Kabar Terbaik yang Pernah saya dengar
Jason Thompson
Bebas dari Dosa Sodom (Bob Davies , Lela Gilbert)
Saat itu saya
berusia empat belas tahun dan sedang duduk sendirian di rumah kakek-nenk saya
dengan sebuah Alkitab di atas pangkuan. Karena ayah saya adalah seorang pendeta
Episkopal dan saya dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen, saya sangat akrab
dengan berbagai cerita Alkitab. Namun hari itu, saya sangat ingin tahu tentang
apa yang dikatakan Allah mengenai homoseksualitas. Setelah membaca sebentar,
firmanNya sangat jelas menyebutkan bahwa
Allah menganggap homoseksualitas sebagai dosa (Im 18:22; Rm 1:26). Penemuan ini
membuat saya semakin bertambah bingung lebih dari sebelumnya.
Jadi dimulailah kisah Jason Thompson dengan pergumulannya
melawan perasaan homoseksualitas. Sebagai seorang remaja, ia terperangkap di
antara kehidupan “normal” yang ia lihat di sekelilingnya, hubungan wajar antara
laki-laki dan perempuan yang ia lihat di gerejanya, dengan gejolak emosi yang
dalam dan kuat dalam dirinya.
Sebelm
ia mencari jawaban secara alkitabiah, Jason mendapat mimpi yang jelas dan kuat
di mana ia menemukan dirinya terlibat dalam perilaku homoseksual. Ia terbangun dengan
perasaan takut dan bingung. Sejak saat itu, Jason merasakan adanya hasrat yang
berkembang di dalam dirinya untuk berhubungan dekat secara fisik dengan teman
laki-laki sebayanya.
Dari
mana hasrat itu muncul? Jason berulang-ulang mengajukan pertanyaan yang sama
terhadap dirinya. Ia benci dengan perasaan yang terus-menerus menggoda dan
menyiksanya. Ia tidak tahu apa yang sedang mengorbankan hasrat tersebut, tapi
ia tahu bahwa sesungguhnya ia tidak menginginkannya. Ia juga memutuskan untuk
menyimpan rapat-rapat perasaan aneh tersebut. Sewaktu ia bergumul dengan hasrat
homoseksual, Jason berdoa dengan sungguh-sungguh agar Allah membuangnya.
Sayangnya, perasaan itu tidak juga hilang. “Mengapa Ia tidak menjawab doaku?”
Jason bertanya-tanya. Ia merasa ragu-ragu apakah Allah sungguh-sungguh peduli
terhadapnya.
Seperti
sudah diduga sebelumnya, bersekolah di SMU justru membuatnya semakin bertambah
bingung. Masih tidak yakin dengan identitas seksualnya, Jason mencari teman
laki-laki yang dapat ia ajak berbagi kedekatan emosional, sambil berharap
adanya keintiman secara fisik. Sebuah episode percobaan seksual dengan salah
seorang temannya terjadi pada suatu malam. PEngalaman itu memuaskan sebagian
rasa ingin tahu yang timbul dari kehidupan fantasinya, namun ia tidak pernah
sepenuhnya merasa puas. Tidak peduli betapa giatnya ia terus mendoakan
pergumulannya, Allah masih tidak mengambil hasratnya terhadap sesama jenis.
Sebagai
seorang siswa senior , Jason akhirnya mengumpulkan cukup keberanian untuk mencari
pertolongan. Ia menemukan nomor telepon sebuah jalur bantuan konseling remaja.
Setelah dengan gugup ia menceritakan seluruh kisahnya kepada perempuan yang
menerima telepon, dengan dingin ia menjawab, “Orang yang menangani masalah gay
akan masuk hari Jumat.” Jason merasa dipermainkan. Ia berkata :
Saya
membanting telepon dalam keadaan frustasi lalu naik skuter Honda Elite merah
saya. Sambil melaju kencang menuju bagian tenggara Portland, saya merasa marah
dan putus asa. Saya bahkan berpikir untuk bunuh diri dengan menabrakkan diri di
area parkir mobil. Akan tetapi, Allah mengurungkan niat saya dan menenangkan
hati saya.
Pada
musim gugur tahun1990, Jason mendapatkan seorang kekasih di gereja. Mereka
mulai berpacaran dan Jason berpura-pura tertarik kepada gadis itu, namun
ketegangan dari perasaannya yang bertentangan menjadi semakin kelihatan bagi
mereka yang mengenalnya Akhirnya, tanpa ia sendiri menduganya, dalam sebuah
percakapan yang menakutkan Jason mengakui pergumulan homseksualnya kepada gadis
ini.
Secara
mengejutkan, ia mengucapkan kata-kata pengharapan dan dorongan kepada Jason. Ia
bahkan mencarikan nomor telepon Portland Fellowship , sebuah pelayanan lokas
Exodus. Jason mengangkat telepon dan memutar nomor tersebut.
Phil
Hobizal, direktur Portaland Fellowship, mendengarkan kisah Jason dengan penuh
perhatian. Bukannya melemparkan Jason kepada orang lain, atau menolaknya karena
perasaan homoseksualnya, Phil justru meyakinkan Jason bahwa pertolongan tersedia
baginya. Mereka berdua membuat rencana pertemuan untuk minggu berikutnya. “Perubahan
pasti terjadi,” dengan penuh keyakinan Phil mendorong Jason. “Itu adalah kabar
terbaik yang pernah saya dengar!” Jason menjawab.
Hubungan
yang Retak dengan Ayah
Jason
ingin orangtuanya mengetahui pergumulannya, tetapi ia merasa akin bahwa ia
tidak dapat berbicara dengan ayahnya mengenai hal ini. Ia selalu merasa jauh
dan asing dengan ayahnya. Sementara ia sering menceritakan pikiran dan
perasaannya kepada ibunya, ia tidak pernah merasa sebebas itu dengan ayahnya. Ia
menjelaskan hubungan mereka demikian :
Dalam masa pertumbuhan saya, hal
itu tidak tampak luar biasa. Tidak ada yang aneh. Hanya seperti itulah sikap
ayah saya. Saya tidak memiliki kebencian atau sakit hati apa pun terhadap
dirinya. Sebagai koreksi, pada batas tertentu ia adalah seorang ayah yang
sangat pasif. Ia tidak pernah menghajar, mendisiplinkan, atau mengurung saya.
Dalam keluarga kami, semua itu adalah tanggung jawab ibu saya. Jadi, saya tidak
merasa takut terhadap ayah. Namun, pada saat bersamaan, saya berpikir bahwa
saya sesungguhnya juga tidak memiliki kedekatan dengannya. Saya tidak selalu
menunggu ayah pulang sehingga kami dapat bermain atau melakukan sesuatu
bersama-sama. Hanya saja, ia bukanlah orang yang ingin saya ajak bermain atau
menghabiskan waktu luang bersama-sama. Dan beban pelayaan membuatnya sering
tidak berada di rumah pada malam hari.
Ayah saya adalah seorang pendeta
gereja sehingga saya menghormatinya karena mengetahui ia adalah utusan Allah
dan ia memelihara jemaat. Jadi, dalam berbagai hal saya menghargai ayah. Saya
tidak ingin menyakiti hatinya, atau berkata-kata yang tidak baik terhadapnya.
Beberapa kali saya sebenarnya merasa sangat dekat dengannya, tapi itu sangat,
sangat jarang terjadi. Ia adalah orang yang bertanggung jawab dan selalu
melakukan semua yang bisa dilakukannya untuk menghidupi keluarga. Akan tetapi,
ketika menyangkut masalah hubungan atau
masalah pribadi, ayah bukanlah orang yang benar-benar dapat saya hubungi.
Saya teringat pada suatu hari
ketika sedang berjalan menuju gereja dengan ayah dan merasa sepertinya kami
sedang terlibat dalam percakapan yang sangat menyenangkan – percakapan yang
sangat berarti bagi saya. Kami berbicara tentang hidup dan hal-hal umum
lainnya. Kemudian ibu saya bertanya, “Bagaimana waktumu tadi bersama ayah?” “Oh,
kami berbicara dari hati ke hati semacam percakapan antar laki-laki.” Dan ayah
memandang saya dengan wajah yang menyiratkan kebingungan, seolah-olah berkata,”Apa
maksudmu? Kita tidak melakukan percakapan antar laki-laki.”
Bila memandang ke belakang, ia
mungkin berpikir bahwa apa yang saya maksudkan adalah percapaan mengenai seks,
hal-hal yang dibicarakan antar laki-laki. Tetapi, persepsi saya tentang “hubungan”
kami, saat-saat pribadi antara ayah-anak, menjadi rusak karena itu bukanlah apa
yang ayah pikirkan, bukan apa yang ia lihat.
Di
sisi lain, ibu Jason adalah tipe orang yang ia bisa ajak berbagi pikiran dan
waktu. Ia masih ingat ketika ibunya masuk ke kamarnya pada sautu pagi,
membangunkannya, dan kemudian duduk di atas ranjang dan berbicara kepadanya
tentang kehidupan. Ia sungguh-sungguh menaruh perhatian terhadap Jason, dan ia
merasa memiliki hubungan dekat dengan ibunya. Pada saat ibunya sedang merasa
putus asa dan terluka, ia merasa empati, dan seringkali ia merasa seolah-olah
kehadiranna diperlukan untuk memberikan dorongan dan dukungan kepada ibunya.
Satu hal, keluarga Thomson bukan keluarga yang berkecukupan secara materi.
Selama beberapa tahun mereka bahkan tinggal dalam bis bekas yang sudah
direnovasi. Halini bukan pengalaman negative bagi Jason, tapi tidak diragukan
lagi merupakan saat-saat sulit orangtuanya.
Meskipun
ia bertumbuh dalam lingkungan gereja Episkopal ayahnya, selama masa-masa
remajanya, Jason bergabung dengan sebuah gereja karismatik. Kerinduan
pribadinya akan Allah telah menuntunnya menuju arah denominasi yang berbeda
dengan keluarganya. Dan sekarang, ia ragu apakah masalah homoseksualitas ini
akan memaksanya melangkah lebih jauh. Walaupun demikian, beberapa hari setelah
menghubungi Portland Fellowhsip Jason memutuskan untuk mengambil risiko dan
mencoba berbicara dengan ibunya. “Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Aku…. Aku
telah bergumul dengan kecenderungan homoseksualitas selama ini, tapi….”
Ia
menghentikan Jason sebelum ia menyelesaikan pengakuannya. “Tunggu. Aku akan
memanggil ayahmu. Ia juga perlu mendengarnya.” “Tidak, tunggu Ma. Kupikir ia
tidak akan mengerti.”
“Ini penting, Jason. Ia harus mengetahuinya,” ia
memaksa.
Ketakutan dan kegugupan Jason menyeruak. Tidak ada
jalan keluar dari diskusi tersebut. Ia berjalan mondar-mandir di dalam rumah
sementara ibunya pergi keluar dan memanggil ayahnya. Setelah Rev. Thompson
berada di dalam ruangan, Jason mengambil napas dalam-dalam dan menjelaskan
situasinya. “Aku sedang mengalami pergumulan,” ia memulai,”dengan
homoseksualitas.”
Setelah
memberikan gambaran singkat tentang kesulitan-kesulitannya, Jason juga
menceritakan tentang harapan yang diperolehnya di Portland Fellowship. Ayah dan
ibunya mendengarkan dngan sopan. Mereka tidak menghakimi dan menyalahkannya.
Setelah semuanya selesai dikatakan, Jason meninggalkan rumah dengan perasaan
bebas yang belum pernah ia alami sebelumnya. Beratnya rahasia yang ia simpan
selama bertahun-tahun mulai menguap. Beberapa waktu kemudian, ia baru
mengetahui kalau orangtuanya hampir tidak tidur mala itu untuk berbicara,
menangis dan berdoa.
Hari
Minggu berikutnya, Jason pergi ke gereja ayahnya. Sebelum kebaktian dimulai,
ayahnya berbicara dengannya di luar. “Jason,” katanya, “ayah telah sering
menyaksikan berbagai orang yang memiliki masalah selama masa pelayanan ayah.
Ttapi, ayah belum pernah melihat seseorang yang mengatasi masalahnya dengan
pintar sepertimu. Ayah belum pernah merasa sebangga ini terhadapmu.”
Tidak Ada
Pemulihan yang Cepat
Sebagaimana
ia diberkati oleh kasih sayang dan kata-kata dorongan dari orangtuanya,
tahun-tahun pertama keterlibatannya di Portland Fellowship berjalan lambat.
Selama pertemuan setiap Kamis malam ia belajar tentang akr dari hasrat
homoseksualitasnya. Ia diperkenalkan pada rencana pengampunan Allah dan diberi
perlengkapan yang dapat membantunya meraih kebebasan yang sangat dirindukannya
dari pergumulan homoseksualnya. Akan tetapi, tidak ada pemulihan yang cepat
bagi perasaannya.
Kadang-kadang
pada akhir pekan Jason mengenmudikan skuternya menuju pusat kota Portland. Ia menggunakan
sebagian besar waktunya untuk “sekedar melihat-lihat”, memeriksa apa saja yang
tersedia dalam komunitas gay, secara diam-diam berharap bahwa seseorang atau
sesuatu akan mengisi celah kosong kebutuhan emosional yang masih ada dalam
dirinya.
Pornografi
masih memegang peranan kuat sdalam hidpnya, dan hal itu terbukti menjadi suatu
penghalang bagi hubungannya dengan Allah. Akhirnya, setelah satu tahun penuh
terlibat dalam Portland Fellowship, Jason menyadari bahwa ia tidak bisa
mengikut keduanya sekaligus : ia tidak dapat mengikuti Allah sementara ia masih
terus memupuk harapan untuk memuaskan dorongan homoseksualnya. Ia menjelaskan
bagaimana ia merasa dikendalikan Allah.
Saya sebenarnya sangat
merindukan hubungan seks bebas. Saya memiliki semacam hasrat untuk pergi keluar
dan berhubungan seks dengan orang-orang tak dikenal. Saya banyak mengetahui
arena orang-orang yang tak dikenal. Saya juga tahu tentang taman dan toko-toko
buku semacam itu. Namun, Allah tidak akan membiarkan saya pergi ke
tempat-tempat tersebut. Ia menjaga saya dari kesulitan melalui ketakutan saya
bila tertangkap, ketakutan saya bila terkena AIDS, dan perasaan-perasaan lain
tentang segala sesuatunya. Beberapa kali saya terlibat dalam pergaulan bebas,
namun saya tidak membiarkan diri saya terjangkit AIDS. Itu bukanlah perbuatan
homoseksual yang sempurna, melainkan lebih menyerupai stimulasi visual dan
saling bersentuhan. Dan segera setelah melakukannya saya merasa hancur.
Kadang-kadang saya berniat bunuh diri karena saya tahu betapa buruk dan
salahnya perbuatan tersebut. Hubungan seks bebas tidak pernah menjadi masalah
bagi saya. Dosa saya sebenarnya terletak dalam pikiran, fantasi dan hasrat
saya.
Seperti
sebagian besar anak laki-laki dan orang yang bergumul dengan masalah
homoseksualitas, pelajaran terbesar yang harus dipelajari Jason adalah ia
membutuhkan adanya pengakuan dan ikatan dari sesame jenis, kebutuhan yang mau
tak mau mengarah pada hubungannya dengan ayahnya. Sehubungan dengan kepribadian
ayahnya, merupakan hal yang sulit untuk menyatukan kepingan-kepingan puzzle itu
kembali. Ayahnya bukanlah orang yan sibuk, tidak peduli atau tidak bertanggung
jawab. Ia hanya tidak tahu apa arti seorang ayah dan bagaimana menjalin
hubungan, berkomunikasi, menjadi peka- semua hal semacam itu. Dan Jason, dengan
sifat sensitifnya, memiliki kebutuhan yang lebih besar daripada orang lain
terhadap kepribadian yang bisa diisi ayahnya.
Dalam
caara yang sama, Jason mendapati bahwa tubuh laki-laki merupakan sebuah misteri
baginya, terutama karena ia tidak pernah melihat ayah atau saudara laki-lakinya
telanjang. Karena keinginannya untuk mengetahui seperti apa penampilan
laki-laki lain, ia menjadi tertarik dengan pornografi. Unsur akar lain dalam
pergumulan Jason dengan homoseksualitas adalah penolakan teman-teman sebayanya
sebagai seorang laki-laki. Sewaktu kecil ia kelebihan berat badan sehingga
sering mendapat julukan yang menyakitkan dari anak-anak lain. Penolakan ini
menyebabkan dirinya merasa terasing sehingga ia banyak menghabiskan waktu dalam
fantasi yang diciptakannya untuk melindungi dirinya.
Saya mengaku sering membayangkan orang yang
berbeda-beda, bukan secara seksual, melainkan sebagai model dari apa yang saya
inginkan. Ketika saya kira-kira berusia delapan tahun, salah seorang dari
mereka adalah superman. Saya sangat ingin menjadi orang seperti itu – seorang yang
dihormati, berkuasa, dan kuat. Superman mewakili semua karakteristik yang saya
butuhkan atau yang tidak saya lihat dalam diri ayah saya atau saudara laki-laki
saya atau sosok laki-laki lain dalam kehidupan saya. Jadi, saya begitu
merindukannya. Saya begitu tertarik untuk mencari hal-hal yang berbau maskulin.
Saya tidak melakukan hubungan seks karena saya tidak memiliki hubungan apa pun.
Tetapi, karena saya cenderung sering berfantasi terutama mengenai superman dan
hasrat-hasrat lainnya, mudah bagi saya untuk mengambil gambaran laki-laki dan memvisualisasikannya
secara seksual. Kemudian, dorongan hasrat seksual yang sangat besar pada masa
pubertas dan kemampuan mencapai orgasme dan semua hal semacam itu bercampur
menjadi satu. Fantasi seksual menjadi suatu pengalaman yang sangat kuat bagi saya.
Ketika
Jason mencapai akhir masa remajanya, ia menangis kepada Allah agar mengatasi
hasratnya terhadap sesame jenis. Ia sangat berharap Allah mau mengambil hasrat
tersebut. Tetapi, Jason belajar bahwa Allah tidak ingin mengambil apa pun
darinya. Sebaliknya, Ia ingin memberikan sesuatu kepada Jason: kesembuhan,
harapan, dan kesehatan. Allah ingin memberi Jason teman-teman baru, identitas
baru, pemahaman baru tentang kemaskulinan , cara berpikir yang baru tentang
laki-laki, dan cara baru untuk berhubungan dengan perempuan. Allah tidak hanya
dapat mengambil hasrat tersebut tanpa memenuhi kebutuhan Jason yang sebenarnya.
Saat ini Jason berkata,”Itulah salah satu hal paling berpengaruh yang saya
pelajari dari proses kesembuhan dalam hidup saya.”
Orang-orang
yang ingin mengubah orientasi homoseksual mereka sering kali harus berhadapan
dengan perilaku dan kebiasaan yang mengidentifikasikan mereka sebagai gay.
Jason tidak pernah mengembangkan perilaku dan kebiasaan tersebut. Sesungguhnya,
ada orang yang berpikir bahwa Jason adalah seorang pemain futbol atau seorang
atlet, meskipun ia tidak memiliki kecenderungan semacam itu.
Selama
masa sekolahnya, ia dijuluki “gendut: dan “orang yang suka menyendiri”, tetapi
ia tidak pernah dituduh menjadi seorang homoseksual. Ia tidak pernah merasa
seperti seorang perempuan atau merasa bersikap terlalu feminine. Ia juga tidak
pernah bergaul dengan orang-orang yang bertingkah laku kewanita-wanitaan ,
sehingga tak seorang pun menuduhnya seperti itu. Pergumulannya bersifat
pribadi, rahasia dan menyiksa batin.
Sewaktu
kuliah di akademi Alkitab, Jason tinggal di asrama dan menceritakan
pergumulannya dengan beberapa teman laki-lakinya. Itu adalah sebuah risiko yang
menakutkna, dan walaupun tidak setiap orang cukup mengetahui bagaimana
mengatasi masalah ini, Jason tidak mengalami penolakan. Kenyataannya, pemuda
pertama yang ia beri tahu menjadi salah seorang teman terdekatnya. Ia
menceritakan :
Allah seang menjawab doa saya.
KerinduanNya tidak hanya mengambil semua masalah saya, tetapi juga menyediakan
umatNya untuk terus bersama-sama memberikan dukungan dan dorongan kepada saya.
Dengan bersikap terbuka dan mau menceritakan pergumulan saya dengan orang lain,
kebutuhan saya yang sesungguhnya mulai terpenuhi. Saya menjadi seorang pemimpin
sebuah kelompok kecil di Portland Fellowship dan terus berjalan dalam kehendak
Tuhan. Saya dapat melihat bahwa kebutuhan emosional saya yang sangat dalam
terhadap persahabatan laki-laki itulah yang mengendalikan hasrat saya. Tetapi
lambat laun, melalui persahabataaan yang positif dengan laki-laki , hasrat
seksual saya mulai memudar.
Salah satu langkah terbesar yang
saya lakukan dalam proses perubahan tersebut dimulai pada suatu malam dalam
suatu percakapan yang panjang dengan ayah. Kami mengatur waktu di mana kami
bisa makan malam dan bercakap-cakap bedua saja – langsung dari hati ke hati.
Untuk pertama kalinya, kami saling berbagi hal-hal yang paling pribadi dalam
hidup kami. Saya merasakan adanya sebuah hubungan baru dengan dirinya, hbuungan
yang mulai menyeingkirkan sebagian keraguan dan ketidakpastian mengenai hubungan
kami.
Pada bulan Januari 1993, Jason bergabung sebagai staf
Portland Fellowship karena ia ingin mendapat kesempatan untuk menceritakan
kepada orang-orang bahwa perubahan bukanlah hal yang mustahil. Ia rindu
menjangkau para remaja dengan kabar baik mengenai kebebasan dari hidup yang
didominasi dosa seksual. Selama beberapa tahun berikutnya, ia menjadi dewasa
secara rohani, bekerja di belakang pelayanan dan menyelesaikan kuliahnya di
jurusan Alkitab.
Perempuan
yang Tepat pada Saat yang Tepat
Akan
tetapi, selama masa pertumbuhan iman ini, Jason bergumul dengan masalah yang
lain. Ia sama sekali tidak merasa tertarik dengan perempuan. Ada kalanya ia
mampu melihat daya tarik seorang gadis secara lahiriah – ia mungkin kelihatan
cantik, tetapi baginya itu tidak menjadi pokok persoalan. Seluruh energy dan
hasratnya hanya tertuju pada laki-laki yang menarik karena ia ingin menjadi
seperti mereka. Ia ingin memeluk mereka, ia ingin diterima oleh mereka. Jika
sudah demikian, jauh di dalam lubuh hatinya, ia merasa bahwa seandainya ia
berharga, seandainya ia bisa menerima dirinya, seandainya ia dapat meraih
kemaskulinan.
Ketika
ia bergumul dengan masalah-masalah ini, Jason sangat merindukan hasrat seksual
dan hal-hal romantic dengan perempuan. Kadang kala ia mencoba memaksakan
keinginannya dengan memikirkan beberapa perempuan tertentu dan berusaha
membayangkan mereka secara seksual. Tentu saja, imajinasi seperti itu hanya
meninggalkan perasaan kosong dan ketidakjujuran. AKhirnya, ia menyerah. Ia
berhenti berusaha membayangkan seorang perempuan dan kembali pada keadaannya
semula yaitu hidup dengan sesame jenis yang tidak jelas. Ia tidak lagi
berfantasi seks tentang laki-laki, tetapi ia juga tidak benar-benar
menginginkan perempuan.
Kadang-kadang saya menangis kepada Allah dalam
derita dan airmata. Pada Jumat malam yang sepi, saya sangat ingin berkencan dan
mengajak keluar seseorang untuk pertama kalinya. Sewaktu saya berdoa, saya
berjanji kepada Tuhan bahwa saya tidak akan pernah mengajak kencan seorang gadis sampai saya
sungguh-sungguh tertarik dengannya. Saya tidak akan mempermainkan perasaan
seorang perempuan. Saya tidak aakn memanfaatkan mereka hanya untuk melihat
apaakh saya merasa tertarik. Ketertarikan saya terhadapnya harus benar-benar
merupakan keteratarikan yang pertama, lalu keinginan yang sejujurnya untuk
mengajaknya berkencan karena saya ingin mengenalnya. Kerinduan jiwa tersebut
harus datang dari Allah. Bukan sesuatu yang bisa saya ciptakan. BUkan sesuatu
yang bisa saya palsukan. Jadi, saya hanya menunggu sampai rasa tertarik itu
muncul Suatu hari ketika sedang bercengkerama dengan beberapa teman di kantin
kampus, saya memandang ke meja seberang dan melihat seorang gadis yang cantik.
Senyum dan keramahannya menarik perhatian saya.
Respons
pertama Jason terhadap Amy adalah jawaban doa-doanya. Ia segera menyadari
perasaan dan respons yang berbeda terhadap gadis ini. Sesuatu tentang gadis itu
menarik perhatiannya. Tampaknya ia menyenangkan. Ia menarik. Ia adalah orang
yang sungguh-sungguh ingin dikenal Jason dan diajaknya berkencan.
Tiba-tiba
Jason menghadapi dilemma unik yang lain. Hari itu di kantin ia duduk termenung.
“Bagaimana cara saya melakukan hal ini?
Apakah saya harus menulis sebuah surat untuknya? Salah satu surat yang biasa
digunakan sewaktu SMP berbunyi, ‘Maukah kamu pergi berkencan denganku? Berilah
tanda : Ya. Tidak. Atau mungkin ‘Saya tidak mempunyai ide apapun tentang hal
ini.’”
Untunglah
Jason dapat menepis ketakutannya, mengumpulkan keberaniannya, dan mengajak Amy
berkencan. Mereka menikmati malam itu, dan selama beberapa bulan berikutnya
Jason mendapati bahwa rasa tertariknya berkembang semakin dalam sebagaimana
mereka sering menghabiskan waktu bersama. Jason menghadapi setiap ketakutan
yang timbul dalam dirinya dan merasa mendapat banyak berkata sebagaimana
keyakinan dirinya terhadap hubungan mereka semakin bertumbuh.
Amy menjadi pacar pertama saya
dalam arti yang sesungguhnya. Ia sedikit mengetahui tentang homoseksualitas,
namun karena kerinduannya untuk mengenal saya lebih baik lagi dan mempelajari
apa yang telah saya lakukan, ia ikut berpartisipasi dalam program Portland
Fellowship selama 8 bulan yang meliputi pelajaran mengenai akar penyebab
homoseksualitas dan bagaimana Kristus dapat membantu kita memperoleh kebebasan.
Tepatnya satu tahun setelah kencan pertama kami, saya membawanya ke Multnomah
Falls – sebuah tempat terkenal di mana ayah saya dulu melamar ibu saya. Saya
berlutut dan meminta Amy untuk menjadi istri saya. Ia begitu terkejut sampai
saya hampir menjatuhkan cincinnya di jembatan dekat air terjun! Syukurlah, ia
menjawab ya. Pernikahan kami pada tanggal 15 Maret 1997 merupakan sebuah
upacara yang indah dengan dihadiri teman-teman dan orang-orang yang kami cintai
yang memberikan dorongan sepenuhnya kepada kami. Kami memasuki lembaga
pernikahan dengan bulan madu yang indah di Puerto Vallarta, Meksiko, dan sejak
itu kami memiliki pernikahan harmonis.
Seperti
kebanyakan mantan gay, bagaimanapun, Jason mendapati bahwa pernikahan bukanlah
sebuah solusi ajaib untuk melarikan diri dari segala tantangan dan tekanan
hidup. Setelah tiga setengah tahun menikah, Jason dan Amy memiliki seorang bayi
perempuan, Abigail, yang lahir dengan kelainan jantung yang parah. Mereka
mengetahui masalah kesehatannya jauh sebelum ia dilahirkan. Mereka pun sudah
diberitahu bahwa Abigail akan membutuhkan transplantasi jantung atau prosedur
Norwood (tiga tahap operasi jantung). Keluarga Thompson hidup dengan segudang
kecemasan ketika kelahiran itu tiba. Jason mengingat hari-hari pertama Abbie.
Minggu pertama hidupnya seperti
sebuah permainan papan luncur. Lima menit setelah ia lahir, dokter memberi tahu
bahwa karena bilik jantung kanannya sangat lemah, transplantasi jantung menjadi
satu-satunya pilihan kami. Sepanjang akhir pekan, Allah mengubah keadaan itu.
Ia menyembuhkan bagian yang lemah tersebut, dan menjalankan prosedur Norwood. Operasi
berjalan lancar, namun malam itu, kami terus berada di sampingnya karena dokter
menganggap ia tidak akan berhasil melewati malam tersebut. Tetapi , Allah
mengubah hal itu. Saya dan Amy melangkah ke luar di sepanjang koridor dekat
lift untuk menangis bahagia, dan ketika kami kembali, tanda-tanda vitalnya menunjukkan
kestabilan.
Proses
penyembuhan berjalan lebih lama dari yang diharapkan, namun Jason dan Amy bersukacita
setiap hari karena si kecil Abbie bertahan hidup. Setelah tinggal di rumah
sakit selama sebulan, mereka akhirnya diperbolehkan membawa pulang Abbie.
Sehubungan dengan kebutuhan medis yang rumit, perawatan yang intensif sangat
diperlukan setiap waktu, dan tidak sedikit jemaat dari gereja Thompson yang
membantu mereka berbelanja, mencuci, memasak, membersihkan rumah dan
mengerjakan tugas-tugas rumah tangga lainnya.
Setelah
tiga setengah bulan, Jason dan Amy mendapat izin dokter untuk membawa bayi
perempuan mereka ke luar kota. Setelah mereka mengendarai mobil selama beberapa
jam dari rumah, Abigail mulai menunjukkan gejala-gejala kesulitan pernapasan.
Jason dan Amy segera melaju ke rumah sakit terdekat, namun kondisi Abigail
semakin memburuk. Jantung kecilnya sempat berhenti berdetak, tapi kemudian ia
dihidupkan kembali dan dibawa menggunakan pesawat ke rumah sakit yang lebih
besar. AKan tetapi, jantungnya berhenti berdetak kembali dan segala usaha untuk
menyelamatkan nyawanya gagal. Pada Minggu malam, 4 Februari 2001, Jason dan Amy
harus menghadapi sebuah situasi yang paling menyedihkan bagi orang tua :
kematian anak mereka.
Pada
hari-hari berikutnya, keluarga Thompson menerima banyak curahan kasih dan
dukungan dari teman-teman gereja dan keluarga mereka di seluruh negeri. Gereja
mereka dipenuhi oleh teman-teman baik dari jauh maupun dari dekat pada acara
kebaktian untuk mengenang Abigail. “Gadis kecil ini telah menyentuh hidup
begitu banyak orang – dan ia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun.” Kata
salah seorang yang sudah tua kepada beberapa ratus orang yang berkumpul bersama
untuk mengenang Abigail. Keluarga Thompson tahu bahwa mereka akan selalu
merindukan Abigail, namun mereka juga merasa terhibur karena suatu hari mereka
akan bertemu kembali di surga.
Dalam
setahun belakangan ini, Jason telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat
dalam perannya sebagai ayah dan suami. Di tengah-tengah tantangan hidup, ia
menyadari bahwa ia telah banyak belajar berbagai hal positif dari ayahnya –
kasih terhadap sesame, kasih untuk pelayanan, dan tahun-tahun penuh hikmat- di
mana ia berdoa agar bisa menggabungkan hal-hal tersebut dengan kasih sayang dan
perhatian yang dulu tidak didapatinya.
Sekarang,
Jason menjabat sebagai direktur Portland Fellowship. Ia juga baru saja ditunjuk
sebagai direktur Exodus Youth, sebuah pelayanan baru untuk menjangkau para
remaja yang bergumul dengan masalah identitas seksual. Jason dan Amy adalah
pemimpin kelompok persekutuan pasangan muda di gereja mereka, dan Jaso juga
telah ditahbiskan sebagai seorang penginjil. Pendetanya mentahbiskannya pada
akhir pekan pernikahannya.
Jason
percaya dengan segenap hatinya bahwa kebebasan tersedia bagi mereka yang
bergumul dengan homoseksualitas – kebebasan sejati dan bukan apa yang ia
gambarkan sebagai “terlalu memaksakan diri”. Jason ercaya pada kebebasan yang
berarti tidak berkata tidak setiap hari terhadap hasrat dan pikiran
homoseksual. Ia menegaskan bahwa ketika kita berjalan bersama Allah, kita mampu
mengalami pembaruan sejati atas pikiran kita, yang memampukan kita untuk
mengatasi cobaan apa pun yang mungkin menimpa kita.
Ia
bersukacita atas kenyataan bahwa kini, ketika ia berhadapan dengan laki-laki
lain, ia tidak lagi memiliki hasrat seksual ataupun emosional terhadap mereka.
Sebaliknya , ada keyakinan di dalam batinnya untuk memandang laki-laki dan
berkata,”Saya merasa seperti salah seorang dari mereka. Saya memang salah
seorang dari mereka. Mereka sama seperti saya. Mereka memiliki pergumulan
seperti saya. Kami mirip.”
Pada
saat bersamaan , Jason mampu menikmati hubungan dengan Amy secara emosional,
seksual, dan rohani. “Saya mencintai istri saya” katanya. “Saya begitu merasa
damai tentang siapa saya dengannya dan sukacita yang ia bawa dalam hidup saya.
Saya tidak pernah berharap dan tidak ingin kembali pada diri saya sebelumnya –
merasakan hasrat dan kerinduan terhadap laki-laki untuk mendampingi dan
memeluk, mencintai, dan menerima saya.”
Bagi
orang-orang yang masih bergumul, Jason memberikan kesimpulan dengan berkata :
Saya sangat
menganjurkan Anda untuk berdoa, seperti Bapa di dalam Markus 9:24, “Aku
percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” Allah dapat mengubah hati Anda
luar dalam. Allah dapat memperbarui pikiran Anda. Allah dapat menjadikan diri
Anda seorang manusia baru yang utuh. Kalau melihat ke belakang, saya sama
sekali berbeda dengan diri saya sewaktu SMU dalam berbagai hal, baik bentuk
maupun jenis. Saya tahu setiap orang bertumbuh dan berubah. Akan tetapi
menuruti filosofi saya, pikiran , kerinduan, seksualitas, segala sesuatu
tentang diri saya sepenuhnya diperbarui dan berubah, dan saya percaya saya
masih dalam proses perubahan untuk menjadi sama seperti pribadi yang Allah
inginkan atas diri saya. Yesus Kristus benar-benar Allah yang penuh belas
kasihan dan rahmat. Cukup aneh memang, saya sekarang sangat bersyukur telah mengalami pergumulan homoseksual. Pada
saat saya dulu menyerahkan pergumulan tersebut kepada Allah, saya membiarkan Ia
mengubah dan membentuk saya menjadi diri saya saat ini. Saya bersyukur Ia
memilih saya untuk menjangkau orang-orang yang terluka, dan saya juga bersyukur
Dia menganugerahi saya kerinduan tersebut. Di dalam Dia, tidak ada rahasia. Ia
sungguh-sungguh Allah yang Maha Besar. Carilah Dia dengan segenap hatimu. Anda
akan menemukanNya.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home