERLUKAN WAKTU
Pada
akhir tahun pertama pemulihan saya, saya menghadiri Konferensi Internasional
Exodus. Saya bertemu dengan beratus-ratus orang Kristen lain, pria dan wanita
mantan homo dalam berbagai tingkat pemulihan. Saya bertemu dengan orang-orang
yang berasal dari gaya hidup itu selama bertahun-tahun. Semuanya ini merupakan
penegasan bahwa proses yang sedang saya jalani bukanlah sekedar permainan atau
fantasi, melainkan suatu kenyataan. Kaum homo dapat dan memang berubah.
Saya
tidak akan pernah kembali kepada kehidupan saya yang dulu yang hampa, berdosa,
dan menghancurkan diri. Dalam peranan saya sebagai konselor dan guru di HOPE
Ministries, saya belajar dan bertumbuh setiap kali saya diminta untuk menolong
orang lain. Dua tahun sudah berlalu sejak saya pertama kali menghadiri
pertemuan HOPE. Masa ini merupakan masa yang penuh kepahitan hati, kemarahan,
kegeraman, depresi, ketakutan, dan kebingungan, yang mungkin tidak ingin saya
alami andai saj saya mengetahuinya lebih dahulu. Saya tengah bergerak melewati
tahap-tahap perubahan dan integrasi ini. Saya sedang mendekati saat-saat di mana terdapat penerimaan diri
yang lebih besar. Saat ini saya melihat kesempatan-kesempatan rohani yang
terbuka melalui pekerjaan yang saya tangani ini. Saya melihat dengan lebih
jelas campur tangan Tuhan dalam semua ini. Puji Tuhan, “Ia, yang memulai pekerjaan
yang baik,” tengah menyempurnakannya, dengan caraNya dan pada waktuNya.
Sekarang
perasaan-perasaan homoseksual hanyalah merupakan gangguan kecil. Kadang-kadang
saya tergelincir atau mengalami kemunduran, atau terjerumus ke dalam daur
pelepasan stress saya. Tentu saja, sekali-sekali saya bertemu dengan seorang
pria yang menarik perhatian saya. Sesekali hasrat atau nafsu berahi saya
bergejolak. Tetapi pikiran mengenai keterlibatan seksual dengan pria lain
sekarang hampir sama menjijikannya seperti untuk kaum pria heteroseksual pada
umumnya. Kedengarannya abnormal, bodoh, dan aneh. Perbuatan semacam itu adalah
kebohongan dan tipu daya, dan saya mampu memandangnya demikian.
Tentang
kaum wanita, saya belum mulai berkencan dengan mereka, namun saya menjadi
sangat genit di toko swalayan. Saya merasa aman untuk mengambil risiko sejauh
itu dengan kaum wanita. Rasanya saya sudah tidak sabar lagi untuk dapat
berkencan, tetapi saya akan menunggu waktu Tuhan untuk hal ini. Saya
menggambarkan keadaan diri saya dalam hal berkencan sebagai seorang yang
berusia tiga puluh delapan tahun dengan pandangan remaja enam belas tahunan.
Kesenjangan antara usia kronologis dengan usia emosional saya itu sednag
dipersempit dengan sangat cepat. Saya menyadari
bahwa berkencan bukanlah hal yang mudah bagi saya. Saya tahu saya
memiliki rsa takut dan penghlang terhadap kaum wanita yang harus saya atasi.
Pada waktuNya ! Pada waktuNya!
Kedua
orang tua saya juga mengalami kesembuhan. Mereka harus mengalami banyak
kesedihan serta perasaan bersalah, yanag saya tahu merupakan hal yang sukar
bagi mereka. Ibu saya mulai mengbah sikapnya dalam mengendalikan dan
memanipulasi diri saya, meskipun kadang-kadang ia masih melakukan
tindakan-tindakan yang menyebabkan saya merasa frustasi, putus asa dan marah.
Ayah saya menjadi lebih terbuka dalam menyatakan kasih sayangnya melalui
kata-kata dan tindakan.
Berat
badan saya berkurang sebanyak 17 ½ kg dan saya terus berolahraga di sarana
olahraga. Saya telah berhasil melwati ujian kesembuhan yang utama, yaitu
mengobrol dengan santai di ruang ganti dengan seorang pria tanpa busana sambil
tetap menjaga kontak mata. Tetapi, saya bersyukur kepada Allah, karena Allah
turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang
mengasih Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
Terima kasih, Tuhan Yesus, terima kasih!
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home