Monday, November 19, 2012

Kabar Terbaik yang Pernah saya dengar




Jason Thompson
Bebas dari Dosa Sodom (Bob Davies , Lela Gilbert)

Saat itu saya berusia empat belas tahun dan sedang duduk sendirian di rumah kakek-nenk saya dengan sebuah Alkitab di atas pangkuan. Karena ayah saya adalah seorang pendeta Episkopal dan saya dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen, saya sangat akrab dengan berbagai cerita Alkitab. Namun hari itu, saya sangat ingin tahu tentang apa yang dikatakan Allah mengenai homoseksualitas. Setelah membaca sebentar, firmanNya  sangat jelas menyebutkan bahwa Allah menganggap homoseksualitas sebagai dosa (Im 18:22; Rm 1:26). Penemuan ini membuat saya semakin bertambah bingung lebih dari sebelumnya.

Jadi dimulailah kisah Jason Thompson dengan pergumulannya melawan perasaan homoseksualitas. Sebagai seorang remaja, ia terperangkap di antara kehidupan “normal” yang ia lihat di sekelilingnya, hubungan wajar antara laki-laki dan perempuan yang ia lihat di gerejanya, dengan gejolak emosi yang dalam dan kuat dalam dirinya.
                Sebelm ia mencari jawaban secara alkitabiah, Jason mendapat mimpi yang jelas dan kuat di mana ia menemukan dirinya terlibat dalam perilaku homoseksual. Ia terbangun dengan perasaan takut dan bingung. Sejak saat itu, Jason merasakan adanya hasrat yang berkembang di dalam dirinya untuk berhubungan dekat secara fisik dengan teman laki-laki sebayanya.
                Dari mana hasrat itu muncul? Jason berulang-ulang mengajukan pertanyaan yang sama terhadap dirinya. Ia benci dengan perasaan yang terus-menerus menggoda dan menyiksanya. Ia tidak tahu apa yang sedang mengorbankan hasrat tersebut, tapi ia tahu bahwa sesungguhnya ia tidak menginginkannya. Ia juga memutuskan untuk menyimpan rapat-rapat perasaan aneh tersebut. Sewaktu ia bergumul dengan hasrat homoseksual, Jason berdoa dengan sungguh-sungguh agar Allah membuangnya. Sayangnya, perasaan itu tidak juga hilang. “Mengapa Ia tidak menjawab doaku?” Jason bertanya-tanya. Ia merasa ragu-ragu apakah Allah sungguh-sungguh peduli terhadapnya.
                Seperti sudah diduga sebelumnya, bersekolah di SMU justru membuatnya semakin bertambah bingung. Masih tidak yakin dengan identitas seksualnya, Jason mencari teman laki-laki yang dapat ia ajak berbagi kedekatan emosional, sambil berharap adanya keintiman secara fisik. Sebuah episode percobaan seksual dengan salah seorang temannya terjadi pada suatu malam. PEngalaman itu memuaskan sebagian rasa ingin tahu yang timbul dari kehidupan fantasinya, namun ia tidak pernah sepenuhnya merasa puas. Tidak peduli betapa giatnya ia terus mendoakan pergumulannya, Allah masih tidak mengambil hasratnya terhadap sesama jenis.
                Sebagai seorang siswa senior , Jason akhirnya mengumpulkan cukup keberanian untuk mencari pertolongan. Ia menemukan nomor telepon sebuah jalur bantuan konseling remaja. Setelah dengan gugup ia menceritakan seluruh kisahnya kepada perempuan yang menerima telepon, dengan dingin ia menjawab, “Orang yang menangani masalah gay akan masuk hari Jumat.” Jason merasa dipermainkan. Ia berkata :
Saya membanting telepon dalam keadaan frustasi lalu naik skuter Honda Elite merah saya. Sambil melaju kencang menuju bagian tenggara Portland, saya merasa marah dan putus asa. Saya bahkan berpikir untuk bunuh diri dengan menabrakkan diri di area parkir mobil. Akan tetapi, Allah mengurungkan niat saya dan menenangkan hati saya.
                Pada musim gugur tahun1990, Jason mendapatkan seorang kekasih di gereja. Mereka mulai berpacaran dan Jason berpura-pura tertarik kepada gadis itu, namun ketegangan dari perasaannya yang bertentangan menjadi semakin kelihatan bagi mereka yang mengenalnya Akhirnya, tanpa ia sendiri menduganya, dalam sebuah percakapan yang menakutkan Jason mengakui pergumulan homseksualnya kepada gadis ini.
                Secara mengejutkan, ia mengucapkan kata-kata pengharapan dan dorongan kepada Jason. Ia bahkan mencarikan nomor telepon Portland Fellowship , sebuah pelayanan lokas Exodus. Jason mengangkat telepon dan memutar nomor tersebut.
                Phil Hobizal, direktur Portaland Fellowship, mendengarkan kisah Jason dengan penuh perhatian. Bukannya melemparkan Jason kepada orang lain, atau menolaknya karena perasaan homoseksualnya, Phil justru meyakinkan Jason bahwa pertolongan tersedia baginya. Mereka berdua membuat rencana pertemuan untuk minggu berikutnya. “Perubahan pasti terjadi,” dengan penuh keyakinan Phil mendorong Jason. “Itu adalah kabar terbaik yang pernah saya dengar!” Jason menjawab.

Hubungan yang Retak dengan Ayah
                Jason ingin orangtuanya mengetahui pergumulannya, tetapi ia merasa akin bahwa ia tidak dapat berbicara dengan ayahnya mengenai hal ini. Ia selalu merasa jauh dan asing dengan ayahnya. Sementara ia sering menceritakan pikiran dan perasaannya kepada ibunya, ia tidak pernah merasa sebebas itu dengan ayahnya. Ia menjelaskan hubungan mereka demikian :
                Dalam masa pertumbuhan saya, hal itu tidak tampak luar biasa. Tidak ada yang aneh. Hanya seperti itulah sikap ayah saya. Saya tidak memiliki kebencian atau sakit hati apa pun terhadap dirinya. Sebagai koreksi, pada batas tertentu ia adalah seorang ayah yang sangat pasif. Ia tidak pernah menghajar, mendisiplinkan, atau mengurung saya. Dalam keluarga kami, semua itu adalah tanggung jawab ibu saya. Jadi, saya tidak merasa takut terhadap ayah. Namun, pada saat bersamaan, saya berpikir bahwa saya sesungguhnya juga tidak memiliki kedekatan dengannya. Saya tidak selalu menunggu ayah pulang sehingga kami dapat bermain atau melakukan sesuatu bersama-sama. Hanya saja, ia bukanlah orang yang ingin saya ajak bermain atau menghabiskan waktu luang bersama-sama. Dan beban pelayaan membuatnya sering tidak berada di rumah pada malam hari.
                Ayah saya adalah seorang pendeta gereja sehingga saya menghormatinya karena mengetahui ia adalah utusan Allah dan ia memelihara jemaat. Jadi, dalam berbagai hal saya menghargai ayah. Saya tidak ingin menyakiti hatinya, atau berkata-kata yang tidak baik terhadapnya. Beberapa kali saya sebenarnya merasa sangat dekat dengannya, tapi itu sangat, sangat jarang terjadi. Ia adalah orang yang bertanggung jawab dan selalu melakukan semua yang bisa dilakukannya untuk menghidupi keluarga. Akan tetapi, ketika menyangkut  masalah hubungan atau masalah pribadi, ayah bukanlah orang yang benar-benar dapat saya hubungi.
                Saya teringat pada suatu hari ketika sedang berjalan menuju gereja dengan ayah dan merasa sepertinya kami sedang terlibat dalam percakapan yang sangat menyenangkan – percakapan yang sangat berarti bagi saya. Kami berbicara tentang hidup dan hal-hal umum lainnya. Kemudian ibu saya bertanya, “Bagaimana waktumu tadi bersama ayah?” “Oh, kami berbicara dari hati ke hati semacam percakapan antar laki-laki.” Dan ayah memandang saya dengan wajah yang menyiratkan kebingungan, seolah-olah berkata,”Apa maksudmu? Kita tidak melakukan percakapan antar laki-laki.”
                Bila memandang ke belakang, ia mungkin berpikir bahwa apa yang saya maksudkan adalah percapaan mengenai seks, hal-hal yang dibicarakan antar laki-laki. Tetapi, persepsi saya tentang “hubungan” kami, saat-saat pribadi antara ayah-anak, menjadi rusak karena itu bukanlah apa yang ayah pikirkan, bukan apa yang ia lihat.

                Di sisi lain, ibu Jason adalah tipe orang yang ia bisa ajak berbagi pikiran dan waktu. Ia masih ingat ketika ibunya masuk ke kamarnya pada sautu pagi, membangunkannya, dan kemudian duduk di atas ranjang dan berbicara kepadanya tentang kehidupan. Ia sungguh-sungguh menaruh perhatian terhadap Jason, dan ia merasa memiliki hubungan dekat dengan ibunya. Pada saat ibunya sedang merasa putus asa dan terluka, ia merasa empati, dan seringkali ia merasa seolah-olah kehadiranna diperlukan untuk memberikan dorongan dan dukungan kepada ibunya. Satu hal, keluarga Thomson bukan keluarga yang berkecukupan secara materi. Selama beberapa tahun mereka bahkan tinggal dalam bis bekas yang sudah direnovasi. Halini bukan pengalaman negative bagi Jason, tapi tidak diragukan lagi merupakan saat-saat sulit orangtuanya.
                Meskipun ia bertumbuh dalam lingkungan gereja Episkopal ayahnya, selama masa-masa remajanya, Jason bergabung dengan sebuah gereja karismatik. Kerinduan pribadinya akan Allah telah menuntunnya menuju arah denominasi yang berbeda dengan keluarganya. Dan sekarang, ia ragu apakah masalah homoseksualitas ini akan memaksanya melangkah lebih jauh. Walaupun demikian, beberapa hari setelah menghubungi Portland Fellowhsip Jason memutuskan untuk mengambil risiko dan mencoba berbicara dengan ibunya. “Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Aku…. Aku telah bergumul dengan kecenderungan homoseksualitas selama ini, tapi….”
                Ia menghentikan Jason sebelum ia menyelesaikan pengakuannya. “Tunggu. Aku akan memanggil ayahmu. Ia juga perlu mendengarnya.” “Tidak, tunggu Ma. Kupikir ia tidak akan mengerti.”
“Ini penting, Jason. Ia harus mengetahuinya,” ia memaksa.
Ketakutan dan kegugupan Jason menyeruak. Tidak ada jalan keluar dari diskusi tersebut. Ia berjalan mondar-mandir di dalam rumah sementara ibunya pergi keluar dan memanggil ayahnya. Setelah Rev. Thompson berada di dalam ruangan, Jason mengambil napas dalam-dalam dan menjelaskan situasinya. “Aku sedang mengalami pergumulan,” ia memulai,”dengan homoseksualitas.”
                Setelah memberikan gambaran singkat tentang kesulitan-kesulitannya, Jason juga menceritakan tentang harapan yang diperolehnya di Portland Fellowship. Ayah dan ibunya mendengarkan dngan sopan. Mereka tidak menghakimi dan menyalahkannya. Setelah semuanya selesai dikatakan, Jason meninggalkan rumah dengan perasaan bebas yang belum pernah ia alami sebelumnya. Beratnya rahasia yang ia simpan selama bertahun-tahun mulai menguap. Beberapa waktu kemudian, ia baru mengetahui kalau orangtuanya hampir tidak tidur mala itu untuk berbicara, menangis dan berdoa.
                Hari Minggu berikutnya, Jason pergi ke gereja ayahnya. Sebelum kebaktian dimulai, ayahnya berbicara dengannya di luar. “Jason,” katanya, “ayah telah sering menyaksikan berbagai orang yang memiliki masalah selama masa pelayanan ayah. Ttapi, ayah belum pernah melihat seseorang yang mengatasi masalahnya dengan pintar sepertimu. Ayah belum pernah merasa sebangga ini terhadapmu.”

Tidak Ada Pemulihan yang Cepat
                Sebagaimana ia diberkati oleh kasih sayang dan kata-kata dorongan dari orangtuanya, tahun-tahun pertama keterlibatannya di Portland Fellowship berjalan lambat. Selama pertemuan setiap Kamis malam ia belajar tentang akr dari hasrat homoseksualitasnya. Ia diperkenalkan pada rencana pengampunan Allah dan diberi perlengkapan yang dapat membantunya meraih kebebasan yang sangat dirindukannya dari pergumulan homoseksualnya. Akan tetapi, tidak ada pemulihan yang cepat bagi perasaannya.
                Kadang-kadang pada akhir pekan Jason mengenmudikan skuternya menuju pusat kota Portland. Ia menggunakan sebagian besar waktunya untuk “sekedar melihat-lihat”, memeriksa apa saja yang tersedia dalam komunitas gay, secara diam-diam berharap bahwa seseorang atau sesuatu akan mengisi celah kosong kebutuhan emosional yang masih ada dalam dirinya.
                Pornografi masih memegang peranan kuat sdalam hidpnya, dan hal itu terbukti menjadi suatu penghalang bagi hubungannya dengan Allah. Akhirnya, setelah satu tahun penuh terlibat dalam Portland Fellowship, Jason menyadari bahwa ia tidak bisa mengikut keduanya sekaligus : ia tidak dapat mengikuti Allah sementara ia masih terus memupuk harapan untuk memuaskan dorongan homoseksualnya. Ia menjelaskan bagaimana ia merasa dikendalikan Allah.
                Saya sebenarnya sangat merindukan hubungan seks bebas. Saya memiliki semacam hasrat untuk pergi keluar dan berhubungan seks dengan orang-orang tak dikenal. Saya banyak mengetahui arena orang-orang yang tak dikenal. Saya juga tahu tentang taman dan toko-toko buku semacam itu. Namun, Allah tidak akan membiarkan saya pergi ke tempat-tempat tersebut. Ia menjaga saya dari kesulitan melalui ketakutan saya bila tertangkap, ketakutan saya bila terkena AIDS, dan perasaan-perasaan lain tentang segala sesuatunya. Beberapa kali saya terlibat dalam pergaulan bebas, namun saya tidak membiarkan diri saya terjangkit AIDS. Itu bukanlah perbuatan homoseksual yang sempurna, melainkan lebih menyerupai stimulasi visual dan saling bersentuhan. Dan segera setelah melakukannya saya merasa hancur. Kadang-kadang saya berniat bunuh diri karena saya tahu betapa buruk dan salahnya perbuatan tersebut. Hubungan seks bebas tidak pernah menjadi masalah bagi saya. Dosa saya sebenarnya terletak dalam pikiran, fantasi dan hasrat saya.
                Seperti sebagian besar anak laki-laki dan orang yang bergumul dengan masalah homoseksualitas, pelajaran terbesar yang harus dipelajari Jason adalah ia membutuhkan adanya pengakuan dan ikatan dari sesame jenis, kebutuhan yang mau tak mau mengarah pada hubungannya dengan ayahnya. Sehubungan dengan kepribadian ayahnya, merupakan hal yang sulit untuk menyatukan kepingan-kepingan puzzle itu kembali. Ayahnya bukanlah orang yan sibuk, tidak peduli atau tidak bertanggung jawab. Ia hanya tidak tahu apa arti seorang ayah dan bagaimana menjalin hubungan, berkomunikasi, menjadi peka- semua hal semacam itu. Dan Jason, dengan sifat sensitifnya, memiliki kebutuhan yang lebih besar daripada orang lain terhadap kepribadian yang bisa diisi ayahnya.
                Dalam caara yang sama, Jason mendapati bahwa tubuh laki-laki merupakan sebuah misteri baginya, terutama karena ia tidak pernah melihat ayah atau saudara laki-lakinya telanjang. Karena keinginannya untuk mengetahui seperti apa penampilan laki-laki lain, ia menjadi tertarik dengan pornografi. Unsur akar lain dalam pergumulan Jason dengan homoseksualitas adalah penolakan teman-teman sebayanya sebagai seorang laki-laki. Sewaktu kecil ia kelebihan berat badan sehingga sering mendapat julukan yang menyakitkan dari anak-anak lain. Penolakan ini menyebabkan dirinya merasa terasing sehingga ia banyak menghabiskan waktu dalam fantasi yang diciptakannya untuk melindungi dirinya.
                Saya mengaku sering membayangkan orang yang berbeda-beda, bukan secara seksual, melainkan sebagai model dari apa yang saya inginkan. Ketika saya kira-kira berusia delapan tahun, salah seorang dari mereka adalah superman. Saya sangat ingin menjadi orang seperti itu – seorang yang dihormati, berkuasa, dan kuat. Superman mewakili semua karakteristik yang saya butuhkan atau yang tidak saya lihat dalam diri ayah saya atau saudara laki-laki saya atau sosok laki-laki lain dalam kehidupan saya. Jadi, saya begitu merindukannya. Saya begitu tertarik untuk mencari hal-hal yang berbau maskulin. Saya tidak melakukan hubungan seks karena saya tidak memiliki hubungan apa pun. Tetapi, karena saya cenderung sering berfantasi terutama mengenai superman dan hasrat-hasrat lainnya, mudah bagi saya untuk mengambil gambaran laki-laki dan memvisualisasikannya secara seksual. Kemudian, dorongan hasrat seksual yang sangat besar pada masa pubertas dan kemampuan mencapai orgasme dan semua hal semacam itu bercampur menjadi satu. Fantasi seksual menjadi suatu pengalaman yang sangat kuat bagi saya.
                Ketika Jason mencapai akhir masa remajanya, ia menangis kepada Allah agar mengatasi hasratnya terhadap sesame jenis. Ia sangat berharap Allah mau mengambil hasrat tersebut. Tetapi, Jason belajar bahwa Allah tidak ingin mengambil apa pun darinya. Sebaliknya, Ia ingin memberikan sesuatu kepada Jason: kesembuhan, harapan, dan kesehatan. Allah ingin memberi Jason teman-teman baru, identitas baru, pemahaman baru tentang kemaskulinan , cara berpikir yang baru tentang laki-laki, dan cara baru untuk berhubungan dengan perempuan. Allah tidak hanya dapat mengambil hasrat tersebut tanpa memenuhi kebutuhan Jason yang sebenarnya. Saat ini Jason berkata,”Itulah salah satu hal paling berpengaruh yang saya pelajari dari proses kesembuhan dalam hidup saya.”
                Orang-orang yang ingin mengubah orientasi homoseksual mereka sering kali harus berhadapan dengan perilaku dan kebiasaan yang mengidentifikasikan mereka sebagai gay. Jason tidak pernah mengembangkan perilaku dan kebiasaan tersebut. Sesungguhnya, ada orang yang berpikir bahwa Jason adalah seorang pemain futbol atau seorang atlet, meskipun ia tidak memiliki kecenderungan semacam itu.
                Selama masa sekolahnya, ia dijuluki “gendut: dan “orang yang suka menyendiri”, tetapi ia tidak pernah dituduh menjadi seorang homoseksual. Ia tidak pernah merasa seperti seorang perempuan atau merasa bersikap terlalu feminine. Ia juga tidak pernah bergaul dengan orang-orang yang bertingkah laku kewanita-wanitaan , sehingga tak seorang pun menuduhnya seperti itu. Pergumulannya bersifat pribadi, rahasia dan menyiksa batin.
                Sewaktu kuliah di akademi Alkitab, Jason tinggal di asrama dan menceritakan pergumulannya dengan beberapa teman laki-lakinya. Itu adalah sebuah risiko yang menakutkna, dan walaupun tidak setiap orang cukup mengetahui bagaimana mengatasi masalah ini, Jason tidak mengalami penolakan. Kenyataannya, pemuda pertama yang ia beri tahu menjadi salah seorang teman terdekatnya. Ia menceritakan :
                Allah seang menjawab doa saya. KerinduanNya tidak hanya mengambil semua masalah saya, tetapi juga menyediakan umatNya untuk terus bersama-sama memberikan dukungan dan dorongan kepada saya. Dengan bersikap terbuka dan mau menceritakan pergumulan saya dengan orang lain, kebutuhan saya yang sesungguhnya mulai terpenuhi. Saya menjadi seorang pemimpin sebuah kelompok kecil di Portland Fellowship dan terus berjalan dalam kehendak Tuhan. Saya dapat melihat bahwa kebutuhan emosional saya yang sangat dalam terhadap persahabatan laki-laki itulah yang mengendalikan hasrat saya. Tetapi lambat laun, melalui persahabataaan yang positif dengan laki-laki , hasrat seksual saya mulai memudar.
                Salah satu langkah terbesar yang saya lakukan dalam proses perubahan tersebut dimulai pada suatu malam dalam suatu percakapan yang panjang dengan ayah. Kami mengatur waktu di mana kami bisa makan malam dan bercakap-cakap bedua saja – langsung dari hati ke hati. Untuk pertama kalinya, kami saling berbagi hal-hal yang paling pribadi dalam hidup kami. Saya merasakan adanya sebuah hubungan baru dengan dirinya, hbuungan yang mulai menyeingkirkan sebagian keraguan dan ketidakpastian mengenai hubungan kami.
                Pada bulan Januari 1993, Jason bergabung sebagai staf Portland Fellowship karena ia ingin mendapat kesempatan untuk menceritakan kepada orang-orang bahwa perubahan bukanlah hal yang mustahil. Ia rindu menjangkau para remaja dengan kabar baik mengenai kebebasan dari hidup yang didominasi dosa seksual. Selama beberapa tahun berikutnya, ia menjadi dewasa secara rohani, bekerja di belakang pelayanan dan menyelesaikan kuliahnya di jurusan Alkitab.

Perempuan yang Tepat pada Saat yang Tepat
                Akan tetapi, selama masa pertumbuhan iman ini, Jason bergumul dengan masalah yang lain. Ia sama sekali tidak merasa tertarik dengan perempuan. Ada kalanya ia mampu melihat daya tarik seorang gadis secara lahiriah – ia mungkin kelihatan cantik, tetapi baginya itu tidak menjadi pokok persoalan. Seluruh energy dan hasratnya hanya tertuju pada laki-laki yang menarik karena ia ingin menjadi seperti mereka. Ia ingin memeluk mereka, ia ingin diterima oleh mereka. Jika sudah demikian, jauh di dalam lubuh hatinya, ia merasa bahwa seandainya ia berharga, seandainya ia bisa menerima dirinya, seandainya ia dapat meraih kemaskulinan.
                Ketika ia bergumul dengan masalah-masalah ini, Jason sangat merindukan hasrat seksual dan hal-hal romantic dengan perempuan. Kadang kala ia mencoba memaksakan keinginannya dengan memikirkan beberapa perempuan tertentu dan berusaha membayangkan mereka secara seksual. Tentu saja, imajinasi seperti itu hanya meninggalkan perasaan kosong dan ketidakjujuran. AKhirnya, ia menyerah. Ia berhenti berusaha membayangkan seorang perempuan dan kembali pada keadaannya semula yaitu hidup dengan sesame jenis yang tidak jelas. Ia tidak lagi berfantasi seks tentang laki-laki, tetapi ia juga tidak benar-benar menginginkan perempuan.
                Kadang-kadang saya menangis kepada Allah dalam derita dan airmata. Pada Jumat malam yang sepi, saya sangat ingin berkencan dan mengajak keluar seseorang untuk pertama kalinya. Sewaktu saya berdoa, saya berjanji kepada Tuhan bahwa saya tidak akan pernah mengajak  kencan seorang gadis sampai saya sungguh-sungguh tertarik dengannya. Saya tidak akan mempermainkan perasaan seorang perempuan. Saya tidak aakn memanfaatkan mereka hanya untuk melihat apaakh saya merasa tertarik. Ketertarikan saya terhadapnya harus benar-benar merupakan keteratarikan yang pertama, lalu keinginan yang sejujurnya untuk mengajaknya berkencan karena saya ingin mengenalnya. Kerinduan jiwa tersebut harus datang dari Allah. Bukan sesuatu yang bisa saya ciptakan. BUkan sesuatu yang bisa saya palsukan. Jadi, saya hanya menunggu sampai rasa tertarik itu muncul Suatu hari ketika sedang bercengkerama dengan beberapa teman di kantin kampus, saya memandang ke meja seberang dan melihat seorang gadis yang cantik. Senyum dan keramahannya menarik perhatian saya.
                Respons pertama Jason terhadap Amy adalah jawaban doa-doanya. Ia segera menyadari perasaan dan respons yang berbeda terhadap gadis ini. Sesuatu tentang gadis itu menarik perhatiannya. Tampaknya ia menyenangkan. Ia menarik. Ia adalah orang yang sungguh-sungguh ingin dikenal Jason dan diajaknya berkencan.
                Tiba-tiba Jason menghadapi dilemma unik yang lain. Hari itu di kantin ia duduk termenung. “Bagaimana cara saya melakukan hal  ini? Apakah saya harus menulis sebuah surat untuknya? Salah satu surat yang biasa digunakan sewaktu SMP berbunyi, ‘Maukah kamu pergi berkencan denganku? Berilah tanda : Ya. Tidak. Atau mungkin ‘Saya tidak mempunyai ide apapun tentang hal ini.’”
                Untunglah Jason dapat menepis ketakutannya, mengumpulkan keberaniannya, dan mengajak Amy berkencan. Mereka menikmati malam itu, dan selama beberapa bulan berikutnya Jason mendapati bahwa rasa tertariknya berkembang semakin dalam sebagaimana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Jason menghadapi setiap ketakutan yang timbul dalam dirinya dan merasa mendapat banyak berkata sebagaimana keyakinan dirinya terhadap hubungan mereka semakin bertumbuh.
                Amy menjadi pacar pertama saya dalam arti yang sesungguhnya. Ia sedikit mengetahui tentang homoseksualitas, namun karena kerinduannya untuk mengenal saya lebih baik lagi dan mempelajari apa yang telah saya lakukan, ia ikut berpartisipasi dalam program Portland Fellowship selama 8 bulan yang meliputi pelajaran mengenai akar penyebab homoseksualitas dan bagaimana Kristus dapat membantu kita memperoleh kebebasan. Tepatnya satu tahun setelah kencan pertama kami, saya membawanya ke Multnomah Falls – sebuah tempat terkenal di mana ayah saya dulu melamar ibu saya. Saya berlutut dan meminta Amy untuk menjadi istri saya. Ia begitu terkejut sampai saya hampir menjatuhkan cincinnya di jembatan dekat air terjun! Syukurlah, ia menjawab ya. Pernikahan kami pada tanggal 15 Maret 1997 merupakan sebuah upacara yang indah dengan dihadiri teman-teman dan orang-orang yang kami cintai yang memberikan dorongan sepenuhnya kepada kami. Kami memasuki lembaga pernikahan dengan bulan madu yang indah di Puerto Vallarta, Meksiko, dan sejak itu kami memiliki pernikahan harmonis.
                Seperti kebanyakan mantan gay, bagaimanapun, Jason mendapati bahwa pernikahan bukanlah sebuah solusi ajaib untuk melarikan diri dari segala tantangan dan tekanan hidup. Setelah tiga setengah tahun menikah, Jason dan Amy memiliki seorang bayi perempuan, Abigail, yang lahir dengan kelainan jantung yang parah. Mereka mengetahui masalah kesehatannya jauh sebelum ia dilahirkan. Mereka pun sudah diberitahu bahwa Abigail akan membutuhkan transplantasi jantung atau prosedur Norwood (tiga tahap operasi jantung). Keluarga Thompson hidup dengan segudang kecemasan ketika kelahiran itu tiba. Jason mengingat hari-hari pertama Abbie.
                Minggu pertama hidupnya seperti sebuah permainan papan luncur. Lima menit setelah ia lahir, dokter memberi tahu bahwa karena bilik jantung kanannya sangat lemah, transplantasi jantung menjadi satu-satunya pilihan kami. Sepanjang akhir pekan, Allah mengubah keadaan itu. Ia menyembuhkan bagian yang lemah tersebut, dan menjalankan prosedur Norwood. Operasi berjalan lancar, namun malam itu, kami terus berada di sampingnya karena dokter menganggap ia tidak akan berhasil melewati malam tersebut. Tetapi , Allah mengubah hal itu. Saya dan Amy melangkah ke luar di sepanjang koridor dekat lift untuk menangis bahagia, dan ketika kami kembali, tanda-tanda vitalnya menunjukkan kestabilan.
                Proses penyembuhan berjalan lebih lama dari yang diharapkan, namun Jason dan Amy bersukacita setiap hari karena si kecil Abbie bertahan hidup. Setelah tinggal di rumah sakit selama sebulan, mereka akhirnya diperbolehkan membawa pulang Abbie. Sehubungan dengan kebutuhan medis yang rumit, perawatan yang intensif sangat diperlukan setiap waktu, dan tidak sedikit jemaat dari gereja Thompson yang membantu mereka berbelanja, mencuci, memasak, membersihkan rumah dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga lainnya.
                Setelah tiga setengah bulan, Jason dan Amy mendapat izin dokter untuk membawa bayi perempuan mereka ke luar kota. Setelah mereka mengendarai mobil selama beberapa jam dari rumah, Abigail mulai menunjukkan gejala-gejala kesulitan pernapasan. Jason dan Amy segera melaju ke rumah sakit terdekat, namun kondisi Abigail semakin memburuk. Jantung kecilnya sempat berhenti berdetak, tapi kemudian ia dihidupkan kembali dan dibawa menggunakan pesawat ke rumah sakit yang lebih besar. AKan tetapi, jantungnya berhenti berdetak kembali dan segala usaha untuk menyelamatkan nyawanya gagal. Pada Minggu malam, 4 Februari 2001, Jason dan Amy harus menghadapi sebuah situasi yang paling menyedihkan bagi orang tua : kematian anak mereka.
                Pada hari-hari berikutnya, keluarga Thompson menerima banyak curahan kasih dan dukungan dari teman-teman gereja dan keluarga mereka di seluruh negeri. Gereja mereka dipenuhi oleh teman-teman baik dari jauh maupun dari dekat pada acara kebaktian untuk mengenang Abigail. “Gadis kecil ini telah menyentuh hidup begitu banyak orang – dan ia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun.” Kata salah seorang yang sudah tua kepada beberapa ratus orang yang berkumpul bersama untuk mengenang Abigail. Keluarga Thompson tahu bahwa mereka akan selalu merindukan Abigail, namun mereka juga merasa terhibur karena suatu hari mereka akan bertemu kembali di surga.
                Dalam setahun belakangan ini, Jason telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam perannya sebagai ayah dan suami. Di tengah-tengah tantangan hidup, ia menyadari bahwa ia telah banyak belajar berbagai hal positif dari ayahnya – kasih terhadap sesame, kasih untuk pelayanan, dan tahun-tahun penuh hikmat- di mana ia berdoa agar bisa menggabungkan hal-hal tersebut dengan kasih sayang dan perhatian yang dulu tidak didapatinya.
                Sekarang, Jason menjabat sebagai direktur Portland Fellowship. Ia juga baru saja ditunjuk sebagai direktur Exodus Youth, sebuah pelayanan baru untuk menjangkau para remaja yang bergumul dengan masalah identitas seksual. Jason dan Amy adalah pemimpin kelompok persekutuan pasangan muda di gereja mereka, dan Jaso juga telah ditahbiskan sebagai seorang penginjil. Pendetanya mentahbiskannya pada akhir pekan pernikahannya.
                Jason percaya dengan segenap hatinya bahwa kebebasan tersedia bagi mereka yang bergumul dengan homoseksualitas – kebebasan sejati dan bukan apa yang ia gambarkan sebagai “terlalu memaksakan diri”. Jason ercaya pada kebebasan yang berarti tidak berkata tidak setiap hari terhadap hasrat dan pikiran homoseksual. Ia menegaskan bahwa ketika kita berjalan bersama Allah, kita mampu mengalami pembaruan sejati atas pikiran kita, yang memampukan kita untuk mengatasi cobaan apa pun yang mungkin menimpa kita.
                Ia bersukacita atas kenyataan bahwa kini, ketika ia berhadapan dengan laki-laki lain, ia tidak lagi memiliki hasrat seksual ataupun emosional terhadap mereka. Sebaliknya , ada keyakinan di dalam batinnya untuk memandang laki-laki dan berkata,”Saya merasa seperti salah seorang dari mereka. Saya memang salah seorang dari mereka. Mereka sama seperti saya. Mereka memiliki pergumulan seperti saya. Kami mirip.”
                Pada saat bersamaan , Jason mampu menikmati hubungan dengan Amy secara emosional, seksual, dan rohani. “Saya mencintai istri saya” katanya. “Saya begitu merasa damai tentang siapa saya dengannya dan sukacita yang ia bawa dalam hidup saya. Saya tidak pernah berharap dan tidak ingin kembali pada diri saya sebelumnya – merasakan hasrat dan kerinduan terhadap laki-laki untuk mendampingi dan memeluk, mencintai, dan menerima saya.”
                Bagi orang-orang yang masih bergumul, Jason memberikan kesimpulan dengan berkata :
Saya sangat menganjurkan Anda untuk berdoa, seperti Bapa di dalam Markus 9:24, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” Allah dapat mengubah hati Anda luar dalam. Allah dapat memperbarui pikiran Anda. Allah dapat menjadikan diri Anda seorang manusia baru yang utuh. Kalau melihat ke belakang, saya sama sekali berbeda dengan diri saya sewaktu SMU dalam berbagai hal, baik bentuk maupun jenis. Saya tahu setiap orang bertumbuh dan berubah. Akan tetapi menuruti filosofi saya, pikiran , kerinduan, seksualitas, segala sesuatu tentang diri saya sepenuhnya diperbarui dan berubah, dan saya percaya saya masih dalam proses perubahan untuk menjadi sama seperti pribadi yang Allah inginkan atas diri saya. Yesus Kristus benar-benar Allah yang penuh belas kasihan dan rahmat. Cukup aneh memang, saya sekarang sangat bersyukur  telah mengalami pergumulan homoseksual. Pada saat saya dulu menyerahkan pergumulan tersebut kepada Allah, saya membiarkan Ia mengubah dan membentuk saya menjadi diri saya saat ini. Saya bersyukur Ia memilih saya untuk menjangkau orang-orang yang terluka, dan saya juga bersyukur Dia menganugerahi saya kerinduan tersebut. Di dalam Dia, tidak ada rahasia. Ia sungguh-sungguh Allah yang Maha Besar. Carilah Dia dengan segenap hatimu. Anda akan menemukanNya.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home