Seandainya Saja Kamu Perempuan
Tom Cole
Bebas dari
Dosa Sodom (Bob Davies – Lela Gilbert)
Tom cole adalah anak ketiga dari enam bersaudara, dan
ibunya berulang kali mengatakan kepadanya bahwa ia berharap Tom dilahirkan
sebagai perempuan. Di samping kelahirannya sebagai bayi laki-laki dan
pernyataan berulang-ulang ibunya yang tidak berperasaan mengenai kekecewaannya
seputar kelahiran Tom, hubungan Tom dengan ibunya selalu akrab dan hangat.
Di
mata Tom kecil pada awal tahun enam puluhan, ibunya adalah seorang ibu yang
sempurna dan ibu rumah tangga. Ketika keenam anaknya masih kecil, setiap sore
ia memandikan mereka, memakainkan baju bersih, dan membawa mereka duduk di
serambi muka untuk menunggu dan menyambut kepulangan ayah mereka dari kerja.
Bagi Tom, hal itu seperti sebuah adegan dari Ozzie and Harriet (kisah klasik
anak-anak dari Eropa) – hampir tidak nyata dan aneh.
Akan
tetapi tidak satu pun nilai-niali keluarganya memberikan arti yang sehat
tentang kemaskulinan bagi Tom kecil. Dimulai dari kegagalannya lahir sebagai
anak perempuan dank arena kerenggangan hubungannya dengan ayahnya, disorientasi
seksual sudah hadir dalam kehidupan Tom sejak masih kecil. Tom berwajah cantik,
pipinya kemerah-merahan, dan matanya coklat besar dengan bulu mata yang lentik.
Ia masih mengingat kekaguman ibunya yang dilontarkan tanpa malu-malu atas
kecantikannya. “Kamu seperti seorang gadis cantik,” kata ibunya dengan senyum
manis dan penuh kasih sayang.
Kata-kata
semacam itu tentu saja tergores mendalam dalam kepribadian Tom. Ia tidak pernah
merasa seperti seorang anak laki-laki sejati. Dan, ayahnya tidak banyak
membantu. Semasa Tom kecil, ayahnya bekerja sepanjang hari, dan ketika akhirnya
ia sampai di rumah, ia hanya makan malam, membaca Koran dan jatuh tertidur.
Pada tahun-tahun itu, secara sistematis Tom membangun sebuah tembok antara
ayahnya dengan dirinya. Kenyataannya adalah sebenarnya mereka sama sekali tidak
saling menyukai.
Tidak
mengherankan, sekolah merupakan suatu tantangan, tempat Tom menghadapi berbagai
macam emosi. Di satu sisi, ia sangat suka belajar. Di sisi lain, ia sangat
takut dengan gangguan yang dialaminya setiap hari. Suatu hari, ia pulang ke
rumah dalam keadaan babak belur, dan ayahnya berkata dengan marah,”Kalau kamu
ingin berhasil di dunia ini, kamu harus melawan.”
“Tapi, Ayah, saya takut berkelahi.”
Wajah ayahnya menjadi merah karena marah. Ia
mengangkat tangan Tom dan memaksanya beradu tinju. Karena tidak mampu atau
tidak bersedia menanggapi, Tom hanya berdiri diam dan menangis. Ia sudah
belajar membenci ayahnya karena memaksanya untuk melakukan sesuatu yang tidak
mampu dilakukannya. Akibatnya, ia membenci semua laki-laki dan bersumpah dalam
hatinya bahwa ia tidak akan pernah menjadi seperti mereka. Ia teringat :
Ketidaksukaan
saya dalam hal-hal yang berhubungan dengan olahraga membuat saya terasing dari
anak laki-laki lain dalam lingkungan tetangga. Ketika kami berbaris untuk
memilih tim, saya akan menjadi yang terakhir untuk dipilih dan seorang akan
berkata,”Oh tidak, kita terjebak dengan Cole.Ia banci.” Setiap kali saya
mendengar kata-kata itu, hati saya menjadi semakin dingin dan keras. Sejauh
yang dapat saya ingat, saya dijuluki bencong, homoseks, dan banci. Sikap halus
dan pembawaan saya yang lembut, di sisi lain, membuat saya cocok dengan
teman-teman perempuan; dan mereka segera menjadi satu-satunya sahabat saya.
Suatu hari di kelas lima, guru kami membuat percobaan tentang komunikasi. Ia
membentuk kelas menjadi sebuah lingkaran dan berbicara mengenai hal-hal yang
mengganggu mereka. Tiba-tiba saya menjadi pusat percakapan. Anak-anak laki-laki
di kelas mulai protes,”Cole itu banci. Kami tidak ingin duduk bersamanya atau
melakukan tugas sekolah dengannya.” Ketika guru itu bertanya kepada saya
bagaimana perasaan saya mengenai komentar itu, saya lari keluar kelas, sambil
menangis dan merasa sakit perut.
Sewaktu
Tom bertumbuh semakin dewasa, ia dan ayahnya semakin sering bertengkar. Dan,
semakin sering mereka bertengkar, ia semakin menyadari bahwa ibunya adalah
satu-satunya orang yang sungguh-sungguh menyayanginya dan selalu menjadi pembela
yang setia. Semasa Tom remaja, ibunya menjadi penengah dalam salah satu
pertengkaran dan menarik Tom mundur. Pada suatu kesempatan, suaminya
memberitahunya bahwa salah seorang harus pergi dari rumah – entah itu Tom atau
dirinya. “Baiklah, kalau begitu kamulah orang yang akan pergi, bukan?” ia
menjawab. “Sesungguhnya kamu bisa pergi sekarang juga.” AKhirnya, masalah
terpecahkan, tapi perasaan sebagai anak yang terperangkap di antara kedua
orangtuanya membekas di hatinya.
Langkah
Rohani yang Penting
Ibu
Tom seorang Katolik Roma. Ia pernah memutuskan menjadi seorang biarawati dan
berubah pikiran pada menit-menit terakhir, tepat sebelum diambil sumpahnya.
Ayah Tom adalah seorang agnostic dan anak-anaknya tidak pernah mendengar didikan
yang bersifat rohani darinya. Seandainya ia memiliki iman, ia menyimpannya
untuk dirinya sendiri.
Kecuali
ayahnya, keluarga Tom pergi ke Gereja Katolik. Ia ingat bahwa ia selalu
merasakan hadirat Allah dalam hidupnya. Sebagai seorang anak yang kesepian,
kadang-kadang ia menciptakan lagu dan menyanyikannya bagi Tuhan saat ia harus
berjalan jauh. Ia tidak sepenuhnya memahami konsep tentang Yesus, tetapi ia
tahu bahwa Allah itu nyata. Ia menggambarkan salah satu pengalaman yang sangat
berarti.
Saya dapat mengingat dengan baik
ketika mengikuti komuni pertama. Hari itu adalah hari yang indah. Saya
berpakaian rapi, dan bersama ibu, kami pergi ke gereja. Sehari sebelumnya, kami
membeli sebuah dasi putih baru yang dikanji dan diberi penjepit. Kami juga membeli Rosario dan buku
doa. Saya merasa begitu instimewa. Sewaktu saya melakuakn komuni, say merasakan
hadirat Allah. Tak lama sesudah itu, ibu saya terlibat dalam pertengkaran
dengan pastor paroki, dan kami tidak lagi pergi ke gereja. Menurut saya, jika
kami tetap ke gereja, saya mungkin akan mempertimbangkan kemungkinan menjadi
pastor. Namun seiring dengan bertambahnya usia saya dan setelah mempelajari
evolusi dan humanism di sekolah, saya menolak gagasan adanya Tuhan. Lambat-laut
tidak ada tempat bagi Allah dalam hidup saya. Dan dalam kehidupan saya
selanjutnya, sebelum saya bertobat, saya mulai mencari arti hidup melalui
filosofi “Zaman Baru” dan ilmu kebatinan dari Timur.
Memainkan
Sebuah “Permainan Baru”
Ketika
Tom berusia delapan atau Sembilan tahun, seorang anak tetangga yang lebih tua
mulai menunjukkan perhatian yang tidak wajar kepadanya. Karena hubungan Tom dengan
anak laki-laki lain jauh dari menyenangkan, perhatian dari anak tiu sungguh
menyenangkan, dan Tom merasa gembira. Suatu hari, sewaktu mereka sedang
bermain, anak laki-laki yang lebih tua menuntun Tom menuju sebuah tenda yang
sudah didirikan di pekarangan belakang rumahnya. Sambil menyeringai ia berkata,”Aku
memiliki permainan baru untuk kita mainkan.”Ketika mereka memasuki tenda, ia
mulai melucuti pakaiannya, dan meminta Tom melakukan hal yang sama.
Saat
Tom dilecehkan secara seksual, ia merasakan adanya ketakutan, perasaan jijik
dan keinginan melarikan diri. Akan tetapi, campuran perasaan negative tersebut
justru menjadi sensasi kenikmatan fisik tersendiri yang luar biasa. Setelah
pengalaman itu, Tom menjauhi temannya dan mengubur dalam-dalam insiden itu
dalam memorinya. Karena perasaan malu
yang luar biasa, ia tidak mengatakan kepada siapa pun tentang pelecahan itu.
Sebaliknya,
ketika mulai masa pubertas, Tom justru mulai terlibat hubungan seks dengan anak
laki-laki lain di lingkungan tetangga. Ia dan anak laki-laki itu memulai apa
yang kemudian berakhir menjadi hubungan fisik selama enam tahun. Meskipun Tom
merasa direndahkan, ia merasa lega karena ia berpikir bahwa akhirnya ia
memiliki beberapa teman. Bagaimana pun jauh di lubuk hatinya, ia merasa curiga
bahwa mereka hanya menginginkan dirinya untuk memuaskan kebutuhan seksual
mereka.
Di
universitas, Tom mengambil jurusan music dan drama. Ia bergabung dengan sebuah
kelompok vocal jazz dan bertemu dengan seorang penyanyi laki-laki yang bersikap
terbuka dengan homoseksualitasnya. Suatu hari Tom meminta temannya untuk
membawa dirinya ke bar khusus kaum gay, dan temannya langsung menyetujuinya.
Tom teringat peristiwa itu :
Saya merasa takut sekaligus
senang sewaktu berharap bisa mengunjungi bar tersebut. Saat itu saya berusia Sembilan
belas tahun, namun sebagian besar orang mengira saya berumur empat belas atau
lima belas tahun. Ketika kami berjalan menuju pintu, saya segera menyadari
bahwa banyak orang menatap saya. Meskipun saya merasa seolah-olah seperti
seekor binatang yang sedang dipertontonkan di kebun binatang, saya juga sangat
menyukai perhatian itu. Saya berjumpa dengan banyak laki-laki yang lebih tua,
dan kami membuat rencana untuk kencan minggu berikutnya. Ia mencurahkan
perhatiannya kepda saya, dan saya merasa sangat senang. Ttapi setelah beberapa
kali melewatkan waktu bersama-sama, ia kelihatannya mulai tidak tertarik dengan
saya. Minggu berikutnya saya melihatnya bersama laki-laki lain yang tampak
lebih muda dari saya. Saya merasa kesulitan menjalin hubungan yang bertahan
lama dengan laki-laki lain. Saya pikir masalah utamanya adalah jauh di lubuk
hati , kami semua tahu apa yang sebenarnya kami butuhkan tidak dapat dipenuhi
dengan cara seperti itu. Saya pikir apa yang kami cari adalah tidak lebih dari
kepuasan seks yang egois Tak lama kemudian , sewaktu saya mulai melihat bahwa
hubungan saya tidak bertahan, saya tidak lagi berusaha memenuhi kebutuhan
emosional. Saya mencari pelepasan seks, dan saya menjadi kecanduan seks.
“Tidakkah
kalian pikir bahwa semua yang kita bicarakan dan pikirkan tentang seks
merupakan hal yang aneh?” Tom bertanya kepada teman-teman kelompok gaynya suatu
hari. “Seperti itukah rata-rata heteroseksual?” Tidak seorang pun yang
menanggapi. Mereka menatap Tom dan saling memandang, namun jelas mereka tidak
memiliki jawabannya. Bagi Tom, ia semakin bertambah yakin bahwa apa yang mereka
lakukan sebenarnya tidak benar. Dan di samping obsesi tentang seks, masalah
lain mulai timbul dalam komunitas gay.
Tom
mulai menunjukkan homoseksualitasnya secara terang-terangan pada tahun 1980. Pada
waktu itu, apa yang sekarang dikenal sebagai AIDS, masih dikenal sebagai GRIDS –
Gay-Related Immunodeficiency Syndrome (penyakit kurangnya kekebalan sehubungan
dengan gay). Yang menarik, sangat sedikit pembicaraan mengenai GRIDS atau AIDS
ini. Banyak laki-laki yang sakit dan sekarat di seluruh kota, tapi ada semacam
selimut penyangkalan tebal yang menutupi komunitas gay. Mereka semua mendengar
tentang seks yang aman, namun tak seorang pun mempraktekkannya.
“Sebenarnya,”
kata Tom sekarang,”saya sangat sedih karena tidak peduli apakah saya akan
mengidap AIDS atau meninggal. Hak itu hanya akan mengurangi rasa sakit dan
siksaan yang saya rasakan. Tidak sedikit teman saya yang akhirnya meninggal
akibat penyakit tersebut. Dan, kami yang masih hidup tidak melakukan usaha apa
pun untuk melindungi diri kami atau orang lain dari bahaya tertular penyakit
tersebut.” Suatu malam, Tom sangat terkejut melihat adik laki-lakinya berada di
klub. Tom mengetahui adiknya terlibat dalam hubungan gay yang tampaknya sehat. Pada
saat itu, ia berpikir, Mungkin hubungan itu akan berhasil. Tetap tak lama
kemudian, ia melihat hubungan itu memburuk dan berakhir dengan tragis. Ia pun
kehilangan harapan memiliki hubungan gay yang bertahan lama.
Sejak
umur Sembilan besar tahun sampai kira-kira ia berusia dua puluh lima tahun Tom
Cole memiliki pasangan seksual antara tiga ratus sampai empat ratus orang. Pada
umur dua puluh enam tahun, depresi mulai muncul. Ia mulai minum alcohol dan
menggunakan kokain untuk menghilangkan kesepiannya.
Cinta Tak
Bersyarat Rosie
Suatu
malam, dalam keputusasaan yang dalam, Tom memutuskan mengakhiri hidupnya. Ia
menelan segenggam penuh obat penghilang rasa nyeri dan meminumnya dengan
seperlima botol vodka. Dengan sangat terkejut, ia terbangun keesokan harinya.
Ia masih hidup, tapi ia merasa seolah-olah seperti, sebagaimana dijelaskannya, “terlindas
truk”. Ia menjadi lebih putus asa dibanding sebelumnya. Ia menjelaskan apa yang
terjadi kemudian.
Segera
setelah percobaan bunuh diri tersebut, di tempat kerja saya berjumpa dengan
seorang perempuan bernama Rosie yang terus-menerus berbicara tentang memiliki
hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Rosie Smith adalah salah seorang
perempuan Kristen paling cantik yang pernah saya temui. Saya adalah seorang
koki restoran, dan Rosie adalah pelayan restoran tersebut. Semua yang bekerja
di restoran tahu bahwa koki dan pelayan biasanya saling membenci. Ada aturan
tak tertulis bahwa tidak seharusnya koki dan pelayan memikiki persetujuan yang
sama dalam segala hal. Namun dnegan Rosie berbeda. Ia menyukai sang koki, dan
koki itu juga menyukainya. Ia selalu berbicara tentang Allah dan mengatakan
hal-hal seperti “Puji Tuhan”, dan menceritakan kepada kami tentang Yesus. Saya
adalah seorang yang cabul, selalu membuat gurauan seksual dan menyumpahi hampir
setiap kalimat dengan kata-kata kotor. Akan tetapi, Rosie tidak pernah
mengatakan bahwa cara saya berbicara itu salah. Saya membaca buku ‘Zaman Baru’
dan novel-novel horror tapi Rosie juga tidak pernah menghakimi saya untuk itu.
Saya sudah rusak secara seksual dan suka mengolok-olok dengan meniru perbuatan
seks dengan koki yang lain, tetapi ia tidak pernah menunjukkan bahwa
homoseksualitas saya adalah suatu kesalahan. Sebaliknya, ia justru membagikan
kasih Kristus kepada saya. Suatu mala, ketika ia akan pulang, Rosie berkata, “Aku
dan suamiku akan berdoa untukmu,Tom.” Saya sangat terkejut,”Kalian berdoa
untukku?” “Ya,” katanya. Kami mendoakan dirimu setiap malam.” Sebelum keluar ia
menambahkan,”Tom, aku mengasihimu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku
mengasihimu.”
Kata-kata itu
merobek hati saya. Saya tahu ia mengatakan yang sebenarnya. Ssaya tahu ia
mengasihi saya. Segala sakit hati dan kekerasan hati selama bertahun-tahun
mendadak pecah terbuka. Tembok yang saya dirikan dalam hati saya hancur. Saya
mulai menangis karena kenyataan yang ia katakana menghantam saya. Saya merunduh
di bawah meja sehingga ia tidak dapat melihat saya menangis. Saat itu juga saya
tahu bahwa apa pun yang ia miliki, saya juga ingin memilikinya. Tidak lama
setelah itu, saya meminta Rosie untuk mengajak saya ke gereja. Ia berkata bahwa
ia dan suaminya akan menjemput saya. Saya menerima Kristus pada hari Minggu
itu. Rosie dan suaminya, Ron, lalu memperlakukan saya seperti seorang murid.
Mereka mengajari saya tentang Allah dan PuteraNya, Yesus Kristus. Mereka
mendampingi saya di saat-saat sulit. Mereka melihat saya tersandung, jatuh dan
melihat bagaimana Allah mengangkat saya kembali. Mereka melihat saya mengikuti
Pemahaman Alkitab dan menghadiri persekutuan doa di rumah mereka. Tetapi
melalui semua itu mereka berjalan bersama saya, mendoakan saya, dan menunjukkan
kebenaran Alkitab kepada saya. Hari ini saya tidak akan hidup jika bukan karena
kesaksian dari permpuan cantik dalam Kristus.
Setelah
pertobatan Tom, salah satu tugas pertamanya adalah mengampuni mereka yang telah
menyakiti hatinya. Orang pertama yang muncul dalam pikirannya adalah ayahnya.
Menyadari bahwa Yesus telah memerintahkan para muridNya untuk mengampuni
sehingga mereka juga diampuni, Tom memutuskan untuk mengampuni ayahnya
sehubungan dengan semua masalah yang terjadi di masa lalu. Sewaktu ia
melepaskan segala kepahitannya, ia tidak merasakan adanya gejolak emosi yang
sangat besar, namun ia tahun bahwa itu adalah saat yang berarti. Kemudian,
ketika suatu hari ia berbincang-bincang dengan ayahnya, ia heran karena
merasakan adanya gelombang kasih terhadap ayahnya. Mulai saat itu, kapan pun ia
berbicara dengan ayahnya, ia selalu mengatakan, “Aku menyayangimu, Ayah.”
“Ayah juga menyayangimu, Nak,” kata ayah Tom suatu
hari. Betapa bersukacitanya Tom mendengar kata-kata itu keluar dari mulut
ayahnya! Kemudian, tanpa ragu-ragu mereka berdua berpelukan. Belum lama ini,
ayah Tom datang ke gereja, tempat Tom memberikan kesaksiannya. Sebenarnya, Tom merasa
sangat gugup melihat ayahnya mendengarkan kesaksiannya. Ibu Tom meninggal
beberapa tahun lalu, dan tunangan ayahnya ada bersamanya saat itu. Mau tak mau
Tom memperhatikan bahwa mereka berdua menangis hampir sepanjang kesaksiannya.
Setelah kebaktian, ayah Tom memeluknya cukup lama. Ayah sangat bangga
terhadapmu, Nak,” ia berkata dengan air mata masih menggenang pelupuk matanya.
Kata-kata yang sudah begitu lama dirindukannya akhirnya diucapkan. “Hati saya
terharu mendengar kata-kata itu,” Tom teringat. “Saya tidak akan pernah
melupakan hari itu selama saya hidup.”
Perempuan
Bernama Donna
Sekalipun
ia telah berbaikan dengan sang ayah, namun masih ada beberapa pertanyaan dalam
pikiran Tom tentang rencana Allah baginya. Apakah ia akan menemukan seorang
perempuan untuk dicinta, seorang yang juga mencintainya? Apakah ia akan menjadi
seorang ayah? Apakah suatu hari nanti ia memiliki keluarga sendiri, ataukah ia
terlalu banyak berharap? Pertanyaan-pertanyaan ini menyebabkan Tom berpikir
sungguh-sungguh tentang masa kecil dan masa remajanya. Ia teringat akan
responsnya terhadap lawan jenis.
Pada
usia yang masih sangat muda, Tom sudah menyadari bahwa ia tidak memandang gadis
dan perempuan dengan cara seperti yang dilakukan oleh sebagian besar laki-laki.
Sebenarnya, ia tidak tertarik dengan perempuan sama sekali. Ketika masih
pubertas tiba, ia mengetahui dengan jelas bahwa ada yang salah dengan dirinya.
Charlie’s Angels adalah acara televise yang sedang popular saat itu, dan
saudara-saudara Tom menempel poster-poster itu, berhadap mengalami sesuatu,
tapi tidak terjadi apa-apa.
Sebaliknya,
ketika ia memandangi poster James Caan, ia merasakan adanya suatu daya tarik
yang kuat dan rangsangan seksual yang muncul. Namun, siapa yang bisa diajaknya
bicara tentang situasi aneh ini? Tidak ada seorang pun yang dapat ia percayai.
Oleh karena itu, ia menyimpan kebingungan itu untuk dirinya sendiri dan hanya
berharap yang terbaik.
Semasa
SMU , Tom mengencani seorang gadis yang hanya tertarik pada hubungan yang tidak
mesra. Kemudian, ia tahu bahwa gadis itu juga mengalami pelecehan seksual di
masa kecil dan takut dengan sebagian besar laki-laki. Gadis itu merasa bahwa
berkencan dengan Tom aman baginya. Jadi, pasangan yang sama-sama terluka ini
berpacaran selama tiga tahun penuh masa SMU. Hubungan mereka menjadi pelindung
bagi Tom dari orang-orang di sekitarnya yang ingin tahu dan memberikan rasa
aman bagi gadis itu. Tetapi, selain hubungan teman, tidak ada yang istimewa
dalam hubungan itu. Sekarang, bahkan setelah mengenal Kristus, Tom tidak
mengalami perubahan apa pun dalam hal ketertarikan terhadap perempuan. Meskipun
rasa tertariknya terhadap laki-laki sudah hilang, tidak ada perasaan terhadap
perempuan yang menggantikannya.
Kemudian,
Tom bertemu dengan seorang perempuan bernama Donna. Mereka berkenalan di sebuah
persekutuan doa, di mana mereka berdua menjalin hubungan rohani yang cepat, dan
mereka mulai menjadi pasangan doa.Donna, seorang mantan lesbian, memahami
dengan jelas pergumulan Tom di masa lalu – ia dulu juga memiliki pergumulan
yang sama. Setelah mereka menghabiskan waktu selama dua tahun mempelajari
Alkitab dan berdoa bersama, Tom menjadi semakin menyadari bahwa perasaannya
terhadap Donna lebih dari sekedar teman.
Suatu
hari, Donna mengunjungi Tom di tempat kerja. Sewaktu ia masuk, untuk pertama
kalinya Tom memperhatikan sosoknya yang menarik dan merasakan adanya daya tarik
seksual yang kuat terhadap dirinya. Terlintas dalam pikirannya bahwa, pada usia
dua puluh enam tahun, ia mengalami perasaan seperti yang dialami sebagian besar
anak laki-laki pada masa puber. Tak lama kemudian, Tom dan Donna berpacaran
Tiga bulan berikutnya, mereka menikah.
Tahun
pertama pernikahan pasangan Cole ini meruapan siksaan seperti rasa tidak aman
yang terus-menerus muncul. Tom mencari hiburan melalui telepon seks dengan
laki-laki, yang hanya membuatnya bertambah bingung. Lalu ia mendengar sebuah
siaran radio tentang homoseksualitas , yang dipandu oleh Dr. Elizabeth Moberly,
seorang penulis dan pembicara yang telah melakukan, penelitian secara luas
mengenai akar penyebab homoseksualitas.
Hanya
setelah mengenal Kristus, Tom mampu mengingat kembali pelecehan seksual yang
dialaminya sewaktu kecil di tenga halaman belakang tersebut. Sudut pandang kekristenannya juga memungkinkan Tom
mengalmbil pandangan objektif mengenai dinamika keluarganya-ayahnya yang tidak
ramah dan sulit didekati, ibunya yang terlalu melindungi.
Kini,
sewaktu Dr. Moberly berbicara tentang deficit gender yang sama, Tom sadar bahwa
ia telah memiliki banyak sahabat perempuan selama hidupnya, tetapi tidak memiliki
hubungan yang berarti dengan laki-laki. Lalu, ia segera berdoa, meminta Allah
memberinya dua orang laki-laki yang bisa diajaknya untuk berbagi pergumulan.
Tuhan itu setia dan mengirimkan dua orang laki-laki setahun kemudian. Mereka
berhati lembut dan penuh belas kasihan dan bertanggung jawab terhaap Tom.
Allah
juga mengirimkan seorang teman lagi. Tom tiba-tiba menyadari bahwa ia dulu akan
merasa sangat tertarik pada laki-laki ini ketika masih menjalani kehidupan gay.
Tom merasa gugup dan tidak nyaman sewaktu mereka berdua menghadiri konferensi
di akhir pekan bersama-sama. AKhirnya, ia memutuskan untuk menceritakan
ketidaknyamanannya tersebut. “Aku merasa sangat takut berhubungan dengan
laki-laki lain,” Tom berkata, sambil menjelaskan sedikit masalah identitas
gendernya.
Laki-laki
ini menanggapinya dengan bijaksana dan kasih yang lembut. “Hanya karena aku
tidak pernah bergumul dengan homoseksualitas tidak berarti akau tidak takut
terhadap keintiman, “ ia berkata dengan jujur. Ia menegaskan bahwa laki-laki
sering berbicara mengenai cuaca atau olahraga untuk menghindari membicarakan
perasaan mereka dan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam kehidupan
mereka. Tom merasa heran sekaligus lega mendengar kata-kata teman barunya.
Sedikit
demi sedikit, Tom belajar bahwa sesungguhnya ia dapat, berhubungan dekat dengan
laki-laki lain tanpa terlibat hubungan seks dengannya. Dan, selama tujuh tahun
terakhir ini ia juga tertarik dengan perempuan lain selain Donna. Bagi sebagian
laki-laki , hal itu mungkin akan menjadi masalah. Akan tetapi, bagi Tom Cole,
itu justru merupakan tanda bahwa ia sehat.
Membagikan
Berkat
Ketika Donna melahirkan anak pertama keluarga Cole,
Tom merasa sangat bersukacita sekaligus khawatir. Ia berseru kepada Allah, “Bagaimana
aku membesarkan anak ini?” Tom dengan segera merasakan jawaban Tuhan dalam
hatinya,”Sayangilah dia.”
Hari
ini, si kecil Isaac Cole adalah seorang anak laki-laki seutuhnya. Tak lama
setelah kelahirannya, kembali lahir seorang bayi laki-laki, diikuti dengan
kelahiran dua bayi perempuan Seperti sebagian besar orang tua yang lain,
anak-anak merupakan sukacita tersendiri bagi Tom dan Donna.
Sebagaimana
Tom dan Donna terus mencari kebebasan dari masa lalu homoseksual mereka, mereka
mulai melayani agar orang lain mencari harapan dan kesemuhan yang sama.
Kemudian, mereka bergabung dengan dewan direktur Reconciliation, sebuah
pelayanan Exodus local di Detroit. Dua tahun kemudian, Tom menjadi dirketur
Reconciliation. Saat ini visi mereka adalah membantu orang-orang Kristen yang
merindukan adanya perubahan dalam hasrat homoseksualitas mereka.
Tom
kadang-kadang ditanya tentang hal paling penting yang dapat ia katakana kepada
mereka yang memiliki pergumulan homoseksualitas. Ia menjawab, “Saya memberitahu
mereka bahwa Allah bukan Pribadi yang berada di bawah pengaruh seseorang. Jika
Allah bisa menyembuhkan saya, ia bisa menyembuhkan semua orang. Saya memberi
tahu mereka agar tidak kehilangan harapan karena Alla hadalah sumber
pengharapan. Saya memberi tahu mereka agar tidak kehilangan harapan karena
Alalh adalah sumber pengharapan. Saya memberi tahu mereka bahwa selama delapan
tahun terakhir pelayanan saya telah menyaksikan Allah dengan setia menyembuhkan
seorang demi seorang yang datang kepadaNya dengan hati yang haus akan
kebenaran. Saya juga memberi tahu mereka bahwa mereka tidak dapat melakuaknnya
sendiri. Tak seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan
untuk saling membantu melalui sebuah proses yang biasanya sukar, menyakitkan,
dan kadang-kadang lama. Namun, Allah adalah Allah yang melakukan perubahan.”
Tentang situasinya saat ini, Tom menulis :
Ada saatnya
pernikahan kami dilanda stress dan tekanan, seperti pernikahan pada umumnya.
Akan tetapi, cinta kami terhadap satu sama lain terus bertumbuh. Anak-anak kami
bertumbuh menjadi warga Negara yang bertanggung jawab, murid-murid yang pandai
dan orang-orang Kristen yang taat. Sungguh menyenangkan melihat mereka
berkembang dalam kreativitias dan kepribadian tanpa rasa takut terhadap
intimidasi dan kekerasan yang sering terjadi dalam sistem masyarakat dan
sekolah umum. Saya bahagia dengan anak-anak saya dan bersyukur kepada Allah
setiap hari untuk keempat anak yang luar biasa yang diberikan Allah kepada kami
ini. Sementara itu, saya dan Donna tidak pernah berhenti menceritakan kisah
kami ke manapun orang mengundang kami berbicara. Kami pernah muncul di acara TV
Extra, 20/20 dan di iklan TV “Families” tentang homoseksualitas yang menimbulan
banyak kontroversi. Kami menceritakan kesaksian kami di surat kabar, majalah,
siaran radio dan di WWW (internet). Saya percaya bahwa Allah telah memanggil
saya untuk pergi ke seluruh dunia dan menyatakan apa yang telah Allah lakukan
dalam hidup saya. Saya tidak pernah menolak untuk menceritakan kesaksian saya,
dan saya akan terus menceritakannya selama saya memiliki kesempatan. ALkitab
memberitahukan kita untuk “menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam
penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah” (II Kor
1:4). Ssaya akan melakukan hal itu sampai ajal menjemput!
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home