Tuesday, November 13, 2012

Tidak Lagi Homo : Kesaksian David

Dr William Consiglio
Strategi-Strategi Praktis bagi Orang Kristen untuk Mengatasi Homoseksualitas

Asal Mulanya
Saya dilahirkan di New Jersey pada tahun 1951. Kedua orang tua saya pindah ke lingkungan itu ketika melarikan diri sesudah perang  usai ke daerah pinggiran kota. Ayah saya tinggal di kota sejak berusia dua tahun. Kakek saya, hasil didikan keluarga New England zaman dahulu, dipindahkan oleh perusahaannya dari Boston ke New York. Istrinya, nenek saya, juga berasal dari lingkungan keluarga yang mapan di New England. Ayah saya adalah anak tunggal, dilahirkan setelah sepuluh tahun pernikahan. Ia selalu membanggakan diri sebagai “anak ayah yang bebas wajib militer” pada masa Perang Dunia I. Amerika Serika memang terlibat dalam perang pada bulan April 1917, tetapi pria-pria yang telah menikah dan mempunyai anak dibebaskan dari wajib militer. Namun saya percaya akan adanya kebenaran dalam lelucon ayah saya. Saya mengenal kakek saya, dan beliau adalah seorang pria yang keras, teguh dan pantang menyerah. Ayah sangat ingin sekali belajar jurnalistik dan komunikasi ketika ia lulus dari SMU pada tahun 1935. Masa Depresi tidak mempengaruhi keadaan keluarganya dan uang tidak menjadi masalah, tetapi kakek memaksa ayah untuk belajar di sebuah universitas bergengsi dan menekuni bisnis seperti yang telah dilakukannya. Alasannya ialah karena radio, yang ingin dipelajari ayah saya, hanyalah merupakan “mode semusim” dan suatu angan-angan yang sia-sia. Betapa ironisnya ketika pada tahun 1950, radio menjadi dua kali llipat ruang lingkupnya dan daya jangkaunya dengan ditemukannya televise.
                Ayah berhenti kuliah, pergi ke medan perang, menikah dengan gadis tetangga, dan mencari nafkah dengan menjadi sopir truk. Ia memiliki otak yang cemerlang dan tajam, dan sekalipun beliau tidak pernah mengungkapkan perasaannya, saya yakin bahwa dalam dirinya selalu ada penyesalan karena tidak diizinkan mewujudkan cita-citanya dalam bidang radio. Enam bulan setelah ibu saya pindah ke jalan yang sama di pinggiran kota itu, ayahnya meninggal karena serangan jantung. Beliau berumur empat puluh tiga tahun. Kematiannya menjadi pusat dalam kehidupan ibu saya, dan sampai hari ini ibu tidak dapat mengatasi perasaan kehilangan karena kematiannya. Ibu diberi tanggung jawab mengurus rumah serta seorang adik laki-laki yang suka memberontak, sementara nenek mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di New York. Tanpa adanya pengawasan seorang ayah, adik laki-lakinya harus dimasukkan ke Sekolah Dasar swasta di mana ia memperoleh pengawasan yang baik. Ia dan ibu saya tidak pernah saling berhubungan sejak tahun 1965.
                Pada tahun 1946, ayah menikahi ibu dan tinggal bersama ibu dan Bill, adiknya. Paman saya menikah pada tahun 1950 dan pindah dari rumah itu. Nenek saya tinggal di  panti jompo sejak tahun 1978 sampai meninggalnya tahun 1985.

AKIBAT-AKIBAT SUATU OPERASI
                Kurang lebih enam bulan setelah kelahiran saya, bagian kanan kepala saya mulai membengkak. Pemeriksaan lebih jauh menunjukkan adanya hidrosefalus, yaitu penimbunan cairan dalam rongga tengkorak. Usaha untuk menghilangkan tekanan akibat cairan tersebut dilakukan lewat operasi. Saya beruntung, karena tidak seperti beberapa anak lain yang memerlukan beberapa kali operasi guna mengkoreksi keadaan tersebut, saya hanya memerlukan satu kali operasi. Namun demikian, ada dua dari akibat operasi itu berdampak panjang. Satu akibat segera tampak, dan yang lain tidak timbul sampai dua puluh tahun kemudian. Akbiat langsung dari operasi tersebut ialah kelumpuhan total pada bagian tubuh sebelah kiri. Keadaan ini membuat saya harus menggunakan penyangga kaki dan latihan terapi fisik setiap hari sampai saya berusia dua belas tahun. Sekarang, kaki kiri saya masih timpang ringan, tetapi tidak ada gangguan lain yang nyata.
                Anak-anak laki-laki , karena memang laki-laki, tidak dapat menerima teman sebaya yang gerakannya terhambat oleh penyangga kaki. Saya sangat canggung dengan penyangga kaki itu dan anak-anak lain mengetahui hal tersebut. Pada suatu titik di mana saya berusaha menjangkau anak-anak lain yang sebaya saya, saya harus menghadapi ejekan dan olok-olok yang telah menjadi acara harian. Sering, saya dipukuli, dalam suatu kesempatan saya ditempatkan pada posisi yang berbahaya darimana saya tidak dapat melepaskan diri. Sering, saya pulang dengan berlinang air mata, kemudian dihibur oleh ibu saya dan didorong untuk melakukan acara terapi fisik harian. Betapa bencinya saya kepada penyangga kaki dan semua yang berhubungan dengan hal itu. Ibu mencoba memberi pengertian kepada para orang tua tetangga kami, tetapi tidak ada hasilnya.
                Secara berkala, saya harus mengunjungi seorang dokter ahli bedah ortopedi di New York untuk pemeriksaan. Perjalanan-perjalanan yang mengerikan ini tidaklah lengkap tanpa kunjungan-kunjungan wajib ke Bloomingdale’s, Saks dan Gimbel. Kunjungan-kunjungan ini, saya kira adalah hadiah dari ibu saya, tetapi bagi saya sebenarnya hanya memperpanjang penderitaan untuk mendengarkan betapa pentingnya melaksanakan terapi fisik harian bagi saya, meskipun kelak akan tetap ada ketimpangan yang tersisa. Saya tidak ingat bahwa ayah pernah turut pergi bersama kami ke New York. Saya tidak ingat bahwa ayah hadir ketika saya melakukan terapi fisik harian. Saya tidak ingat satu kali pun ayah menengahi bila saya mengalami hari yang tidak menyenangkan di jalanan dengan anak-anak lain.

PELAJAR YANG SEMPURNA
                Karena tidak berhasil dalam usaha saya agar diterima oleh anak-anak laki-laki di lingkungan saya, saya mencurahkan tenaga saya untuk mencapai prestasi akademis. Dan betapa berhasil saya! Dengan perkecualian kesenian dan pendidikan jasmani , saya selalu menjadi bintang kelas sejak kelas satu SD. Sebagian besar rasa ingin tahu saya yang tidak terpuaskan itu mendapat dorongan dari ibu saya, yang tidak hanya membacakan dongeng-dongeng tradisional, tetapi juga berbincang-bincang dengan saya mengenai seni, politik, dan masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan. Kami duduk bersama-sama dan membalik halaman demi halaman majalah Life. Ia menceritakan kisah-kisah yanag menarik mengenai Presiden Eisenhower dan Senator Mc Carthy, dan masalah-masalah di Eropa Timur.
                Tahun demi tahun, saya mempesonakan orang-orang dengan prestasi sekolah saya, mendapat pujian dari para guru saya, dikagumi oleh kedua orang tua saya dan nenek, dan dibenci oleh teman-teman sebaya. Saya bertekad untuk menjadi sempurna! Di SMP, saya kadang-kadang dihukum bersama-sama dengan teman-teman lainnya, meskipun saya sama sekali tidak bersalah. Bila hukuman bersama ini dijatuhkan, baik ibu maupun ayah saya tidak menengahi untuk membela saya. Di SMU, saya terus mengejar keinginan saya untuk menjadi sempurna. Saya terpilih sebagai pembawa pidato perpisahan di kelas, memiliki serangkaian kegiatan pelajar – organisasi pelayanan, organisasi pelajar, ketua penyunting buku tahunan, bahkan juga surat penghargaan sebagai pengelola regu kejaraan di kabupaten.
                Di kamar ganti, setelah mata pelajaran olahraga, saya mengalami perasaan tertarik kepada pria untuk pertama kalinya, sekaligus merasa jijik ketika menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri saya yang sangat menyimpang. Pemain-pemain rugbi memiliki perut yang kencang, kaki-kaki yang kuat, dan dada yang bidang. Para pelari lintas alam dan pemain basket bertubuh langsing dan ramping. Mereka memiliki bulu-bulu pada tubuhnya, yang tidak saya miliki. Di pihak lain, saya berperawakan kacau! Tubuh saya tidak terkoordinasi, kaku dan terlalu gemuk. Ketiadaan bulu dan tubuh yang tidak sempurna ini semakin menjauhkan saya dari mereka.
                Bulu-bulu tubuh saya mulai tumbuh, namun saya justru merasa terpukul olehnya. Kekurangan-kekurangan jasmaniah ini menyebabkan saya mengembangkan apa yang kelak menjadi karakter saya pada masa dewasa. Saya suka pamer dan kasar. Saya akan berbuat apa saja untuk memancing tawa. Sebagian besar sosok tubuh saya cenderung feminine, dan sebagian besar lelucon itu memperolokkan kekurangcakapan saya dalam cabang olahraga. Saya mendapat julukan “Si Penakluk” dan menjadi mascot anak-anak laki-laki yang dihormati dan dikagumi.
Saya mengalami satu kali kencan homoseksual di SMU. Suatu hari, seorang anak laki-laki yang sangat feminine bernama Dennis membujuk saya untuk menanggalkan pakaian saya di kamar tidurnya. Kami saling melakukan masturbasi hingga mencapai klimaks. Sekalipun saya sangat terpesona, saya bersumpah tidak mengulangi perbuatan yang sangat menjijikkan itu lagi.

KEBANGKITAN DI PERGURUAN TINGGI
                Saya lulus dari SMU tahun 1969 dan bersiap memasuki sebuah perguruan tinggi bergengsi di Pennsylvania TImur. Secara akademis persiapan saya cukup baik untuk perkuliahan di akademi, tetapi secara sosial saya adalah orang buangan. Saya lulus dalam kelompok 15% terbaik di kelas saya dan memenangkan hadiah penghargaan terbaik untuk mata pelajaran ekonomi.
                Saya sangat menginginkan untuk dapat terlibat dalam himpunan mahasiswa, tetapi dengan mudah saya kembali pada peran di SMU sebagai badut dan pelawak. Saya menjadi bahan tertawaan dan menarik perhatian, tetapi tidak memperoleh penghargaan dan kekaguman. Akhirnya saya diterima dalam himpunan tersebut dan dengan cepat mengambil alih tugas-tugas administrative yang memberikan sedikit rasa aman pada saya. Namun keakraban dan persahabatan dengan sesame rekan mahasiswa dalam himpunan itu tidak saya rasakan.
                Tahun-tahun di perguruan tinggi ini semakin memperbesar keraguan mengenai seksualitas saya. Dua kali saya dihampiri oleh pria, untuk diajak berbuat tidak senonoh, tetapi saya tidak pernah menurutinya. Saya menjadi marah dan terpesona oleh pria-pria yang gagah-tampan seperti para dewa, ingin berada bersama mereka, ingin memuaskan mereka secara seksual, bahkan sekedar menyentuh mereka, namun saya merasa takut terhadap kenyataan  - bahwa saya tidak dapat memberikan tanggapan yang tepat terhadap kaum wanita.
                Semua tampaknya tidak menentu. Firman Allah memberikan penekanan yang tegas mengenai masalah homoseksualitas – dan selama saya berpantang melakukan hubungan intim – saya bukan homo. Tetapi perasaan-perasaan itu begitu tidak terlukiskan dan sangat kuat. Saya ingin dipuaskan. Saya berdua untuk meminta seorang wanita sebagai pendamping untuk “menyembuhkan” saya, tetapi perasaan-perasaan tentang diri saya begitu tidak menentu, sehingga tidak dapat berhubungan dengan kaum wanita dengan cara yang paling minim sekalipun, apa lagi berhubungan dalam arti seksual. Allah mulai menjauh, atau lebih tepat lagi, saya mulai menjauh dari Allah.

PERLAHAN-LAHAN MENAMPAKKAN DRI
                Setelah menyelesaikan kuliah saya pindah ke sebuah kota di Connecticut, bekerja pada sebuah perusahaan mesin selama tiga tahun, dan merasa sangat sendiri dan kesepian pada sebagian besar masa itu. Saya mulai minum minuman keras dan bertanya-tanya, apa yang salah dengan saya. Kira-kira menjelang hari ulang tahun saya yang ketiga puluh, saya mulai sedikit menampakkan diri. Saya mulai sering mendatangi toko yang menjual buku-buku untuk orang dewasa dan membeli majalah-majalah pornografi yang paling blak-blakan. Saya mulai terang-terangan membolak-balik bahan bacaan homo dan menonton film-film homo dalam bilik-bilik penyewaan video.
                Pada tahun 1983, saya berhenti dari perusahaan itu dan membuka usaha sendiri setelah berhasil lulus ujian yang paling berat untuk mendapatkan sertifikat sebagai akuntan professional (CPA = Certified Public Accountant – Akuntan Publik Berijazah) yang kedua kalinya. Dengan ber bekal gelar MBA dan CPA, saya mulai memperoleh banyak klien. Saya berada dalam daur kegembiraan dan keputusasaan. Masa-masa pengurusan pajak merupakan saat-saat yang menyenangkan. Saya bekerja keras, dan mendapat pujian bila klien-klien saya  memperoleh restitusi pajak yang cukup besar, dan merasa diri saya dalam keadaan cukup baik, kata saya kepada diri sendiri.
                Kebiasaan minum dan fantasi homoseksual menjadi lebih kuat. Berat badan saya meningkat dan saya berhenti berolahraga. Saya menjadi lalai dalam janji-janji saya dengan para klien, tidak mempedulikan penampilan saya dan keadaan rumah saya, kehidupan fantasi saya menjadi tidak terpuaskan, dan saya betul-betul memikirkan mengenai rencana bunuh diri. Saya mulai berhubungan melalui telepon di mana kaum pria memperbincangkan obroaln kaum homoseks, dan melakuakn masturbasi sambil menelepon. Saya menempuh perjalanan pertama saya ke tempat-tempat parkir di mana kaum homoseks “berkencan” dengan pria-pria homo lainnya, tetapi saya tidak berhubungan dengan mereka.
                Saya menjadi yakin dengan ucapan seorang aktivis homo yang mengatakan bahwa saya dilahirkan sebagai homo dan tak ada satu hal pun yang dapat mengubahnya. Saya memohon kepada Allah agar dibebaskan dari beban ini. Kehidupan saya berubah menjadi angin puyuh depresi, kemarahan, kegeraman, kebingungan, dan kesepian yang mencekam. Oh, betapa menyakitkannya kesepian itu! Minggu demi minggu saya lewatkan hari-hari dari malam-malam dalam kesendirian. Ada saat-saat di mana saya melewatkan tiga hari penuh tanpa mendengar suara manusia lain.

AKHIRNYA TERANG-TERANGAN
                Malam tahun baru 1986. Malam tahun baru bukan lagi saat yang istimewa bagi saya. Saat-saat itu hanya memperbesar kesepian dan keputusasaan yang saya rasakan. Saya menyambut tahun 1987 di rumah pasangan suami-istri klien saya, bersama dua atau tiga pasangan lainnya, beberapa wanita lajang, dan Bob. Saya berkenalan dengan Bob melalui tuan rumah dan ia juga salah satu klien saya. Pesta itu berakhir pukul 1 pagi dan saya pulang, sendirian dan dalam keadaan mabuk. Pada pk 02.30 subuh, Bob menelepon saya dan menanyakan apakah saya mempunyai minuman Scotch. Ketika saya menjawab ya, ia meminta saya membawanya ke rumahnya dan kami dapat menonton video bersama. Dalam perjalanan menuju rumah Bob, saya mempunyai keyakinan bahwa minum dan mengobrol bukan merupakan kegiatan utama malam itu.
                Saya telah mengenal Bob selama tiga tahun. Saya bahwa ia pernah menikah, tetapi tidak pernah berhubungan intim yang tetap. Juga dalam nada suaranya ada suatu intensitas yang tidak dapat dipungkiri. Bobo menyambut saya di pintu dengan hanya mengenakan pakaiaan mandi. Dalam waktu tiga puluh menit saya kehilangan “keperawanan” saya. Nah, akhirnya saya terang-terangan! Saat itulah saya harus mengakui bahwa saya adalah seorang homo.

MEMASUKI KEHIDUPAN HOMO
                Ketika dinding penghalang dalam hubungan seksual telah tumbang, saya menjadi bebas untuk memasuki kehidupan homoseksual. Saya tidak lagi dapat menyembunyikan diri di balik kedok seolah saya adalah orang baik-baik. Bob menelpon saya pada waktu-waktu tertentu. Biasanya ia menelepon saya tengah malam, dalam keadaan mabuk atau di bawah pengaruh obat bius. Tugas saya adalah membawakan lebih banyak minuman atau kokain sebagai imbalan pelayanan seksualnya. Secara keseluruhan , itu adalah cara yang menyenangkan untuk melewatkan suatu malam bersama, bukan?

KEMUDIAN JIMMY
                Saya bertemu dengan Jimmy pada bulan April ketika sedang mencari teman kencan. Ia masih muda, berkulit gelap, langsing, semua hal yang saya idolakan sebagai kejantanan yang sempurna. Namun begitu, ia adalah seorang laki-laki yang energik.  Tetapi saya membiarkannya ikut saya pulang ketika ia berkata bahwa ia memerlukan “sedikit uang” karena saya merasa sangat kesepian dan sangat haus akan kasih sayang. Ini adalah awal dari hubungan selama dua tahun. Hubungan kami mula-mula, dan juga sesudah itu, bersifat pelacuran dan persahabatan. Ia dibayar untuk pelayanan seksual, meskipun saya ingin meyakinkan diri bahwa ia adalah kekasih, pendamping, dan teman saya. Kemudian saya tahu bahwa saya hanyalah satu dari sepuluh atau dua belas klien yang dilayani secara teratur oleh Jimmy.
                Mula-mula keadaannya begitu menyenangkan. Saya membayarnya, dan begitulah jadinya. Ia berkata kepada saya bahwa ia menyukai saya dan mendengarkan dengan penuh perhatian bila saya menasihatinya untuk berhenti mempergunakan obat bius dan mencari pekerjaan yang halal serta tempat tinggal yang layak. Setelah beberapa bulan, saya menjadi penyelamatnya. Saya mendapatkan obat bius untuknya, dia lebih sering menginap di tempat saya, dan ia mulai membersihkan rumah dan menjadi pesuruh saya.
                Dalam masa itu, saya mulai menjauhkan diri dari teman-teman. Setiap kali sesudah bertemu saya merasa depresi selama beberapa hari dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Saya menjadi cepat marah, takut tertangkap, cemas ketika berusaha mendapatkan obat-obat bius, dan saya mulai minum sangat banyak pada musim dingin itu. Singkatnya, saya menjadi kacau balau dan jorok. Saya mulai memikirkan untuk bunuh diri lagi.

BERPALING KEMBALI KE RUMAH BAPA
                Kadang-kadang saya menjerit dalam kemarahan kepada Allah, “Saya tidak mengerti mengapa Engkau menjadikan saya seorang homo dan membiarkan saya berada di neraka ini, tetapi hentikanlah! Bila Engkau menghentikannya, saya akan percaya kembali kepadaMu.” Kemudian, saya mulai merencanakan kecelakaan mobil yang akan mengakhiri hidup saya. Di tengah kegelapan ini, ada secercah harapan. Ia adalah seorang wanita Katolik, klien saya. Meskipun ia sedang mengalami masa-masa yang kesulitan keuangan, Tara selalu memiliki pandangan yang positif dan tenang. Ada sebuah gambar Kristus di dinding rumahnya dan sebuah Alkitab di mejanya, yang sering diambil dan diacu.
                Suatu hari saya mulai berpikir dan berpikir keras. Firman Allah berkata begitu tegas tentang menolong orang yang lemah, yang miskin , para janda, anak-anak yatim piatu, yang sakit – smua keadaan yang ada di luar kendali orang itu sendiri. Homoseksualitas tidak termasuk dalam kelompok itu. Bahkan, perilaku homoseksual dengan jelas dikutuk dalam firman Allah. Saya mulai memikirkan hal ini sama seperti bila saya mengerjakan suatu persoalan bisnis.
                “Oleh karenanya,” kata saya,”homoseksualitas adalah sebuah pilihan. Tuhan, karena sifatNya yang murah hati, tidak akan menciptakan seseorang dengan sifat homo, kemudian mengutuk sifat bawaan sejak lahir itu.” Saya terus mengutak-atik masalah ini. “Kalau begitu, bila saya dilahirkan sebagai homo, firman Allah akan menasihati orang Kristen untuk mengasihi, mentoleransi dan menerima mereka yang menderita karena homoseksualitas. Jadi, saya tidak dilahirkan sebagai homo, dan pastilah ada satu pemecahan, pastilah ada satu jalan ke luar.”
                “Tuhan,” doa saya, “Saya tidak mengerti tentang hal tetapi saya tidak ingin menjadi homo. Saya tidak menginginkan gaya hidup ini. Namun ini bukan perbuatanMu. Pastilah ada hal lain yang menyebabkan. Saya memohon kepadaMu, Tuhan, tunjukanlah jalan ke luar itu kepada saya.”

TUHAN MELIHAT HATI
                Sepuluh hari kemudian, ya, sepuluh hari kemudian, saya melihat sebuah iklan di Koran setempat. Iklan itu berbunyi, “Homo dan orang Kristen?” Ada jalan ke luar dari homoseksualitas. Hope Ministries.” Oh Tuhan! Itu dia! Ketika saya mengubah doa saya dengan cara di atas, ternyata segera ada jawaban. Saya merasa curiga terhadap pelayanan-pelayanan semacam ini. Ini pastilah sama sekali bukan orang-orang Kristen. Mungkin ini hanyalah satu kedok dari pemerintahan Reagan untuk menarik para homo dari tempat persembunyian mereka dengan tujuan untuk melacak epidemi AIDS. Namun saya menulis surat juga kepada lembaga pelayanan tersebut.
                Saya menerima telepon dari Jim, seorang pemimpin pelayanan itu. Ia memberi dorongan dan berdoa bersama saya. Ia mengundang saya untuk menghadiri pertemuan yang pertama kali untuk saya. Sayangnya, malam itu bersamaan dengan malam di mana kelompok itu akan berjaga untuk salah seorang anggota mereka yang meninggal karena AIDS.  
                Hari jumat itu saya tiba di gereja empat puluh menit lebih awal dan mondar-mandir dengan mobil, sambil mempertimbangkan dalam hati apakah saya akan masuk ke pertemuan itu atau tidak. Akhirnya , saya masuk ke halaman parkir gereja dan memarkir mobil saya di balik sebuah pohon besar, sehingga mobil saya tidak akan kelihatan dari jalan. SIapa tahu! Orang-orang Reagan bersembunyi di seberang jalan mengintai dengan foto jarak jauh.
                Saya masuk dan segera menyadari bahwa aya telah melupakan sesuatu : 10 miligram Valium (sejenis obat penenang). Saya tahu saya akan pingsan. Di sinilah saya, di antara sekelompok orang yang dulunya potensial untuk
Menjadi pasangan, dan saya akan keluar dari perembunyian, meninggalkan gaya hidup ini, pada malam yang sama.
                Kami duduk dalam lingkaran, dan mulai menyanyikan puji-pujian , bukan puji-pujian kuno cara Presbiterian, tetapi lagu-lagu pujian gaya kharismatik yang bersemangat. Oh Tuhan! Mereka bertepuk tangan, kemudian menumpangkan tangan di kepala saya dan menyatakan saya telah dilepaskan. Sedang apa saya di sini? Setelah dua puluh menit saya berdiri dan berjalan menuju ke pintu. “Ngak bisa,” kata saya dua kali, dan saya melenggang ke luar dengan sombong dengan gaya Bette Davis.”

BAPA, AKU TIDAK LAYAK LAGI DISEBUT ANAK BAPA
                Saya gemetaran sepanjang perjalanan pulang, teteapi ketika mencapai setengah perjalanan saya berkata kepada diri sendiri, “Kau harus kembali ke sana minggu depan.” Dan suatu damai sejahtera yang melampaui segala akal akan memenuhi saya. Firman Allah mengatakan, “Ketika ia masih jauh , ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.” (Luk 15:20).

PENGERTIAN DATANG LEBIH DULU
                Akhirnya hari Jumat sore tiba. Saya tiba cukup dini agar saya dapat menyembunyikan mobil di balik pohon lagi. “Tuhan,” doa saya, “Kuatkanlah saya sampai akhir pertemuan ini, hanya itulah yang saya minta.” Saya bertahan sepanjang sore itu meskipun belakangan Bill mengatakan, bahwa ia yakin saya tidak akan pernah kembali. Tetapi puji Tuhan, saya merasa perlu mendengarkan apa yang disampaikan sore itu. Allah menghendaki saya mendengar semua itu. Malam itu meyakinkan saya bahwa Allah selalu melayani sesuai dengan kebutuhan kita. Ia menghargai dan mengetahui sikap saya yang skeptic dan sinis. Ia juga memahami bahwa pikiran saya sangat intelek dan penuh rasa ingin tahu. Ia tahu saya membutuhkan lebih dari sekadar lagu-lagu yang menggugah semangat. Saya perlu mengerti lebih dahulu.
                Setelah puji-pujian, Dr. Bill, direktur lembaga pelayanan itu, memberi pelajaran mengenai perkembangaan masalah homoseksual. Pelajaran itu berisi deskripsi akademis dan fakta-fakta mengenai bagaimana perasaan-perasaan homoseksual timbul karena hbungan yang tidak memuaskan antara seorang anak laki-laki dengan ayahnya dan / atau pria lainnya.
                Saya sangat senang. Alangkah baiknya jika saya membawa sebuah buku catatan, tetapi saya menelan setiap perkataannya Dan pesan yang paling berharga yang perlu saya dengar ialah, saya tidak dilahirkan dalam keadaan itu, sebab itu perubahan dapat terjadi. Homoseksualitas tidak lain adalah gejala dari suatu kepribadian yang terluka secara emosi, demikian menurut Dr. Bill.
                Setelah beberapa saat saya merasa seolah-olah saya adalah satu-satunya orang yang hadir di ruangan itu dan Bill sedang berbicara kepada saya secara pribadi. Harga diri yang rendahmengarah kepada kebingugan akan jenis kelamin, yang kemudiaan mengarah kepada daya tarik seksual, penguatan dan identifikasi homoseksual.
                Ketika ia menjelaskan setiap tahap perkembangan, saya ingin berteriak,”Ya! Ya!” karena saya dapat mengidentifikasikan perasaan-perasaan dalam setiap tahap yang tengah dijelaskannya. Kemudian ia mengatakan satu hal yang memperteguh tekad saya. Ucapan itu bukan sengaja ditujukan kepada saya, tetapi saya yakin. Ucapan itu bukan sengaja ditujukan kepada saya, tetapi saya yakin Allah membiarkan saya mendengarnya dengan cara sedemikian rupa sehingga mendorong saya untuk bertindak. Bill berkata bahwa sekali prilaku homoseksual telah tertanam karena penguatan, maka setelah usia tiga puluh lima perubahan menjadi sangat sukar. Alasannya ialah karena pada usia sekitar tiga puluh  lima perubahan menjadi sangat sukar. Alasannya ialah karena pada usia sekitar 35 tahun orangmulai memperkokoh dan memantafaatkan sasaran-sasaran hidupnya dan identiitasnya selama sisa hidup mereka.

TANDA-TANDA DINI ADANYA PERUBAHAN
                Dua tanda yang segera tampak  dari berkat-berkat Allah ialah berakhirnya penggunaan alcohol, dan watak saya yang kasar. Minggu demi minggu berlalu. Saya belajar; saya membaca; saya mempelajari sebanyak yang saya mampu. Saya berdoa. Tetapi saya perhatikan bahwa pada waktu saya dalam keadaan tegang berkepanjangan, atau tertekan , atau lelah, saya masih tergoda. Dua kejatuhan terjadi. Salah satunya adalah pertemuan saya yang terakhir dengan Jimmy. Pertemuan ini memakan biaya 100 dolar.
                Saya menelepon Bill. Ia mengajak saya mengkaji kembali apa yang telah terjadi. Saya menjadi marah setelah mengalami kesulitan mengenai rekening makan malam dengan dua orang pria lain dari lembaga pelayanan itu. Saya menjadi tertantang dan mempergunakan cara pelampiasan seksual untuk mengurangi kecemasan saya. Bagian emosi  saya yang terluka , seperti yang disebut oleh Bill, menjadi terangsang dan saya merasakan kompleks emosi yang peka dan menyakitkan itu, yang meyebabkan saya merasa kosong dan kehilangan. Inilah dinamika hal-hal yang terjadi sesaat sebelum kejatuhan saya.

PEKERJAAN DALAM BATIN ITU SEMAKIN MERASUK
                Kira-kira saat itu saya memulai suatu ritrit. Tepatnya bukan berdoa seperti biasanya, tetapi melakukan percakapan-percakapan dengan Allah. Beberapa malam dalam seminggu, saya mengendarai mobil berkeliling. Saya berbicara dengan keras, bercakap-cakap dengan pribadi kanak-kanak dalam diri saya, yang telah begitu terluka. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tiga puluh tahun yang silam mulai bermunculan dari tempat pemakaman batin saya dan menjadi jelas. Saya mengenang kembali olokan-olokan yang saya terima dari anak-anak lain di tempat saya tinggal. Saya melihat bagaimana saya telah menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan ibu saya dalam usahanya menjadi orang tua yang baik. Saya melihat dengan jelas bagaimana sikap diam ayah saya menyebabkan saya merasa ditolak dan mengakibatkan terputusnya ikatan kasih di antara kami.
                Salah satu malam itu mengungkapkan suatu hal dengan jelas. Sementara saya berkendaraan, pertanyaan itu terlompat begitu saja dari mulut saya, bahkan sebelum saya menyadarinya. Hal itu terlontar dari pemakaman di bawah sadar saya. “Ayah, ayah, mengapa, mengapa, mengapa tidak kaukatakan, tidak dapatkah Ayah katakannya satu kali sajaa – bahwa Ayah menyayangi saya? Ketika saya pulang berlumuran darah akibat ulah anak-anak tetanggi, tidakkah Ayah dapat berkata bahwa Ayah bangga pada saya? Tidak dapatkah Ayah berkata bahwa Ayah menerima saya? Mengapa,, Ayah, mengapa tidak sekalipun?” Kemarahan, perasaan nyeri, kebutuhan akan kasihnya, perasaan duka; saya sedang mengalaminya kembali saat itu
                Saya harus menghentikan mobil di tepi jalan. Saya menangis hampir satu jam lamanya. Setiap perasaaan frustasi muncul ke permukaan dalam suatu kaleidoskop yang menakutkan. “Ibu, apakah Ibu akan mengasihi saya sekalipun saya cacat? Dan, demi Tuhan, mengapa Ibu tidak memberi dorongan sesuai dengan keadaan saya? Mengapa Ibu bersikap sedemikian kaku sehingga saya tidak dapat menjadi diri saya sendiri? Tidak dapatkah Ibu biarkan saya bebas?” Oh, hal itu begitu menyakitkan bila dipikirkan dan dituliskan!

MENARIK PERHATIAN
                Orang-orang mulai bertanya, apakah saya agak kurusan (saya orang yang gemuk), ketika saya membeli baju baru, kacamata baru, mengecat rambut, atau bahkan mengunjungi salon untuk mencoklatkan warna kulit. Ada sesuatu dalam diri saya yang menarik perhatian orang.
                Orang sedang dijamu makan malam di rumah Bill dan Louise; dua orang teman luar biasa yang diberikan Tuhan sebagai “teman-teman khusus” saya. Setelah beberapa jam dan percakapan-percakapan biasa, Bill berbicara langsung pada sasarannya, “Oke, apa yang tengah terjadi, David? Siapa nama gadis itu?” Saya menjawab,”Apa maksudmu?” “Saya tidak tahu,” jawab Bill, “dalam tiga atau empat bulan belakangan ini, kau tampak beda.”
                Suatu istilah yang luar biasa yang diucapkannya. Istilah hebat tentang apa yang sedang saya rasakan. “Bukan, Bill,”kata saya,”bukan karena ada gadis baru dalam kehidupan saya. Saya telah bergabung dengan sebuah kelompok pembinaan. Kau tahu. Sebenarnya saya….. dulu adalah seorang homo, dan saya sedang berusaha untuk membebaskan diri dari homoseksualitas.”
                Keheningan itu begitu mencekam. Saya ingin lari, mati, membuat lelucon, melakukan apa saja untuk membuyarkan saat hening yang mengerikan itu. “Kami telah menduga bahwa itulah keadaan sebenarnya,” kata Bill, “tetapi kami tidak merasa pasti. Kami hanya ingin kau mengetahui bahwa hal itu tidak menjadi masalah bagi kami, apakah kau seorang pria atau seorang homo.” Louise bangkit dari duduknya, menghampiri dan memeluk saya,”Kau tahu kami mengasihimu, David, apa pun yang terjadi.” Apa pun yang terjadi , kedua orang ini mengasihi saya dan menerima saya. Tanpa ikatan. Tanpa syarat. Oh, andaikan mereka adalah ayah dan ibu saya.

KESEMBUHAN ADALAH SUATU PROSES YANG MEMERLUKAN WAKTU
                Pada akhir tahun pertama pemulihan saya, saya menghadiri Konferensi Internasional Exodus. Saya bertemu dengan beratus-ratus orang Kristen lain, pria dan wanita mantan homo dalam berbagai tingkat pemulihan. Saya bertemu dengan orang-orang yang berasal dari gaya hidup itu selama bertahun-tahun. Semuanya ini merupakan penegasan bahwa proses yang sedang saya jalani bukanlah sekedar permainan atau fantasi, melainkan suatu kenyataan. Kaum homo dapat dan memang berubah.
                Saya tidak akan pernah kembali kepada kehidupan saya yang dulu yang hampa, berdosa, dan menghancurkan diri. Dalam peranan saya sebagai konselor dan guru di HOPE Ministries, saya belajar dan bertumbuh setiap kali saya diminta untuk menolong orang lain. Dua tahun sudah berlalu sejak saya pertama kali menghadiri pertemuan HOPE. Masa ini merupakan masa yang penuh kepahitan hati, kemarahan, kegeraman, depresi, ketakutan, dan kebingungan, yang mungkin tidak ingin saya alami andai saj saya mengetahuinya lebih dahulu. Saya tengah bergerak melewati tahap-tahap perubahan dan integrasi ini. Saya sedang mendekati  saat-saat di mana terdapat penerimaan diri yang lebih besar. Saat ini saya melihat kesempatan-kesempatan rohani yang terbuka melalui pekerjaan yang saya tangani ini. Saya melihat dengan lebih jelas campur tangan Tuhan dalam semua ini. Puji Tuhan, “Ia, yang memulai pekerjaan yang baik,” tengah menyempurnakannya, dengan caraNya dan pada waktuNya.
                Sekarang perasaan-perasaan homoseksual hanyalah merupakan gangguan kecil. Kadang-kadang saya tergelincir atau mengalami kemunduran, atau terjerumus ke dalam daur pelepasan stress saya. Tentu saja, sekali-sekali saya bertemu dengan seorang pria yang menarik perhatian saya. Sesekali hasrat atau nafsu berahi saya bergejolak. Tetapi pikiran mengenai keterlibatan seksual dengan pria lain sekarang hampir sama menjijikannya seperti untuk kaum pria heteroseksual pada umumnya. Kedengarannya abnormal, bodoh, dan aneh. Perbuatan semacam itu adalah kebohongan dan tipu daya, dan saya mampu memandangnya demikian.
                Tentang kaum wanita, saya belum mulai berkencan dengan mereka, namun saya menjadi sangat genit di toko swalayan. Saya merasa aman untuk mengambil risiko sejauh itu dengan kaum wanita. Rasanya saya sudah tidak sabar lagi untuk dapat berkencan, tetapi saya akan menunggu waktu Tuhan untuk hal ini. Saya menggambarkan keadaan diri saya dalam hal berkencan sebagai seorang yang berusia tiga puluh delapan tahun dengan pandangan remaja enam belas tahunan. Kesenjangan antara usia kronologis dengan usia emosional saya itu sednag dipersempit dengan sangat cepat. Saya menyadari  bahwa berkencan bukanlah hal yang mudah bagi saya. Saya tahu saya memiliki rsa takut dan penghlang terhadap kaum wanita yang harus saya atasi. Pada waktuNya ! Pada waktuNya!
                Kedua orang tua saya juga mengalami kesembuhan. Mereka harus mengalami banyak kesedihan serta perasaan bersalah, yanag saya tahu merupakan hal yang sukar bagi mereka. Ibu saya mulai mengbah sikapnya dalam mengendalikan dan memanipulasi diri saya, meskipun kadang-kadang ia masih melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan saya merasa frustasi, putus asa dan marah. Ayah saya menjadi lebih terbuka dalam menyatakan kasih sayangnya melalui kata-kata dan tindakan.
                Berat badan saya berkurang sebanyak 17 ½ kg dan saya terus berolahraga di sarana olahraga. Saya telah berhasil melwati ujian kesembuhan yang utama, yaitu mengobrol dengan santai di ruang ganti dengan seorang pria tanpa busana sambil tetap menjaga kontak mata. Tetapi, saya bersyukur kepada Allah, karena Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasih Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Terima kasih, Tuhan Yesus, terima kasih!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home