Tuesday, November 20, 2012

Seandainya Saja Kamu Perempuan




Tom Cole
Bebas dari Dosa Sodom (Bob Davies – Lela Gilbert)

Tom cole adalah anak ketiga dari enam bersaudara, dan ibunya berulang kali mengatakan kepadanya bahwa ia berharap Tom dilahirkan sebagai perempuan. Di samping kelahirannya sebagai bayi laki-laki dan pernyataan berulang-ulang ibunya yang tidak berperasaan mengenai kekecewaannya seputar kelahiran Tom, hubungan Tom dengan ibunya selalu akrab dan hangat.
                Di mata Tom kecil pada awal tahun enam puluhan, ibunya adalah seorang ibu yang sempurna dan ibu rumah tangga. Ketika keenam anaknya masih kecil, setiap sore ia memandikan mereka, memakainkan baju bersih, dan membawa mereka duduk di serambi muka untuk menunggu dan menyambut kepulangan ayah mereka dari kerja. Bagi Tom, hal itu seperti sebuah adegan dari Ozzie and Harriet (kisah klasik anak-anak dari Eropa) – hampir tidak nyata dan aneh.
                Akan tetapi tidak satu pun nilai-niali keluarganya memberikan arti yang sehat tentang kemaskulinan bagi Tom kecil. Dimulai dari kegagalannya lahir sebagai anak perempuan dank arena kerenggangan hubungannya dengan ayahnya, disorientasi seksual sudah hadir dalam kehidupan Tom sejak masih kecil. Tom berwajah cantik, pipinya kemerah-merahan, dan matanya coklat besar dengan bulu mata yang lentik. Ia masih mengingat kekaguman ibunya yang dilontarkan tanpa malu-malu atas kecantikannya. “Kamu seperti seorang gadis cantik,” kata ibunya dengan senyum manis dan penuh kasih sayang.
                Kata-kata semacam itu tentu saja tergores mendalam dalam kepribadian Tom. Ia tidak pernah merasa seperti seorang anak laki-laki sejati. Dan, ayahnya tidak banyak membantu. Semasa Tom kecil, ayahnya bekerja sepanjang hari, dan ketika akhirnya ia sampai di rumah, ia hanya makan malam, membaca Koran dan jatuh tertidur. Pada tahun-tahun itu, secara sistematis Tom membangun sebuah tembok antara ayahnya dengan dirinya. Kenyataannya adalah sebenarnya mereka sama sekali tidak saling menyukai.
                Tidak mengherankan, sekolah merupakan suatu tantangan, tempat Tom menghadapi berbagai macam emosi. Di satu sisi, ia sangat suka belajar. Di sisi lain, ia sangat takut dengan gangguan yang dialaminya setiap hari. Suatu hari, ia pulang ke rumah dalam keadaan babak belur, dan ayahnya berkata dengan marah,”Kalau kamu ingin berhasil di dunia ini, kamu harus melawan.”
“Tapi, Ayah, saya takut berkelahi.”
Wajah ayahnya menjadi merah karena marah. Ia mengangkat tangan Tom dan memaksanya beradu tinju. Karena tidak mampu atau tidak bersedia menanggapi, Tom hanya berdiri diam dan menangis. Ia sudah belajar membenci ayahnya karena memaksanya untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Akibatnya, ia membenci semua laki-laki dan bersumpah dalam hatinya bahwa ia tidak akan pernah menjadi seperti mereka. Ia teringat :
Ketidaksukaan saya dalam hal-hal yang berhubungan dengan olahraga membuat saya terasing dari anak laki-laki lain dalam lingkungan tetangga. Ketika kami berbaris untuk memilih tim, saya akan menjadi yang terakhir untuk dipilih dan seorang akan berkata,”Oh tidak, kita terjebak dengan Cole.Ia banci.” Setiap kali saya mendengar kata-kata itu, hati saya menjadi semakin dingin dan keras. Sejauh yang dapat saya ingat, saya dijuluki bencong, homoseks, dan banci. Sikap halus dan pembawaan saya yang lembut, di sisi lain, membuat saya cocok dengan teman-teman perempuan; dan mereka segera menjadi satu-satunya sahabat saya. Suatu hari di kelas lima, guru kami membuat percobaan tentang komunikasi. Ia membentuk kelas menjadi sebuah lingkaran dan berbicara mengenai hal-hal yang mengganggu mereka. Tiba-tiba saya menjadi pusat percakapan. Anak-anak laki-laki di kelas mulai protes,”Cole itu banci. Kami tidak ingin duduk bersamanya atau melakukan tugas sekolah dengannya.” Ketika guru itu bertanya kepada saya bagaimana perasaan saya mengenai komentar itu, saya lari keluar kelas, sambil menangis dan merasa sakit perut.
                Sewaktu Tom bertumbuh semakin dewasa, ia dan ayahnya semakin sering bertengkar. Dan, semakin sering mereka bertengkar, ia semakin menyadari bahwa ibunya adalah satu-satunya orang yang sungguh-sungguh menyayanginya dan selalu menjadi pembela yang setia. Semasa Tom remaja, ibunya menjadi penengah dalam salah satu pertengkaran dan menarik Tom mundur. Pada suatu kesempatan, suaminya memberitahunya bahwa salah seorang harus pergi dari rumah – entah itu Tom atau dirinya. “Baiklah, kalau begitu kamulah orang yang akan pergi, bukan?” ia menjawab. “Sesungguhnya kamu bisa pergi sekarang juga.” AKhirnya, masalah terpecahkan, tapi perasaan sebagai anak yang terperangkap di antara kedua orangtuanya membekas di hatinya.

Langkah Rohani yang Penting
                Ibu Tom seorang Katolik Roma. Ia pernah memutuskan menjadi seorang biarawati dan berubah pikiran pada menit-menit terakhir, tepat sebelum diambil sumpahnya. Ayah Tom adalah seorang agnostic dan anak-anaknya tidak pernah mendengar didikan yang bersifat rohani darinya. Seandainya ia memiliki iman, ia menyimpannya untuk dirinya sendiri.
                Kecuali ayahnya, keluarga Tom pergi ke Gereja Katolik. Ia ingat bahwa ia selalu merasakan hadirat Allah dalam hidupnya. Sebagai seorang anak yang kesepian, kadang-kadang ia menciptakan lagu dan menyanyikannya bagi Tuhan saat ia harus berjalan jauh. Ia tidak sepenuhnya memahami konsep tentang Yesus, tetapi ia tahu bahwa Allah itu nyata. Ia menggambarkan salah satu pengalaman yang sangat berarti.
                Saya dapat mengingat dengan baik ketika mengikuti komuni pertama. Hari itu adalah hari yang indah. Saya berpakaian rapi, dan bersama ibu, kami pergi ke gereja. Sehari sebelumnya, kami membeli sebuah dasi putih baru yang dikanji dan diberi  penjepit. Kami juga membeli Rosario dan buku doa. Saya merasa begitu instimewa. Sewaktu saya melakuakn komuni, say merasakan hadirat Allah. Tak lama sesudah itu, ibu saya terlibat dalam pertengkaran dengan pastor paroki, dan kami tidak lagi pergi ke gereja. Menurut saya, jika kami tetap ke gereja, saya mungkin akan mempertimbangkan kemungkinan menjadi pastor. Namun seiring dengan bertambahnya usia saya dan setelah mempelajari evolusi dan humanism di sekolah, saya menolak gagasan adanya Tuhan. Lambat-laut tidak ada tempat bagi Allah dalam hidup saya. Dan dalam kehidupan saya selanjutnya, sebelum saya bertobat, saya mulai mencari arti hidup melalui filosofi “Zaman Baru” dan ilmu kebatinan dari Timur.

Memainkan Sebuah “Permainan Baru”
                Ketika Tom berusia delapan atau Sembilan tahun, seorang anak tetangga yang lebih tua mulai menunjukkan perhatian yang tidak wajar kepadanya. Karena hubungan Tom dengan anak laki-laki lain jauh dari menyenangkan, perhatian dari anak tiu sungguh menyenangkan, dan Tom merasa gembira. Suatu hari, sewaktu mereka sedang bermain, anak laki-laki yang lebih tua menuntun Tom menuju sebuah tenda yang sudah didirikan di pekarangan belakang rumahnya. Sambil menyeringai ia berkata,”Aku memiliki permainan baru untuk kita mainkan.”Ketika mereka memasuki tenda, ia mulai melucuti pakaiannya, dan meminta Tom melakukan hal yang sama.
                Saat Tom dilecehkan secara seksual, ia merasakan adanya ketakutan, perasaan jijik dan keinginan melarikan diri. Akan tetapi, campuran perasaan negative tersebut justru menjadi sensasi kenikmatan fisik tersendiri yang luar biasa. Setelah pengalaman itu, Tom menjauhi temannya dan mengubur dalam-dalam insiden itu dalam memorinya.  Karena perasaan malu yang luar biasa, ia tidak mengatakan kepada siapa pun tentang pelecahan itu.
                Sebaliknya, ketika mulai masa pubertas, Tom justru mulai terlibat hubungan seks dengan anak laki-laki lain di lingkungan tetangga. Ia dan anak laki-laki itu memulai apa yang kemudian berakhir menjadi hubungan fisik selama enam tahun. Meskipun Tom merasa direndahkan, ia merasa lega karena ia berpikir bahwa akhirnya ia memiliki beberapa teman. Bagaimana pun jauh di lubuk hatinya, ia merasa curiga bahwa mereka hanya menginginkan dirinya untuk memuaskan kebutuhan seksual mereka.
                Di universitas, Tom mengambil jurusan music dan drama. Ia bergabung dengan sebuah kelompok vocal jazz dan bertemu dengan seorang penyanyi laki-laki yang bersikap terbuka dengan homoseksualitasnya. Suatu hari Tom meminta temannya untuk membawa dirinya ke bar khusus kaum gay, dan temannya langsung menyetujuinya. Tom teringat peristiwa itu :
                Saya merasa takut sekaligus senang sewaktu berharap bisa mengunjungi bar tersebut. Saat itu saya berusia Sembilan belas tahun, namun sebagian besar orang mengira saya berumur empat belas atau lima belas tahun. Ketika kami berjalan menuju pintu, saya segera menyadari bahwa banyak orang menatap saya. Meskipun saya merasa seolah-olah seperti seekor binatang yang sedang dipertontonkan di kebun binatang, saya juga sangat menyukai perhatian itu. Saya berjumpa dengan banyak laki-laki yang lebih tua, dan kami membuat rencana untuk kencan minggu berikutnya. Ia mencurahkan perhatiannya kepda saya, dan saya merasa sangat senang. Ttapi setelah beberapa kali melewatkan waktu bersama-sama, ia kelihatannya mulai tidak tertarik dengan saya. Minggu berikutnya saya melihatnya bersama laki-laki lain yang tampak lebih muda dari saya. Saya merasa kesulitan menjalin hubungan yang bertahan lama dengan laki-laki lain. Saya pikir masalah utamanya adalah jauh di lubuk hati , kami semua tahu apa yang sebenarnya kami butuhkan tidak dapat dipenuhi dengan cara seperti itu. Saya pikir apa yang kami cari adalah tidak lebih dari kepuasan seks yang egois Tak lama kemudian , sewaktu saya mulai melihat bahwa hubungan saya tidak bertahan, saya tidak lagi berusaha memenuhi kebutuhan emosional. Saya mencari pelepasan seks, dan saya menjadi kecanduan seks.
                “Tidakkah kalian pikir bahwa semua yang kita bicarakan dan pikirkan tentang seks merupakan hal yang aneh?” Tom bertanya kepada teman-teman kelompok gaynya suatu hari. “Seperti itukah rata-rata heteroseksual?” Tidak seorang pun yang menanggapi. Mereka menatap Tom dan saling memandang, namun jelas mereka tidak memiliki jawabannya. Bagi Tom, ia semakin bertambah yakin bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya tidak benar. Dan di samping obsesi tentang seks, masalah lain mulai timbul dalam komunitas gay.
                Tom mulai menunjukkan homoseksualitasnya secara terang-terangan pada tahun 1980. Pada waktu itu, apa yang sekarang dikenal sebagai AIDS, masih dikenal sebagai GRIDS – Gay-Related Immunodeficiency Syndrome (penyakit kurangnya kekebalan sehubungan dengan gay). Yang menarik, sangat sedikit pembicaraan mengenai GRIDS atau AIDS ini. Banyak laki-laki yang sakit dan sekarat di seluruh kota, tapi ada semacam selimut penyangkalan tebal yang menutupi komunitas gay. Mereka semua mendengar tentang seks yang aman, namun tak seorang pun mempraktekkannya.
                “Sebenarnya,” kata Tom sekarang,”saya sangat sedih karena tidak peduli apakah saya akan mengidap AIDS atau meninggal. Hak itu hanya akan mengurangi rasa sakit dan siksaan yang saya rasakan. Tidak sedikit teman saya yang akhirnya meninggal akibat penyakit tersebut. Dan, kami yang masih hidup tidak melakukan usaha apa pun untuk melindungi diri kami atau orang lain dari bahaya tertular penyakit tersebut.” Suatu malam, Tom sangat terkejut melihat adik laki-lakinya berada di klub. Tom mengetahui adiknya terlibat dalam hubungan gay yang tampaknya sehat. Pada saat itu, ia berpikir, Mungkin hubungan itu akan berhasil. Tetap tak lama kemudian, ia melihat hubungan itu memburuk dan berakhir dengan tragis. Ia pun kehilangan harapan memiliki hubungan gay yang bertahan lama.
                Sejak umur Sembilan besar tahun sampai kira-kira ia berusia dua puluh lima tahun Tom Cole memiliki pasangan seksual antara tiga ratus sampai empat ratus orang. Pada umur dua puluh enam tahun, depresi mulai muncul. Ia mulai minum alcohol dan menggunakan kokain untuk menghilangkan kesepiannya.

Cinta Tak Bersyarat Rosie
                Suatu malam, dalam keputusasaan yang dalam, Tom memutuskan mengakhiri hidupnya. Ia menelan segenggam penuh obat penghilang rasa nyeri dan meminumnya dengan seperlima botol vodka. Dengan sangat terkejut, ia terbangun keesokan harinya. Ia masih hidup, tapi ia merasa seolah-olah seperti, sebagaimana dijelaskannya, “terlindas truk”. Ia menjadi lebih putus asa dibanding sebelumnya. Ia menjelaskan apa yang terjadi kemudian.
Segera setelah percobaan bunuh diri tersebut, di tempat kerja saya berjumpa dengan seorang perempuan bernama Rosie yang terus-menerus berbicara tentang memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Rosie Smith adalah salah seorang perempuan Kristen paling cantik yang pernah saya temui. Saya adalah seorang koki restoran, dan Rosie adalah pelayan restoran tersebut. Semua yang bekerja di restoran tahu bahwa koki dan pelayan biasanya saling membenci. Ada aturan tak tertulis bahwa tidak seharusnya koki dan pelayan memikiki persetujuan yang sama dalam segala hal. Namun dnegan Rosie berbeda. Ia menyukai sang koki, dan koki itu juga menyukainya. Ia selalu berbicara tentang Allah dan mengatakan hal-hal seperti “Puji Tuhan”, dan menceritakan kepada kami tentang Yesus. Saya adalah seorang yang cabul, selalu membuat gurauan seksual dan menyumpahi hampir setiap kalimat dengan kata-kata kotor. Akan tetapi, Rosie tidak pernah mengatakan bahwa cara saya berbicara itu salah. Saya membaca buku ‘Zaman Baru’ dan novel-novel horror tapi Rosie juga tidak pernah menghakimi saya untuk itu. Saya sudah rusak secara seksual dan suka mengolok-olok dengan meniru perbuatan seks dengan koki yang lain, tetapi ia tidak pernah menunjukkan bahwa homoseksualitas saya adalah suatu kesalahan. Sebaliknya, ia justru membagikan kasih Kristus kepada saya. Suatu mala, ketika ia akan pulang, Rosie berkata, “Aku dan suamiku akan berdoa untukmu,Tom.” Saya sangat terkejut,”Kalian berdoa untukku?” “Ya,” katanya. Kami mendoakan dirimu setiap malam.” Sebelum keluar ia menambahkan,”Tom, aku mengasihimu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mengasihimu.”
Kata-kata itu merobek hati saya. Saya tahu ia mengatakan yang sebenarnya. Ssaya tahu ia mengasihi saya. Segala sakit hati dan kekerasan hati selama bertahun-tahun mendadak pecah terbuka. Tembok yang saya dirikan dalam hati saya hancur. Saya mulai menangis karena kenyataan yang ia katakana menghantam saya. Saya merunduh di bawah meja sehingga ia tidak dapat melihat saya menangis. Saat itu juga saya tahu bahwa apa pun yang ia miliki, saya juga ingin memilikinya. Tidak lama setelah itu, saya meminta Rosie untuk mengajak saya ke gereja. Ia berkata bahwa ia dan suaminya akan menjemput saya. Saya menerima Kristus pada hari Minggu itu. Rosie dan suaminya, Ron, lalu memperlakukan saya seperti seorang murid. Mereka mengajari saya tentang Allah dan PuteraNya, Yesus Kristus. Mereka mendampingi saya di saat-saat sulit. Mereka melihat saya tersandung, jatuh dan melihat bagaimana Allah mengangkat saya kembali. Mereka melihat saya mengikuti Pemahaman Alkitab dan menghadiri persekutuan doa di rumah mereka. Tetapi melalui semua itu mereka berjalan bersama saya, mendoakan saya, dan menunjukkan kebenaran Alkitab kepada saya. Hari ini saya tidak akan hidup jika bukan karena kesaksian dari permpuan cantik dalam Kristus.
                Setelah pertobatan Tom, salah satu tugas pertamanya adalah mengampuni mereka yang telah menyakiti hatinya. Orang pertama yang muncul dalam pikirannya adalah ayahnya. Menyadari bahwa Yesus telah memerintahkan para muridNya untuk mengampuni sehingga mereka juga diampuni, Tom memutuskan untuk mengampuni ayahnya sehubungan dengan semua masalah yang terjadi di masa lalu. Sewaktu ia melepaskan segala kepahitannya, ia tidak merasakan adanya gejolak emosi yang sangat besar, namun ia tahun bahwa itu adalah saat yang berarti. Kemudian, ketika suatu hari ia berbincang-bincang dengan ayahnya, ia heran karena merasakan adanya gelombang kasih terhadap ayahnya. Mulai saat itu, kapan pun ia berbicara dengan ayahnya, ia selalu mengatakan, “Aku menyayangimu, Ayah.”
“Ayah juga menyayangimu, Nak,” kata ayah Tom suatu hari. Betapa bersukacitanya Tom mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayahnya! Kemudian, tanpa ragu-ragu mereka berdua berpelukan. Belum lama ini, ayah Tom datang ke gereja, tempat Tom memberikan kesaksiannya. Sebenarnya, Tom merasa sangat gugup melihat ayahnya mendengarkan kesaksiannya. Ibu Tom meninggal beberapa tahun lalu, dan tunangan ayahnya ada bersamanya saat itu. Mau tak mau Tom memperhatikan bahwa mereka berdua menangis hampir sepanjang kesaksiannya. Setelah kebaktian, ayah Tom memeluknya cukup lama. Ayah sangat bangga terhadapmu, Nak,” ia berkata dengan air mata masih menggenang pelupuk matanya. Kata-kata yang sudah begitu lama dirindukannya akhirnya diucapkan. “Hati saya terharu mendengar kata-kata itu,” Tom teringat. “Saya tidak akan pernah melupakan hari itu selama saya hidup.”

Perempuan Bernama Donna
                Sekalipun ia telah berbaikan dengan sang ayah, namun masih ada beberapa pertanyaan dalam pikiran Tom tentang rencana Allah baginya. Apakah ia akan menemukan seorang perempuan untuk dicinta, seorang yang juga mencintainya? Apakah ia akan menjadi seorang ayah? Apakah suatu hari nanti ia memiliki keluarga sendiri, ataukah ia terlalu banyak berharap? Pertanyaan-pertanyaan ini menyebabkan Tom berpikir sungguh-sungguh tentang masa kecil dan masa remajanya. Ia teringat akan responsnya terhadap lawan jenis.
                Pada usia yang masih sangat muda, Tom sudah menyadari bahwa ia tidak memandang gadis dan perempuan dengan cara seperti yang dilakukan oleh sebagian besar laki-laki. Sebenarnya, ia tidak tertarik dengan perempuan sama sekali. Ketika masih pubertas tiba, ia mengetahui dengan jelas bahwa ada yang salah dengan dirinya. Charlie’s Angels adalah acara televise yang sedang popular saat itu, dan saudara-saudara Tom menempel poster-poster itu, berhadap mengalami sesuatu, tapi tidak terjadi apa-apa.
                Sebaliknya, ketika ia memandangi poster James Caan, ia merasakan adanya suatu daya tarik yang kuat dan rangsangan seksual yang muncul. Namun, siapa yang bisa diajaknya bicara tentang situasi aneh ini? Tidak ada seorang pun yang dapat ia percayai. Oleh karena itu, ia menyimpan kebingungan itu untuk dirinya sendiri dan hanya berharap yang terbaik.
                Semasa SMU , Tom mengencani seorang gadis yang hanya tertarik pada hubungan yang tidak mesra. Kemudian, ia tahu bahwa gadis itu juga mengalami pelecehan seksual di masa kecil dan takut dengan sebagian besar laki-laki. Gadis itu merasa bahwa berkencan dengan Tom aman baginya. Jadi, pasangan yang sama-sama terluka ini berpacaran selama tiga tahun penuh masa SMU. Hubungan mereka menjadi pelindung bagi Tom dari orang-orang di sekitarnya yang ingin tahu dan memberikan rasa aman bagi gadis itu. Tetapi, selain hubungan teman, tidak ada yang istimewa dalam hubungan itu. Sekarang, bahkan setelah mengenal Kristus, Tom tidak mengalami perubahan apa pun dalam hal ketertarikan terhadap perempuan. Meskipun rasa tertariknya terhadap laki-laki sudah hilang, tidak ada perasaan terhadap perempuan yang menggantikannya.
                Kemudian, Tom bertemu dengan seorang perempuan bernama Donna. Mereka berkenalan di sebuah persekutuan doa, di mana mereka berdua menjalin hubungan rohani yang cepat, dan mereka mulai menjadi pasangan doa.Donna, seorang mantan lesbian, memahami dengan jelas pergumulan Tom di masa lalu – ia dulu juga memiliki pergumulan yang sama. Setelah mereka menghabiskan waktu selama dua tahun mempelajari Alkitab dan berdoa bersama, Tom menjadi semakin menyadari bahwa perasaannya terhadap Donna lebih dari sekedar teman.
                Suatu hari, Donna mengunjungi Tom di tempat kerja. Sewaktu ia masuk, untuk pertama kalinya Tom memperhatikan sosoknya yang menarik dan merasakan adanya daya tarik seksual yang kuat terhadap dirinya. Terlintas dalam pikirannya bahwa, pada usia dua puluh enam tahun, ia mengalami perasaan seperti yang dialami sebagian besar anak laki-laki pada masa puber. Tak lama kemudian, Tom dan Donna berpacaran Tiga bulan berikutnya, mereka menikah.
                Tahun pertama pernikahan pasangan Cole ini meruapan siksaan seperti rasa tidak aman yang terus-menerus muncul. Tom mencari hiburan melalui telepon seks dengan laki-laki, yang hanya membuatnya bertambah bingung. Lalu ia mendengar sebuah siaran radio tentang homoseksualitas , yang dipandu oleh Dr. Elizabeth Moberly, seorang penulis dan pembicara yang telah melakukan, penelitian secara luas mengenai akar penyebab homoseksualitas.
                Hanya setelah mengenal Kristus, Tom mampu mengingat kembali pelecehan seksual yang dialaminya sewaktu kecil di tenga halaman belakang tersebut. Sudut pandang  kekristenannya juga memungkinkan Tom mengalmbil pandangan objektif mengenai dinamika keluarganya-ayahnya yang tidak ramah dan sulit didekati, ibunya yang terlalu melindungi.
                Kini, sewaktu Dr. Moberly berbicara tentang deficit gender yang sama, Tom sadar bahwa ia telah memiliki banyak sahabat perempuan selama hidupnya, tetapi tidak memiliki hubungan yang berarti dengan laki-laki. Lalu, ia segera berdoa, meminta Allah memberinya dua orang laki-laki yang bisa diajaknya untuk berbagi pergumulan. Tuhan itu setia dan mengirimkan dua orang laki-laki setahun kemudian. Mereka berhati lembut dan penuh belas kasihan dan bertanggung jawab terhaap Tom.
                Allah juga mengirimkan seorang teman lagi. Tom tiba-tiba menyadari bahwa ia dulu akan merasa sangat tertarik pada laki-laki ini ketika masih menjalani kehidupan gay. Tom merasa gugup dan tidak nyaman sewaktu mereka berdua menghadiri konferensi di akhir pekan bersama-sama. AKhirnya, ia memutuskan untuk menceritakan ketidaknyamanannya tersebut. “Aku merasa sangat takut berhubungan dengan laki-laki lain,” Tom berkata, sambil menjelaskan sedikit masalah identitas gendernya.
                Laki-laki ini menanggapinya dengan bijaksana dan kasih yang lembut. “Hanya karena aku tidak pernah bergumul dengan homoseksualitas tidak berarti akau tidak takut terhadap keintiman, “ ia berkata dengan jujur. Ia menegaskan bahwa laki-laki sering berbicara mengenai cuaca atau olahraga untuk menghindari membicarakan perasaan mereka dan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam kehidupan mereka. Tom merasa heran sekaligus lega mendengar kata-kata teman barunya.
                Sedikit demi sedikit, Tom belajar bahwa sesungguhnya ia dapat, berhubungan dekat dengan laki-laki lain tanpa terlibat hubungan seks dengannya. Dan, selama tujuh tahun terakhir ini ia juga tertarik dengan perempuan lain selain Donna. Bagi sebagian laki-laki , hal itu mungkin akan menjadi masalah. Akan tetapi, bagi Tom Cole, itu justru merupakan tanda bahwa ia sehat.

Membagikan Berkat
                Ketika Donna melahirkan anak pertama keluarga Cole, Tom merasa sangat bersukacita sekaligus khawatir. Ia berseru kepada Allah, “Bagaimana aku membesarkan anak ini?” Tom dengan segera merasakan jawaban Tuhan dalam hatinya,”Sayangilah dia.”
                Hari ini, si kecil Isaac Cole adalah seorang anak laki-laki seutuhnya. Tak lama setelah kelahirannya, kembali lahir seorang bayi laki-laki, diikuti dengan kelahiran dua bayi perempuan Seperti sebagian besar orang tua yang lain, anak-anak merupakan sukacita tersendiri bagi Tom dan Donna.
                Sebagaimana Tom dan Donna terus mencari kebebasan dari masa lalu homoseksual mereka, mereka mulai melayani agar orang lain mencari harapan dan kesemuhan yang sama. Kemudian, mereka bergabung dengan dewan direktur Reconciliation, sebuah pelayanan Exodus local di Detroit. Dua tahun kemudian, Tom menjadi dirketur Reconciliation. Saat ini visi mereka adalah membantu orang-orang Kristen yang merindukan adanya perubahan dalam hasrat homoseksualitas mereka.
                Tom kadang-kadang ditanya tentang hal paling penting yang dapat ia katakana kepada mereka yang memiliki pergumulan homoseksualitas. Ia menjawab, “Saya memberitahu mereka bahwa Allah bukan Pribadi yang berada di bawah pengaruh seseorang. Jika Allah bisa menyembuhkan saya, ia bisa menyembuhkan semua orang. Saya memberi tahu mereka agar tidak kehilangan harapan karena Alla hadalah sumber pengharapan. Saya memberi tahu mereka agar tidak kehilangan harapan karena Alalh adalah sumber pengharapan. Saya memberi tahu mereka bahwa selama delapan tahun terakhir pelayanan saya telah menyaksikan Allah dengan setia menyembuhkan seorang demi seorang yang datang kepadaNya dengan hati yang haus akan kebenaran. Saya juga memberi tahu mereka bahwa mereka tidak dapat melakuaknnya sendiri. Tak seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan untuk saling membantu melalui sebuah proses yang biasanya sukar, menyakitkan, dan kadang-kadang lama. Namun, Allah adalah Allah yang melakukan perubahan.” Tentang situasinya saat ini, Tom menulis :
Ada saatnya pernikahan kami dilanda stress dan tekanan, seperti pernikahan pada umumnya. Akan tetapi, cinta kami terhadap satu sama lain terus bertumbuh. Anak-anak kami bertumbuh menjadi warga Negara yang bertanggung jawab, murid-murid yang pandai dan orang-orang Kristen yang taat. Sungguh menyenangkan melihat mereka berkembang dalam kreativitias dan kepribadian tanpa rasa takut terhadap intimidasi dan kekerasan yang sering terjadi dalam sistem masyarakat dan sekolah umum. Saya bahagia dengan anak-anak saya dan bersyukur kepada Allah setiap hari untuk keempat anak yang luar biasa yang diberikan Allah kepada kami ini. Sementara itu, saya dan Donna tidak pernah berhenti menceritakan kisah kami ke manapun orang mengundang kami berbicara. Kami pernah muncul di acara TV Extra, 20/20 dan di iklan TV “Families” tentang homoseksualitas yang menimbulan banyak kontroversi. Kami menceritakan kesaksian kami di surat kabar, majalah, siaran radio dan di WWW (internet). Saya percaya bahwa Allah telah memanggil saya untuk pergi ke seluruh dunia dan menyatakan apa yang telah Allah lakukan dalam hidup saya. Saya tidak pernah menolak untuk menceritakan kesaksian saya, dan saya akan terus menceritakannya selama saya memiliki kesempatan. ALkitab memberitahukan kita untuk “menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah” (II Kor 1:4). Ssaya akan melakukan hal itu sampai ajal menjemput!


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home